BAB 1 – Warung Rahmat yang Sepi
Malam turun pelan di Desa Mandikerep.Angin dingin menyapu warung kecil di pinggir jalan, membuat atap seng tua itu berderit seperti bisikan halus.Di dalamnya, Rahmat, lelaki paruh baya, duduk termenung di balik meja kayu reyot.
Warung makannya—yang dulu ramai pengunjung karena soto daging sapi buatannya—sekarang kosong melompong.
"Tiga hari ini… satu pun nggak ada yang datang," gumam Rahmat lirih sambil menatap panci yang masih penuh.
Istrinya, Bu Marni, sudah lama meninggal. Anaknya merantau ke kota dan tak pernah pulang.Kini, Rahmat hidup sendirian. Mengandalkan warung kecil ini untuk makan sehari-hari. Tapi sejak dua minggu terakhir, entah kenapa, semua berubah.
Orang-orang tiba-tiba enggan mampir.Beberapa hanya lewat. Beberapa menoleh dengan wajah cemas.Seolah… warung Rahmat membawa sesuatu yang tidak terlihat.
Suatu malam, seorang lelaki asing datang.
Perawakannya kurus tinggi. Bajunya serba hitam. Suaranya berat dan datar.Ia memesan teh tawar. Tapi matanya terus memperhatikan setiap sudut warung.
"Warung ini… mati," katanya tanpa basa-basi."Tapi kau belum siap mati, kan?"
Rahmat mengernyit.
"Bapak siapa?""Kalau mau makan, makan aja. Kalau cuma mau ngomong ngawur—"
"Aku tahu kenapa warungmu sepi. Karena kau menolak memberi tumbal."
Rahmat terdiam.Udara malam tiba-tiba jadi sangat dingin. Lampu minyak di warungnya berkedip lemah, meski tak ada angin.
"Apa maksud Bapak?" tanyanya pelan.
Lelaki itu tersenyum miring.Ia menyodorkan sesuatu dari kantong hitamnya: sebungkus kain putih, berisi kemenyan, bunga tujuh rupa, dan satu jarum emas.
"Ambil ini. Letakkan di bawah meja tempat kau masak. Bacakan mantra ini setiap malam jam 1, selama 7 hari."
"Warungmu akan laris. Tapi…""Jangan kaget kalau kadang yang makan… bukan manusia."
Rahmat menatap bungkusan itu dengan tangan gemetar.
"Kalau aku nolak?" tanyanya.
Lelaki itu tertawa pelan.
"Kalau kau tolak… warungmu sepi selamanya. Tapi bukan itu yang paling menyakitkan.""Yang paling pedih adalah saat kau sendiri dilupakan. Bahkan oleh anakmu sendiri."
Dan begitu Rahmat mengedipkan mata…lelaki itu sudah tak ada.
Tinggal bungkusan itu—masih utuh—di atas meja, bersama secarik kertas kuning bertuliskan huruf merah:
"Yang lapar akan datang. Tapi setiap kenyang… harus dibayar."