Kematianku di Bumi tidak dramatis.
Tidak ada truk trailler, tidak ada petir menyambar, tidak ada pertarungan heroik melawan preman. Hanya sebungkus nasi campur yang sudah basi, diberikan oleh seorang nenak yang mungkin merasa kasihan melihatku mengais sisa-sisa sayur di tempat sampah belakang warung. Keracunan makanan. Tubuhku, yang sudah lemah oleh kelaparan dan putus asa, menyerah begitu saja di sebuah gang kumuh.
Aku, Wa Lang, mati dengan nama yang sama hina dan terlupakannya di Bumi.
Lalu aku terbangun.
Dan neraka yang baru ini jauh, jauh lebih menyakitkan.
Rasa sakit yang pertama adalah bau. Amonia menyengat bercampur dengan aroma besi berkarat dan sesuatu yang manis yang membuatku mual—seperti daging busuk yang direndam dalam madu. Bau itu menusuk langsung ke otak.
Kedua adalah suara. Dentaman logam berirama yang bergema, diselingi erangan dan, sesekali, teriakan pendek yang tiba-tiba terputus.
Yang ketiga adalah rasa. Debu dan kotoran yang memenuhi mulutku. Aku terbaring tengkurap di atas tanah lembab dan berbatu.
Dengan susah payah, aku mendorong tubuhku yang terasa asing—lebih muda, tapi sangat lemah—hingga bisa duduk. Sekelilingku gelap, hanya diterangi oleh cahaya kemerahan samar dari kristal-kristal aneh yang menempel di dinding gua batu. Udara terasa berat dan penuh dengan partikel debu halus yang berkilauan merah.
"Loh, yang ini bangun?" suara kasar menggema.
Seorang lelaki bertubuh besar, berpakaian compang-camping dan penuh keringat, berdiri di depan sebuah pintu besi. Bukan penjaga. Dia adalah budak, seperti kami, tapi sikapnya seperti algojo. Tangannya memegang sebuah tongkat besi.
"Dasar pemalas. Baru sehari kerja langsung pingsan," gerutnya, mendekat. Dia tidak berbicara padaku, tapi pada seorang budak lain yang lebih tua, yang wajahnya hampa dan matanya kosong.
"Tua Bangka, urus dia. Kalau besok belum bisa kerja, laporkan ke Pengawas. Biar dijadikan pupuk lebih awal."
Orang yang disebut Tua Bangka itu hanya mengangguk pelan, tanpa ekspresi.
Si Budak Kepala itu pergi, meninggalkan kami.
Aku mencoba berdiri, tapi kakiku gemetar. Tubuhku serasa bukan milikku sendiri. Tua Bangka itu mendekat dan memberiku segelas air keruh.
"Minum," katanya, suaranya parau seperti batu yang saling bergesekan.
"Di... di mana ini?" tanyaku, suaraku serak. Pengetahuanku sebagai orang modern—fisika, kimia, semua teori itu—terasa sangat tidak berguna di depan realitas primitif dan menyiksa ini.
Tua Bangka itu memandangku dengan tatapan kosong. "Tambang Jiwa Berdarah, Sektor 9. Clan Pengabdi Setan." Dia berkata seperti sedang membacakan kalimat hukuman mati. "Kita adalah pupuk."
"P-Pupuk?"
Dia tidak menjawab. Sebaliknya, dia menunjuk ke sebuah terowongan di seberang ruang tempat kami berkumpul. Dari sana, keluar dua orang budak yang menarik sebuah gerobak kayu. Di atas gerobak itu terbaring seorang lelaki muda. Tubuhnya masih utuh, tapi ada sesuatu yang sangat salah.
Wajahnya pucat bagai lilin, matanya terbuka lebar dan kosong. Tidak ada cahaya kehidupan di dalamnya. Tapi yang paling mengerikan adalah dari pori-pori kulitnya, memancar cahaya keemasan samar, seperti kabut tipis yang tertiup angin menuju akar-akar tanaman aneh yang menjalar di dinding gua. Tanaman-tanaman itu, saat menyerap kabut keemasan itu, seolah berdenyut dan memancarkan cahaya yang lebih terang.
"Jiwa dan spiritualnya diserap untuk menyuburkan 'Nirnroot' itu," bisik Tua Bangka, suaranya datar. "Dia sudah kering. Sekarang tubuhnya akan dibawa ke Ruang Rendah, untuk dijadikan bahan baku yang lain."
Aku terduduk lumpuh, rasa mual yang sebelumnya tertahan kini membanjir. Mereka menggunakan orang sebagai pupuk! Pikiran modernku memberontak. Ini melampaui semua kekejaman yang pernah kubayangkan.
"Kenapa... kenapa kita tidak melawan?" desisku, suara yang penuh keputusasaan dari kehidupan lamaku merayap kembali.
Tua Bangka itu memalingkan wajahnya yang berkerut ke arahku. Untuk pertama kalinya, ada sedikit emosi di matanya: ironi yang pahit.
"Lawan?" Dia menyentuh dadanya sendiri, tepat di ulu hati. "Kau belum merasakannya, ya? 'Bibit' itu."
Saat dia menyebutkannya, aku baru menyadari adanya sensasi aneh di perutku. Sebuah titik dingin, seperti es yang menyala, bersemayam tepat di bawah pusarku. Itu terasa asing, parasitik, dan... lapar.
"Itu adalah 'Bibit Kegelapan' yang ditanam Clan di Dantian kita," jelas Tua Bangka. "Ia akan tumbuh, memakan spiritual kita sedikit demi sedikit. Dalam sepuluh hari, jika kita tidak mendapatkan 'Nutrisi' dari Pengawas, ia akan mulai memakan jiwa kita. Dan ketika kita mati, atau dianggap tidak berguna, Bibit itu dipanen. Ia adalah buah yang matang, penuh dengan energi yang telah ia rampas dari kita."
Dadaku sesak. Ini bukan sekadar perbudakan. Ini adalah peternakan. Kami adalah hewan ternak yang dibesarkan untuk sebuah panen.
Tiba-tiba, si Budak Kepala kembali, kali ini dengan dua orang lain. Wajahnya berkerang melihatku.
"Dasar sampah. Sudah bangun, cepet berdiri! Ada pekerjaan kotor yang harus diselesaikan."
Dia dan anak buahnya menyeretku ke sebuah ruang samping yang lebih kecil. Di sana, ada sebuah saluran pembuangan yang tersumbat oleh lumpur kental berwarna ungu kehitaman. Bau busuk yang menusuk berasal dari sana.
"Bersihkan. Dengan tanganmu," perintah Budak Kepala itu, menyeringai. "Lumpur 'Spirit-Clog' itu bisa membakar kulit, tapi kau kan sudah punya 'Bibit', pasti tahan lama."
Dia mendorongku ke depan. Lututku nyaris menyentuh lumpur itu. Aku bisa merasakan hawa panas dan korosif yang dipancarkannya.
Ini gila, pikirku, otakku yang modern berputar kencang. Aku baru saja mati, dan sekarang aku akan mati lagi dengan cara yang lebih mengerikan?
Tapi sesuatu dalam diriku, mungkin sisa-sisa insting survival dari hidupku yang menyedihkan di Bumi, atau mungkin keputusasaan yang lebih dalam, membuatku menatap lumpur itu.
Lumpur. Unsur dasar yang paling dihindari semua orang.
Tapi... lumpur juga bisa dimanipulasi.
Pengetahuanku yang terbatas tentang kimia dasar berputar di kepalaku. Lumpur yang panas, mungkin bersifat basa atau asam kuat. Jika ada sesuatu yang bisa menetralisir...
Mataku menyapu ruangan, dan melihat tumpukan pecahan batu yang mengandung mineral berwarna keputihan di sudut. Kalsium karbonat? Kapur? Itu bisa menetralisir asam.
Ini adalah tebakan. Taruhan nyawa yang pertama.
Dengan suara yang lebih berani dari yang kurasakan, aku berkata, "Aku butuh batu-batu putih itu. Itu akan membuat pekerjaan lebih cepat."
Budak Kepala itu tertawa terbahak-bahak. "Dengar itu, dia mau negosiasi! Pikirkan ini kantormu, orang Bumi?!"
Orang Bumi. Mereka tahu.
Tapi yang mengejutkan, Tua Bangka yang diam di pintu, tiba-tiba berjalan dan mulai mengumpulkan batu-batu putih itu tanpa sepatah kata pun. Dia meletakkannya di sampingku.
Aku mengambil beberapa, menghancurkannya dengan batu yang lebih besar menjadi serpihan halus, lalu dengan hati-hati menaburkannya ke tepian lumpur ungu itu.
Sssssst!
Uap putih mengepul, dan bau busuk itu sedikit berkurang. Lumpur di tepian mengeras dan tidak lagi mengeluarkan hawa panas.
Budak Kepala itu berhenti tertawa. Tatapannya berubah dari ejekan menjadi keheranan, lalu menjadi sesuatu yang lebih dalam—kecurigaan.
Aku mengambil napas dalam-dalam. Tebakanku benar. Pengetahuan Bumi-ku berfungsi.
Tapi sebelum aku bisa merasa lega, Budak Kepala itu mendekat, mendorong Tua Bangka hingga terjatuh.
"Dasar budak licik," geramnya, mendekatkan wajahnya ke wajahku. Napasnya bau. "Apa trikmu?"
"Bukan trik," jawabku, berusaha tenang. "Hanya... logika."
Dia mencengkeram kerah bajuku yang compang-camping. "Kau pikir kau lebih pintar? Kau pikir kau spesial?" Dia mendorongku keras, hingga punggungku membentur dinding batu yang kasar. "Di sini, kau cuma pupuk. Besok, kau akan kutugaskan di Terowongan Beracun. Akan kulihat seberapa panjang umur 'logika'-mu di sana."
Dia pergi, meninggalkan aku sendirian di ruangan itu, tubuhku sakit, dan rasa dingin dari "Bibit" di perutku terasa semakin menggigit.
Aku memandangi saluran yang sebagian sudah bersih. Aku telah memenangkan pertempuran kecil, tapi mungkin baru saja mendatangkan perang yang lebih besar.
Di dunia ini, akal sehatku mungkin adalah satu-satunya senjataku. Tapi di tempat di mana kekuatan adalah segalanya, menjadi "pintar" bisa menjadi hal paling berbahaya.
Aku, Wa Lang, si belalang dari Bumi, telah selangkah lagi dari menjadi pupuk. Dan satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan belajar menggigit balik.
---