Ficool

Chapter 4 - Bab 4

Kegelapan di lorong galian baru ini lebih pekat, lebih personal. Udara berdebu dan sesak, seolah dinding batu itu sendiri yang bernafas dengan berat di sekeliling kami. Bunyi pickaxe dan sekop bergema hampa, diselingi erangan sesekali. Tidak ada yang berbicara. Bahasa di sini adalah bahasa tatapan penuh dendam yang ditujukan padaku.

Borok menugaskanku di ujung lorong, area yang paling rawan. Atapnya rendah, ditopang oleh kayu-kayu penyangga yang sudah reyot dan berderak menahan beban. Butiran-butiran kerikil kecil sesekali berhamburan dari atas, seperti tetesan hujan sebelum badai longsor.

"Gali di sini, 'Jenius'," perintah Borok, menunjuk ke sebuah bidang batu yang keras. "Konon, ada urat 'Spirit Ore' berkualitas di baliknya. Keluarkan."

Dia dan kedua anak buahnya tidak pergi. Mereka hanya mundur beberapa langkah, bersandar di dinding, menonton. Aku tahu apa yang mereka tunggu. Mereka menunggu atap itu runtuh menimpaku.

Tarik napas. Fokus.

Aku mengambil beliung dan mulai memukul batu itu. Setiap hentakan menggetarkan lengan yang sudah pegal. Tapi yang lebih mengganggu adalah "Bibit" di perutku. Di tengah debu dan kekacauan ini, dia tidak diam. Dia seperti binatang peliharaan yang mencium bau makanan. Dia berdenyut-denyut lemah, tertarik pada sesuatu... mungkin pada sisa-sisa energi spiritual yang terkunci dalam batuan.

Apakah batu-batu ini juga bisa memberinya makan? pikirku, sambil terus memukul.

Tiba-tiba, salah satu budak pengawal Borok, seorang lelaki berotot dengan wajah penuh luka, mendekat.

"Dengar katanya kau dicicipi Pengawas Yan,"geramnya, suaranya kasar. "Apa rasanya dijilat anjing mereka?"

Aku mengabaikannya, terus memukul. Tindakanku justru membuatnya marah.

"Diam saja kau, dasar sampah!" Dia menyepak ember berisi batu di dekatku, membuat isinya berhamburan.

Di saat yang sama, "Bibit" di perutku berdenyut lebih kencang. Bukan lagi denyut lapar, tapi peringatan. Sebuah sensasi berbahaya, seperti listrik statis, merambat di udara.

Krik... kreeeak...

Suara itu berasal dari atas. Salah satu kayu penyangga utama di dekatku mulai melengkung, retakannya melebar.

"Atapnya!" teriak seseorang dari belakang.

Borok dan anak buahnya langsung mundur cepat, menjauh dari area itu. Tapi si Laki-laki Berotot itu, yang masih marah padaku, tidak menyadari sepenuhnya bahaya yang sudah di ambang pintu.

BRUUK!

Sebongkah batu besar jatuh dari langit-langit, menghantam tepat di depan si Laki-laki Berotot, membuatnya terjatuh. Debu beterbangan, mengaburkan pandangan. Teriakan panik dan derakan kayu yang mau patah memenuhi lorong.

"Tolong! Aku terjepit!" teriak si Laki-laki Berotot. Kakinya tertimpa puing batu yang lebih kecil, dan dia terjebak di zona yang dikelilingi oleh kayu penyangga yang siap rubuh.

Semua orang membeku, termasuk Borok. Tidak ada yang berani maju. Masuk ke sana berarti undangan untuk mati.

Aku berdiri di tepi zona bahaya, hanya beberapa langkah dari si Laki-laki Berotot. Debu membuatku tersedak. Di kepalaku, dua suara bertikai.

Biarkan saja! Dia akan membunuhmu jika ada kesempatan! Ini adalah jalan keluarmu!

Tapi suara lainnya,suara manusia dari Bumi yang belum sepenuhnya mati, berteriak lebih keras. Dia mungkin sampah, tapi dia masih manusia. Kau bukan pembunuh.

Dan ada suara ketiga, lebih dalam dan lebih ganas. Suara dari "Bibit". Dia mendesakku untuk maju. Bukan untuk menyelamatkan, tapi karena... ada sesuatu di sana. Di balik reruntuhan. Sesuatu yang membuatnya lapar.

Dengan kutukan dalam hati, aku melompat ke depan.

"Wa Lang, gila kau!" teriak Borok dari kejauhan, suaranya penuh ketidakpercayaan.

Aku tidak peduli. Aku mendorong batu kecil yang menimpa kaki si Laki-laki Berotot. Dia memandangku dengan mata terbuka lebar, campuran rasa sakit, takut, dan syok.

"G...goblok! Pergi sana!" raungnya.

"Diam!" hardikku, mengerahkan seluruh tenaga. Batu itu bergeser, dan aku menariknya keras-keras, menyemburkannya ke area yang lebih aman tepat saat salah satu kayu penyangga patah dengan suara menggelegar.

BOOM!

Sebagian atap runtuh, menimbun area tempatnya tadi terjebak. Debu begitu pekat hingga aku tidak bisa melihat apa-apa. Tapi aku merasakannya.

Di balik reruntuhan itu, ada sebuah "Sumber".

Sebongkah "Spirit Ore" murni seukuran kepalanku terbuka, memancarkan energi spiritual mentah yang kuat, berwarna hijau tua. Tapi energinya tidak murni. Itu tercemar, beracun, penuh dengan kekerasan geologis bumi. Persis seperti racun di terowongan.

Dan "Bibit"-ku menjerit memintanya.

Tanpa pikir panjang, hampir seperti orang kesurupan, aku merangkak mendekati batu itu. Tanganku yang tanpa sarung menyentuhnya.

Sensasi yang meledak-ledak.

Energi yang kacau, keras, dan beracun itu membanjiri lenganku seperti sungai lahar. Rasa sakit yang membakar, sepuluh kali lebih kuat dari lumpur racun, menyambar seluruh sarafku. Aku berteriak, tapi tidak ada suara yang keluar.

Lalu, "Bibit"-ku bergerak.

Dia seperti corong yang membuka lebar. Dia tidak hanya menyerap; dia menelan. Energi beracun yang membakar itu disedotnya masuk, mengalir deras ke ulu hatiku. Rasa sakitnya masih ada, tapi sekarang disertai dengan sensasi kekuatan yang memabukkan. Seperti menyuntikkan adrenalin murni langsung ke jantung.

Pancaran hijau pada batu itu memudar dengan cepat, berubah menjadi abu-abu kusam dan retak. Batu itu hancur menjadi debu.

Aku terduduk, terengah-engah. Seluruh tubuhku bergetar. Tanganku yang menyentuh batu itu hangus, hitam, tapi... tidak sakit lagi. Sebaliknya, terasa penuh dengan tenaga yang tertahan. "Bibit"-ku sekarang terasa seperti matahari kecil yang berputar di perutku, memancarkan kehangatan yang hampir menyakitkan. Lapar yang pertama kali terpuaskan.

"Setan... kau adalah setan," bisik si Laki-laki Berotot, memandangiku dengan wajah pucat penuh kengerian. Dia telah menyaksikan semuanya. Bagaimana batunya menyala, lalu mati. Bagaimana tanganku yang hangus tapi aku masih bisa bergerak.

Borok dan yang lain mendekat dengan hati-hati, menatapku seperti melihat hantu.

"Ada... ada iblis dalam dirinya!" teriak salah satu budak, lalu berbalik dan lari.

Borok tidak lari. Dia memandangku, lalu ke batu yang sudah menjadi debu, dan kembali padaku. Ejekan dan kebencian di matanya telah digantikan oleh rasa takut yang primordial. Takut pada sesuatu yang tidak dia pahami.

Aku berdiri, tubuhku masih gemetar, tapi tidak lagi karena kelemahan. Ini karena kelebihan energi. Aku memandangi Borok, dan untuk pertama kalinya, dia adalah orang yang menunduk.

Aku tidak mengatakan apa-apa. Aku hanya berjalan melewatinya, kembali ke arah pintu keluar lorong. Budak-budak lain membuka jalan untukku, ketakutan.

Pengawas Yan menunggaku di luar, wajahnya seperti biasa.

"Laporan?"tanyanya singkat.

"Bibit-nya... bisa menyerap energi langsung dari Spirit Ore yang terkontaminasi," jawabku, suaraku serak. "Tapi itu menyakitkan. Dan itu membuatku... kuat."

Dia mengangguk, puas. "Bagus. Kemampuan untuk mengonsumsi yang tidak murni adalah langkah pertama menuju kekuatan sejati di tempat kotor seperti ini." Dia melemparkanku sebuah botol kecil berisi cairan merah. "Oleskan pada luka bakar-mu. Besok, kita akan uji kapasitasmu."

Saat aku kembali ke sel, semua orang membisikkan satu nama: "Pemakan Batu."

Tua Bangka duduk di sudutnya, memandangiku lama dan dalam.

"Kau telah membangunkan dia,"bisiknya, suaranya bergetar. "Dan sekarang, dia akan memberitahumu harganya."

Aku berbaring di lantai, merasakan "matahari" kecil di perutku yang masih berputar. Rasa lapar itu terpuaskan, tapi sekarang digantikan oleh kehausan yang lebih dalam. Kehausan akan lebih banyak.

Aku tersenyum dalam kegelapan. Senyum yang tidak seperti diriku.

Bibit-ku telah "memberi tahu". Dan pesannya jelas: Lapar.

---

More Chapters