BAB 4 – Pengunjung dari Dunia Bawah
Malam keempat belas.Langit di atas Desa Mandikerep pekat, tanpa bintang. Angin tak lagi bertiup. Sunyi terasa mencekam, seolah seluruh dunia menahan napas menanti sesuatu.
Di dalam warung Rahmat, lampu minyak berkedip, nyaris padam.Dan tepat pukul 01.00 dini hari, suara lonceng kecil terdengar berdenting sendiri dari sudut ruangan.
Rahmat tahu artinya.
"Mereka datang lagi…"
Tirai warung bergerak pelan. Angin mati. Tapi suara sandal bergeser di lantai kayu terdengar nyata.
Rahmat tak berani menoleh. Tapi dari bayangan di lantai, ia tahu:Ada lima sosok duduk di kursi warung.
Tak ada suara.Tak ada yang bicara.Hanya bau anyir dan busuk menusuk hidung.
Dengan tangan gemetar, Rahmat menghidangkan mangkuk demi mangkuk soto.Tangannya tergores karena daging yang ia potong terasa dingin seperti es batu, dan saat ia sentuh, ada sesuatu di balik kulitnya… bergerak.
"Silakan dimakan…"Gumam Rahmat tanpa berani menatap wajah mereka.
Namun suara tawa kecil terdengar dari ujung meja. Bukan tawa manusia. Tapi seperti suara anak kecil yang basah dan tercekik.
Rahmat menoleh…
Dan matanya membelalak.
Di pojok meja, duduk seorang anak kecil.Wajahnya hancur sebelah, matanya hanya satu, dan gigi-giginya tajam seperti pecahan kaca.Tangannya mencelupkan soto ke mulut… lalu menatap Rahmat sambil tersenyum.
"Soto Papa enak…" katanya dengan suara gemetar."Besok, aku mau makan Mama juga…"
Rahmat jatuh terduduk.Tangannya gemetar, matanya berlinang. Tapi mulutnya tak bisa bersuara.
Ia tahu siapa anak itu.Itu anak Pak Junaed, pedagang soto yang meninggal minggu lalu.Anak itu sudah meninggal 6 bulan lalu… dalam kecelakaan.
Tapi kini ia duduk di warung ini, makan dengan rakus.
"Apa… ini semua?!" Rahmat menjerit dalam hati.
Dan di luar warung, bayangan-bayangan lain mulai berdatangan.Semua diam. Semua berjalan tanpa suara.Dan semuanya… menatap Rahmat.
Tiba-tiba, satu sosok besar muncul di depan pintu warung.Tinggi lebih dari dua meter. Kepalanya kepala babi hutan, tapi tubuhnya manusia dengan kuku panjang dan mata hitam tanpa bola.
Ia menunjuk ke dada Rahmat.
"Kau milik kami sekarang.""Selama ada darah dalam dagingmu, warung ini takkan sepi.""Tapi ingat… jika kau berhenti memberi… kami akan makan pemiliknya."
Rahmat tak sanggup menjawab.Ia menunduk, air mata jatuh tanpa suara.
Dan malam itu, kursi di warung penuh—bukan oleh manusia, tapi oleh para makhluk kelaparan dari dunia lain.