Ficool

Chapter 3 - PESUGIHAN UNTUK PENGLARIS

BAB 3 – Makanan untuk Makhluk Halus

Dua hari berlalu sejak Rahmat membaca mantra malam pertama.Warungnya kini tak pernah sepi. Bahkan, mulai ada antrean kecil di pagi hari.

Wajah Rahmat berseri. Senyumnya kembali.Ia bahkan bisa beli daging segar dan nasi satu karung penuh. Sejak warungnya ramai, tetangga mulai menghargainya lagi.

Namun… ada yang tidak wajar.

Setiap malam, Rahmat masih melakukan ritual.Menabur bunga di bawah dapur, membakar kemenyan, membaca mantra.Dan setiap malam pula… ada satu pelanggan terakhir yang datang di tengah malam.

Selalu sama. Duduk di pojok. Tidak bicara.Dan makannya tidak menyentuh makanan—hanya duduk, lalu menghilang saat Rahmat ke dapur.

Anehnya, setiap kursi itu ditinggal, selalu ada bekas darah kering dan bau amis seperti bangkai.

"Mungkin itu cuma halusinasiku… atau mungkin memang bagian dari perjanjian…""Yang penting, aku bisa hidup lagi."

Namun pada malam keempat, sesuatu terjadi.

Rahmat baru selesai menutup warung saat mendengar suara ketukan dari dalam dapur.Pelan. Ritmis. Seperti tulang mengetuk kayu.

Tok… tok… tok…

Ia membuka tirai… dan tak ada siapa-siapa.Tapi di lantai, ada bekas tapak kaki—basah dan menghitam—yang masuk ke arah dapur, bukan keluar.

Rahmat mulai panik.

"Jangan takut… mereka cuma makan… mereka nggak minta nyawa."

Tapi dalam hati kecilnya, Rahmat tahu: ada yang sedang mengintai.

Paginya, kabar buruk datang dari pasar:

"Pak Junaed, penjual soto di ujung desa, meninggal semalam.""Katanya jantungnya pecah tiba-tiba pas lagi ngaduk kuah."

Rahmat membeku.

Pak Junaed adalah saingan warungnya.Warung Pak Junaed dulunya ramai. Tapi sejak warung Rahmat naik, pengunjungnya pindah ke sini.

"Apa ini… tumbal?"

Malam itu, Rahmat tak melakukan ritual.Ia takut.

Namun akibatnya langsung terasa.

Warungnya mendadak kosong.Tak ada yang datang. Bahkan warga yang biasanya beli teh pun tak muncul.

Dan yang lebih menakutkan…

Panci kuah mendidih sendiri.Isinya bukan air… tapi darah.

Tirai warung bergerak sendiri.Dan di tengah meja makan, muncul satu piring—penuh nasi dan potongan daging.

Tapi daging itu… masih berdetak.

"Rahmat… kau sudah memberi makan mereka.""Mereka lapar… dan kini kau yang harus memasak terus… tanpa henti."

Rahmat terduduk di lantai, gemetar.Di luar, suara pelanggan-pelanggan tak kasat mata mulai berdatangan. Langkah-langkah kaki… bisikan… dan tangisan anak kecil.

"Warung ini bukan milikmu lagi, Rahmat. Ini milik mereka."

More Chapters