BAB 9 – Tamu yang Tak Bisa Diusir
Bayu mulai merasa ada yang salah sejak malam ketujuh warungnya.Awalnya hanya suara langkah di tengah malam.Lalu tawa lirih dari balik tirai.Kini… barang-barang di warung mulai bergerak sendiri.
Ia coba bertanya ke tetangga sekitar.
Namun mereka tidak ada yang mau bicara.Semua hanya menunduk jika melewati warungnya.Anak-anak kecil menangis jika melintas. Bahkan tukang ojek berhenti mangkal di depan.
"Warungmu itu, Mas… bukan warung manusia lagi," gumam Pak Karto, tetangga paling tua, lirih."Dulu juga pernah ada yang seperti itu. Namanya Pak Rahmat…"
Nama itu kembali menggema di telinga Bayu.
"Rahmat?"
Pak Karto mengangguk.
"Dulu, dia juga buka warung di situ. Sama… tiba-tiba laris. Tapi malam-malam suka ada suara… lalu satu-satu orang hilang."
"Terakhir, warungnya terbakar sendiri. Tapi nggak ada mayat."
Bayu mulai menggali informasi.Ia temukan satu artikel lama di internet, berjudul:
"Tragedi Warung Mandikerep: Misteri Warung yang Meledak Tanpa Api"
Di dalamnya… ada foto Rahmat.Dan di kolom komentar, seseorang menulis:
"Warungnya masih berdiri. Tapi tamunya bukan orang biasa."
Malam ke-10.Bayu tidak membuka warung.Ia berdoa, menyalakan ayat kursi, menggantungkan bacaan di tiap sudut dinding.
Namun pukul 01.00 tepat, tirai warung tetap bergerak sendiri.
Kursi-kursi tertarik perlahan.Mangkuk-mangkuk berpindah tempat.Dan… di salah satu kursi pojok, sosok duduk sendiri—menghadap ke dinding.
Bayu memberanikan diri mendekat.
"Siapa kau…? Kenapa ke sini?"
Sosok itu perlahan menoleh.Matanya berlubang. Mulutnya dijahit. Tapi ia tetap bicara.
"Kau yang buka pintu.""Kau yang izinkan kami kembali.""Dan sekarang, kau tak bisa mengusir tamu."
Bayu berlari ke luar. Ia coba kabur dari desa malam itu juga.Tapi setiap jalan keluar selalu berputar ke warung.Mobilnya mogok. Sinyal hilang. Bahkan peta digital hanya menunjukkan satu lokasi:
📍**"Warung Bayu – Pesugihan Aktif"**
Keesokan paginya, warga desa menemukan warung Bayu…terbuka. Penuh makanan. Tapi tak ada pemilik.
Dan di salah satu dinding, tergores tulisan dengan darah kering:
"Aku cuma mau dagang. Tapi mereka lapar, dan tak pernah kenyang."
Sejak itu, setiap malam Jumat, kursi warung itu selalu penuh sendiri.Tanpa pembeli. Tanpa pelayan.Tapi suara sendok dan tawa… terdengar jelas.