BAB 7 – Anak yang Pulang
Pagi itu, matahari tak benar-benar muncul di Desa Mandikerep.Langit tertutup mendung kelabu, seolah langit tahu sesuatu yang buruk sedang mendekat.
Rahmat berdiri di depan warung.Matanya sayu, wajahnya pucat, tubuhnya seperti habis digerus malam.
Hari ini, anaknya akan pulang.
"Aldo… jangan datang ke sini…""Tolong… jangan pulang…"
Tapi doanya hanya tenggelam dalam suara angin.
Pukul 08.47 — suara motor tua terdengar dari kejauhan.Rahmat menoleh, dan benar… di ujung jalan desa, Aldo datang dengan ransel di punggung.
Wajahnya bersih, rambutnya sedikit panjang. Senyumnya tulus.
"Ayah… akhirnya ketemu juga…"
Rahmat langsung memeluk anaknya.Tangisnya pecah tanpa bisa dibendung. Tapi bukan karena rindu—karena ketakutan.
Aldo bingung melihat ayahnya menangis.
"Ayah kenapa?""Ada yang sakit?""Kok warungnya gelap semua?"
Rahmat buru-buru mengajak Aldo masuk ke rumah, bukan ke warung.
"Aldo dengar baik-baik. Jangan keluar malam ini. Apa pun yang terjadi, jangan buka pintu. Jangan lihat ke arah warung. Jangan jawab kalau ada yang manggil."
"Lho, ayah… maksudnya apa?""Ayah kenapa sih ngomong aneh-aneh?"
Rahmat hanya menunduk.
Sore menjelang malam.
Rahmat menutup semua pintu dan jendela.Ia menyiram seluruh warung dan dapur dengan air doa dari Ustad Sa'ad, lalu menggantungkan Al-Qur'an kecil di pintu belakang.
Tapi di luar, angin mulai berhembus keras.Langit menghitam seperti malam padahal baru pukul enam sore.
"Mereka tahu… mereka tahu daging darahku sudah kembali…"
Pukul 01.00 dini hari.
Denting sendok terdengar dari arah warung.
Cling… cling… cling…
Kemudian, suara langkah kaki di teras rumah.Lalu suara yang menirukan suara Rahmat:
"Aldo… bukain pintunya, Nak… Ayah lupa bawa kunci…"
Aldo yang setengah tidur bangun pelan.
"Ayah?""Tadi kan ayah di kamar…"
Tapi suara itu datang lagi. Lebih keras.
"Aldooo… bukaaaa… Ayah di luar…"
Rahmat bangkit dengan cepat dan menahan pintu kamar Aldo.
"Itu bukan aku, Do!""Jangan buka pintu!""Kalau kau buka… mereka akan masuk!"
Dari luar jendela, suara langkah makin ramai.
Pintu warung terbuka sendiri.Dan dari dalam, satu per satu makhluk-makhluk pelanggan pesugihan keluar dengan wajah menyeringai.
Sosok kepala babi berdiri di depan rumah.Matanya menyala merah. Tangannya membawa mangkuk besar yang berisi kuah menghitam dan tulang-tulang kecil.
"Kami lapar…""Beri kami darah anakmu… lalu semua kembali seperti semula…"
Rahmat berdiri di depan pintu rumah, tubuhnya goyah, tangannya membawa pisau dapur.
"Ambil aku… tapi jangan sentuh anakku…"
Makhluk-makhluk itu menyeringai.Dan malam itu, tubuh Rahmat menghilang tanpa jejak.
Pagi harinya, warga menemukan warung Rahmat terbakar dari dalam.
Tapi tidak ada mayat.Hanya panci tua, pecah, dan satu tulisan terbakar di lantai:
"Jangan beri makan yang tak bisa kau berhenti beri makan."
Aldo ditemukan pingsan di pojok rumah.Dan sejak hari itu, ia tak pernah bicara sepatah kata pun.