BAB 5 – Tidak Bisa Berhenti
Warung Rahmat kini selalu penuh.Tapi bukan oleh manusia.Pengunjungnya datang tanpa suara, tanpa langkah, dan tanpa wujud yang utuh.Mereka hanya muncul… lalu duduk… lalu makan.
Dan setiap pagi setelah malam penuh makhluk itu, Rahmat mendapati:
Satu panci bersih tanpa sisa.
Satu kursi yang patah sendiri.
Dan darah di bawah meja kasir.
Rahmat ingin berhenti.
Ia coba buang kemenyan. Ia bakar kain mantra. Ia bahkan siram warungnya dengan air yasin dari Pak Ustad Sa'ad.
Tapi malam itu, api kompor menyala sendiri.Kemenyan muncul kembali di bawah kompor.Dan kain mantra… kembali tergantung di tiang dapur.
"Aku nggak pernah minta sejauh ini… aku cuma mau dagang…""Aku cuma mau orang makan…""Aku cuma mau hidup…"
Tapi doa itu kini sudah tak didengar.
Pesugihan sudah melekat. Dan pesugihan… tak mengenal kata 'berhenti'.
Kamis malam, Rahmat memutuskan tutup warung lebih awal.
Ia tak nyalakan lampu, tak siapkan masakan, dan bersembunyi di dalam kamar belakang.
Tapi pukul 01.00 dini hari, suara denting sendok mulai terdengar dari depan.
Cling… cling… cling…
Rahmat menutup telinganya. Tapi suara itu semakin keras.Seolah para "pengunjung" itu sedang menunggu pesanan mereka yang tak kunjung datang.
Dan saat Rahmat mengintip dari lubang pintu...
Seluruh kursi warung terisi.
Sosok-sosok tinggi, kurus, ada yang tanpa kepala, ada yang hanya tinggal separuh badan.Tapi semua menatap ke arah dapur. Ke arah tempat Rahmat sembunyi.
Tiba-tiba, satu suara terdengar pelan:
"Kami lapar…"
"Kalau tidak diberi makan… yang memberi makanlah yang dimakan."
Esok paginya, desa geger.Pak RT menghilang. Satu tukang ojek ditemukan pingsan dengan mata putih dan mulut berbusa.
Dan di warung Rahmat…Ada darah segar di lantai.Dan potongan sandal Pak RT di bawah kursi paling ujung.
Rahmat hanya duduk di sudut dapur, membisu.Tubuhnya makin kurus. Matanya sayu. Suaranya pelan saat ia bergumam:
"Aku cuma mau hidup… tapi aku sekarang lebih mati dari mereka."