Chapter 1 – First Light
(Bab 1 – Cahaya Pertama)
Di tengah kabut pagi yang menggantung tenang di atas perbukitan Desa Yunboa, suara tangis pertama seorang bayi memecah keheningan. Langit yang biasanya redup berubah keperakan, seolah-olah alam sendiri menyambut kelahirannya.
“Namanya… Lawzi Zienxi,” ucap sang ibu, Quim Zunxi, dengan napas lembut namun penuh keyakinan.
Di sampingnya, sang ayah, Lawzi Jeu, menggenggam tangan istrinya dan menatap bayi mungil itu seakan menyimpan doa yang tak terucap.
“Semoga kau tumbuh dalam kedamaian. Dan jika dunia menguji… semoga kau cukup kuat untuk bertahan.”
Tahun demi tahun berlalu...
Lawzi Zienxi tumbuh sebagai anak yang penuh semangat dan rasa ingin tahu. Ia suka bertanya tentang hal-hal kecil: kenapa langit berubah warna saat senja, kenapa ikan melompat di sungai, dan kenapa suara serangga tak pernah berhenti di malam hari.
Desa Yunboa adalah tempat di mana setiap hari terasa seperti petualangan.
Bersama sepupunya, Lawzi Vuyei, mereka menjelajah padang rumput, bermain di sungai, membuat kapal-kapalan dari bambu, dan berlomba menangkap capung di ladang. Tak jarang mereka jatuh terperosok ke lumpur, tertawa, lalu dimarahi oleh ibunya masing-masing saat pulang dengan tubuh kotor.
Tapi dari semua kegiatan mereka, hari favorit Zienxi adalah saat memancing bersama ayah dan pamannya.
Suatu pagi...
Kabut belum sepenuhnya mengangkat dari danau kecil di pinggir hutan.
Lawzi Jeu berjalan paling depan, membawa tombak dan keranjang umpan. Di sampingnya, Lawzi Kunren memikul dua joran bambu besar di bahunya, dengan rokok kecil di bibir dan senyum lebar.
“Jangan terlalu keras bicara,” bisik Kunren. “Ikan-ikan di sini mudah tersinggung.”
Zienxi tertawa. “Mereka seperti Vuyei waktu dibangunin pagi-pagi.”
Vuyei memukul pelan lengan kakaknya dan memonyongkan bibir. Tapi sesaat kemudian, senyum mereka kembali mekar.
Setelah mereka duduk, menancapkan joran ke tanah, dan melihat pelampung bergetar pelan di permukaan air, waktu seperti melambat.
“Ayah, kenapa kita harus diam saat memancing?” tanya Zienxi.
Lawzi Jeu menjawab sambil mengikat tali pancing,
“Karena air punya telinga. Dan diam itu mengajarkanmu mendengar, bukan hanya bicara.”
Malam harinya, mereka berkumpul di halaman.
Ikan hasil tangkapan dibakar di atas api unggun. Bau harum menyebar ke seluruh desa. Gelak tawa terdengar saat Kunren bercerita tentang masa mudanya yang sok jagoan tapi selalu ditolak gadis desa. Vuyei tertawa sampai tersedak, Zienxi menepuk punggungnya sambil tertawa juga.
Tsai Mianzu, ibu Vuyei, keluar membawa kuah sup dari jamur hutan dan akar manis. Ia duduk di samping Quim Zunxi, mengobrol pelan sambil sesekali tertawa kecil.
Malam itu, semua terasa lengkap.
Tak ada yang terasa lebih penting daripada waktu yang mereka habiskan bersama. Tak ada yang menduga bahwa kenangan-kenangan sederhana itu akan menjadi harta paling berharga suatu hari nanti.
Beberapa minggu kemudian...
Lawzi Kunren mengajak mereka berburu rusa di hutan utara, pengalaman pertama Zienxi memegang busur kecil buatannya sendiri.
“Bukan tentang membunuh,” kata Kunren tegas. “Tapi tentang menghargai hidup. Kita ambil secukupnya, dan jangan pernah sombong jika berhasil.”
Mereka tidak membawa pulang apa-apa hari itu. Tapi Zienxi justru merasa puas. Ia belajar melacak jejak, membaca arah angin, dan menahan napas sambil menarik busur. Tapi yang paling ia sukai adalah berjalan berdampingan dengan ayah dan pamannya, mendengar kisah-kisah masa muda mereka yang kadang terdengar terlalu konyol untuk dipercaya.
Saat bulan purnama naik tinggi, Zienxi dan Vuyei duduk di atap rumah, memandangi bintang.
“Kalau bisa jadi apa pun di dunia ini,” tanya Vuyei, “kau mau jadi apa?”
Zienxi diam sebentar, lalu menjawab dengan polos,
“Aku ingin jadi orang yang bisa melindungi semua yang kucintai.”
Vuyei tersenyum dan menggenggam tangannya. “Kalau begitu, aku akan jadi penyembuh, supaya bisa bantu kau terus berdiri.”
Dan di bawah langit yang tenang itu, mereka percaya bahwa dunia akan selalu seperti ini.
Hangat. Penuh tawa. Tak tersentuh gelap.
Untuk saat ini.
Keesokan harinya, matahari pagi baru saja menyentuh puncak-puncak pohon ketika Zienxi dan Vuyei berjalan beriringan menuju perbukitan di utara desa.
Mereka membawa keranjang kecil anyaman rotan dan bekal nasi kepal yang dibuatkan oleh Quim Zunxi sebelum matahari sepenuhnya muncul.
Tujuan mereka hari itu sederhana: mencari bunga liar yang hanya mekar di pagi hari, jenis yang katanya bisa bercahaya lembut jika terkena embun.
“Namanya bunga lumira,” kata Vuyei semangat sambil menunjuk ke gambar di buku tua yang ia bawa. “Kalau kita nemu yang warnanya ungu, itu pertanda keberuntungan!”
Zienxi terkekeh, “Apa nanti aku bisa dapat satu gulungan teknik pedang cuma karena bunga ungu?”
Vuyei menjulurkan lidah. “Nggak! Tapi mungkin kau nggak bakal jatuh waktu panjat pohon lagi.”
Perjalanan mereka menyusuri jalur setapak berbatu yang dipenuhi semak berbunga kecil, aroma tanah basah dan wangi daun pinus menyegarkan paru-paru. Burung-burung kecil berkicau di antara dahan, dan angin membawa suara gemercik air dari kejauhan.
Saat sampai di lereng bukit, mereka melihat hamparan bunga liar berwarna ungu kebiruan, bersinar lembut terkena cahaya pagi. Vuyei berlari kecil dan berseru gembira.
Zienxi tersenyum, mengambil satu bunga yang hampir layu dan meletakkannya di belakang telinga sepupunya.
“Cocok untuk penyihir hutan,” katanya menggoda.
Vuyei mendorongnya pelan, tapi pipinya memerah.
Mereka duduk di atas batu besar, menikmati bekal sambil melihat awan perlahan bergerak di atas lembah. Di momen sunyi itu, Zienxi menggambar pemandangan di buku kecilnya, sedangkan Vuyei menuliskan nama-nama bunga yang mereka temukan.
Tak ada yang mengganggu mereka.
Tak ada yang tahu bahwa kebahagiaan ini suatu saat akan dikenang seperti mimpi yang terlalu indah untuk bertahan lama.