Ficool

Chapter 5 - Bab 5

"Matahari" kecil di perutku itu adalah seorang tiran.

Dia tidak lagi hanya diam dan dingin, atau sekadar berdenyut lemah. Sekarang, dia adalah pusat dari segala hal. Setiap napas, setiap detak jantung, terasa seperti mengorbit pada kehangatannya yang menggigit. Kekuatan yang kurasakan usai menghancurkan Spirit Ore itu belum juga reda. Otot-ototku tegang, penuh dengan energi yang tidak bisa kutumpahkan. Pikiranku jernih, tajam, tapi di balik kejernihan itu ada desisan halus—bisikan dari sang tiran.

Lapar.

Kata itu bukan lagi sebuah perasaan. Itu adalah sebuah perintah yang terpatri di setiap sel tubuhku.

Tua Bangka memandangiku dari seberang sel, matanya seperti dua lubang hitam di wajahnya yang keriput. "Dia bangun, dan sekarang kau harus memberinya makan. Atau dia akan memakanmu dari dalam." Ucapannya bukan ramalan, tapi pernyataan fakta, seperti menyebut bahwa air itu basah.

Aku tidak menjawab. Aku hanya menatap tanganku yang hangus. Kulitnya menghitam dan mengelupas, tapi di bawahnya, kulit baru sudah terbentuk dengan cepat, berwarna merah muda dan terlalu halus untuk kulit seorang budak. Proses penyembuhan yang tidak wajar. Hadiah sekaligus pengingat akan harga yang harus dibayar.

Pintu sel dibuka. Bukan Borok, tapi salah satu pengawas rendahan.

"Wa Lang.Pengawas Yan memanggil."

Aku diantar bukan ke ruangan batu, tapi ke sebuah tempat yang belum pernah kulihat: sebuah laboratorium kecil yang terletak di belakang pos penjagaan. Ruangan ini dipenuhi dengan rak-rak berisi botol kaca berisi cairan aneh, organ-organ hewan yang diawetkan, dan fragmen tulang manusia yang diukir dengan simbol-simbol gelap. Di tengah ruangan, ada sebuah meja batu dengan tali pengikat.

Jantungku berdebar kencang. "Bibit"-ku bereaksi terhadap lingkungan ini, berdenyut-denyut penuh antisipasi.

Pengawas Yan berdiri di depan sebuah papan tulis kulit, penuh dengan coretan rumus dan diagram yang tidak kupahami. Dia menoleh saat aku masuk.

"Laporan kondisi," perintahnya, sambil membersihkan tangannya dengan sehelai kain.

"Kekuatan... masih terasa, Tuan," jawabku, berhati-hati. "Tapi ada rasa lapar. Sangat kuat. Dan tangan saya..." Aku menunjukkan tanganku yang setengah sembuh.

Dia mendekat, memeriksa tanganku dengan teliti tanpa menyentuhnya. "Penyembuhan dipercepat. Efek samping dari penyerapan energi murni, meski beracun." Matanya berbinar. "Dan rasa lapar itu adalah hal yang wajar. Parasit yang telah merasakan darah segar tidak akan pernah puas dengan sisa-sisa lagi."

Dia menunjuk ke meja batu. "Berbaring."

Perintah itu dingin dan tanpa ampun. Aku patuh, rasa takut dan harapan bertarung di dalam dadaku. Dia mengambil sebuah pisau bedah yang tipis dan mengkilap, serta sebuah piring batu.

"Ini adalah pengukuran," katanya, saat dia mengikat pergelangan tanganku. "Aku perlu tahu seberapa besar kapasitas 'Bibit'-mu, dan seberapa dalam hubungan simbiosis yang telah terbentuk."

Sebelum aku bisa protes, ujung pisau itu menyayat lengan bawahku. Sakitnya tajam. Darah mengalir, menetes ke piring batu.

Tapi itu bukan hal yang paling mengejutkan.

Yang paling mengejutkan adalah reaksi "Bibit"-ku.

Dia meledak.

Rasa lapar itu berubah menjadi amukan. Sebuah tarikan yang kuat dan ganas muncul dari ulu hatiku, menyedot sesuatu dari dalam diriku. Bukan darah, tapi sesuatu yang lebih dalam. Kehidupan. Spiritual.

Luka di tanganku tidak kunjung sembuh. Malah, kulit di sekitarnya mulai mengerut dan memudar, seperti bunga layu di terik matahari. Aku merasakan kelemahan yang begitu cepat, begitu mengerikan, menyebar ke seluruh tubuhku. "Matahari" di perutku itu ternyata adalah lubang hitam yang memakan bintang induknya—diriku sendiri.

"Tuan... tolong..." erangku, suaraku sudah lemah.

Pengawas Yan dengan cermat mengamati proses ini, membuat catatan di atas kulit. "Menarik. Tanpa sumber energi eksternal, dia akan mengonsumsi inangnya dengan laju yang eksponensial. Semakin kuat dia, semakin besar kebutuhannya."

Dia menuangkan sedikit "Air Spirit Murni" ke atas lukaku. Aliran energi yang sejuk itu seperti oksigen bagi orang yang tenggelam. "Bibit"-ku menyambar energi itu, dan rasa lapar yang menggila itu mereda untuk sesaat. Proses penyembuhan alami tubuhku pun kembali berjalan, meski lambat.

Dia melepas ikatanku. Aku bangkit, gemetar, tubuhku berkeringat dingin. Aku hampir saja mati di meja itu. Bukan oleh pisau, tapi oleh makhluk di dalam diriku sendiri.

"Kau mengerti sekarang, Wa Lang?" tanya Pengawas Yan, meletakkan pisau bedahnya. "Ini bukan lagi tentang bertahan hidup dari Borok atau racun. Ini adalah perlombaan melawan waktu. Kau harus terus memberinya 'makanan' yang dia inginkan. Jika tidak, dia akan memakanmu hidup-hidup."

Dia memberikanku sebuah kantong kulit kecil yang berisi tiga buah Spirit Ore kecil berwarna hijau kusam. Energinya lemah dan tidak murni.

"Ini jatahmu untuk hari ini. Bertahanlah."

Aku meninggalkan laboratorium itu dengan pemahaman yang mengerikan. Aku bukan lagi manusia. Aku adalah penjara bagi sebuah makhluk lapar, dan rantai-rantai penjara itu perlahan-lahan mengikis nyawaku.

Saat aku kembali ke area tambang, tatapan yang kuterima sudah berbeda. Bukan lagi kebencian atau iri, tapi ketakutan yang bercampur dengan rasa ingin tahu yang suram. "Pemakan Batu." Mereka memberiku jalan.

Borok melihatku, dan untuk pertama kalinya, dia tidak mendekat. Dia hanya memandang dari kejauhan, seperti melihat binatang buas yang terluka.

Tua Bangka mendekatiku saat aku duduk di sudut, memandangi tiga batu kecil di tanganku.

"Sudah kukatakan,"bisiknya. "Sekarang kau mengerti. Dia memberimu kekuatan, tapi kekuatan itu adalah cambuk yang menggerakkanmu menuju liang kuburmu sendiri. Atau..." dia membuat jeda, matanya menyipit, "...menuju sesuatu yang lain."

"Atau apa?" tanyaku, suaraku parau.

"Atau kau menemukan cara untuk menjinakkan sang tiran. Untuk membalikkan hubungan. Untuk membuatnya tunduk padamu, bukan kau yang menjadi budaknya." Ucapannya terdengar seperti khayalan. Tapi di dunia gila ini, khayalan adalah satu-satunya harapan.

Aku menggenggam Spirit Ore yang pertama. "Bibit"-ku mendengus, menciumnya. Aku fokus, bukan pada rasa laparnya, tapi pada koneksi antara kami. Aku mencoba, dengan segenap keinginan untuk hidup, untuk mengarahkan rasa lapar itu. Untuk mengendalikan alirannya.

Saat energi yang kacau dan lemah itu mulai mengalir ke tanganku, rasa sakitnya masih ada. Tapi kali ini, aku tidak membiarkannya membanjir begitu saja. Aku mencoba membendungnya, mengaturnya, menyaringnya sebelum "Bibit"-ku menyedotnya habis.

Itu seperti mencoba menjinakkan sungai yang deras dengan kedua tangan. Hampir mustahil. Tapi, untuk sesaat yang singkat, sebelum batu itu hancur, aku merasa ada sedikit kendali. Rasa laparnya mereda sedikit lebih teratur, tidak lagi seperti amukan.

Aku melihat ke Tua Bangka. Ada sedikit anggukan hampir tak terlihat dari dirinya.

Perlombaan waktunya telah dimulai. Aku harus menjadi lebih kuat, lebih cepat dari "Bibit"-ku sendiri. Aku harus belajar menjadi tuan bagi matahari kecil yang haus di dalam diriku, sebelum dia membakar seluruh diriku menjadi abu.

Dan pelajaran pertama adalah: kekuatan selalu ada harganya. Dan harganya adalah dirimu sendiri, sedikit demi sedikit.

---

More Chapters