Chapter 10 – Echoes of Heaven’s Pulse
Sebelum Puncak Gunung Lihai
Puluhan murid berlarian di celah-celah lembah berbatu. Udara mulai menipis, suara napas berat dan teriakan kemarahan masih menghiasi lereng gunung.
Namun di jalur lain...
Seorang murid membanting tongkatnya ke tanah. “TIDAK ADA LAGI! Buah Spiritual Petir sudah diambil semua!”
Murid lain menggeleng cepat. “Itu buah terakhir... tak ada lagi buah langka selain yang ada di bawah.”
Desah panjang terdengar dari berbagai penjuru. Mereka yang baru tiba hanya bisa terduduk lemas, menatap tanah basah oleh peluh dan darah, menyadari bahwa kesempatan mereka telah menghilang.
“Jika saja aku datang lebih cepat…”
“Bodoh! Buah tingkat tinggi takkan menunggu mereka yang lambat.”
“Jadi hanya sisa Buah Bumi dan Langit...”
167 Hari seleksi berlalu....
Langit berubah.
Langit Gunung Lihai yang semula tertutup kabut... mendadak bersinar.
Riak energi menyebar ke segala arah, seperti gelombang cahaya yang tak kasat mata menghantam dada setiap murid yang masih berada di wilayah Zhi.
DUUUMMM!
Suara dentuman menggema dari puncak gunung, membuat bebatuan kecil bergetar. Kabut terbuka perlahan, memperlihatkan cahaya keemasan yang tidak biasa... berbeda dari cahaya sebelumnya.
"A-apa itu...?"
Seorang murid menunjuk ke langit, tubuhnya mulai gemetar.
“Buah... itu bukan buah biasa!” teriaknya.
Lalu, tiga bola cahaya lain muncul di puncak.
Bersinar lebih kuat dari semua yang pernah terlihat sebelumnya.
Tiga Buah Spiritual Surgawi lainnya.
Cahaya mereka menari di udara, meninggalkan jejak riak yang menembus awan, dan menggetarkan jantung semua orang.
Kerumunan mulai kacau.
“A-apa?! Buah Surgawi... ADA LAGI?!”
“Itu... tidak masuk akal! Bukankah tadi hanya SATU?!”
"Langit memberi kita empat?" gumam seseorang tak percaya.
"Ini tak pernah terbayangkan oleh siapapun..."
“Ini pasti pertanda sesuatu!”
“Apa ini hukuman… atau hadiah?”
Sebagian murid ketakutan, mulai melangkah mundur.
Sebagian lain menatap ke atas dengan mata menyala, penuh harapan baru.
Namun ada juga yang hanya menunduk, sadar bahwa mereka tak mungkin mampu mendekat.
Di jalur atas, di antara kabut yang mulai menipis...
Yuji Daofei berdiri kaku. Matanya terangkat, memandang tiga buah baru yang berputar perlahan.
“…Bukan hanya satu,” gumamnya pelan. “Empat Buah Spiritual Surgawi…”
Xieyi Zui menyentuh dadanya, tak yakin apakah jantungnya berdetak terlalu cepat atau terlalu lambat.
“Kenapa… sekarang?” bisiknya, napasnya mulai tersengal. “Apakah ini... ujian sesungguhnya?”
Yun Xiwe tak bicara, tapi matanya menyala tajam, menatap keemasan langit itu seolah ingin membaca maknanya.
Di belakang mereka, Wang Xuei yang masih berdiri dengan luka dan darah menatap ke atas, matanya melebar.
“Empat…” ia mengulang, suaranya bergetar. “Empat Buah Surgawi… dan aku... masih di sini…”
Sementara itu, di kejauhan...
Di tebing sebelah barat Gunung Lihai, We Jita menatap langit sambil mencengkeram kain bajunya sendiri.
“Buah itu… muncul sekaligus…” gumamnya.
Jia Wei melangkah cepat ke pinggir batu, wajahnya pucat.
“Kenapa muncul 3 lagi? Siapa yang... mengatur semua ini?”
Jia Yuwei berdiri di samping mereka, napasnya memburu.
“Ini tidak pernah terjadi sebelumnya… Bahkan ayah tidak pernah menyebut kemungkinan seperti ini…”
Semua orang terkejut dengan kejadian ini, karena biasanya Buah Spritual Surgawi akan muncul bersamaan tapi di tempat yang berbeda.
Di sisi lain tebing, Fang Sei yang selalu tenang kini menatap langit dengan dahi berkerut.
“…Tiga tambahan?” bisiknya. “Atau seharusnya sejak awal memang empat?”
Hui Baifa menggebrak batu di sampingnya dengan keras.
“APA INI MAINAN DEWA?!” teriaknya marah. “Kenapa harus sekarang? Kenapa tidak sejak awal?!”
“Karena yang kuat akan diuji terakhir,” jawab Fang Sei datar.
Di seluruh Gunung Lihai...
Desas-desus berubah menjadi kegemparan.
Suara langkah berlari, jeritan baru, dan dentuman demi dentuman memenuhi udara.
Tiga Buah Surgawi tambahan telah turun.
Dan para murid yang tersisa hanya punya dua pilihan:
Naik... atau hilang dalam sejarah.
Suara gemuruh dari cahaya surgawi masih menggetarkan udara saat para calon murid mulai bergerak. Sebagian langsung berlari menuju puncak Gunung Lihai, langkah mereka penuh semangat dan nafsu akan kekuatan. Namun tidak sedikit pula yang ragu-ragu, terhenti di tengah jalan mata mereka penuh keraguan.
“Apa kau yakin ingin naik?” bisik seorang murid pada rekannya.
“Empat Buah Surgawi… Tapi tekanan itu aku bahkan tak bisa berdiri tegak tadi!” jawab yang lain, wajahnya pucat.
Di antara mereka yang ragu, empat sosok tampak terus melaju.
Yuji Daofei, dengan wajah dingin dan langkah tanpa gentar, mendahului yang lain. Energi spiritual di sekelilingnya bergetar, tubuhnya seperti menembus badai tak terlihat.
Yun Xiwe menahan napasnya, wajahnya dipenuhi peluh namun sorot matanya tak berubah penuh tekad.
Xieyi Zui, meski tubuhnya mungil dan langkahnya tampak ringan, berjalan dengan mantap melewati retakan-retakan tanah yang mulai bergetar.
Tak jauh di belakang, Wang Xuei mengepalkan tangannya. Napasnya berat, tubuhnya penuh luka akibat pertarungan sebelumnya, namun matanya tajam menatap puncak yang kini bersinar keemasan. “Aku belum selesai,” bisiknya lirih.
Mereka kini hanya beberapa puluh langkah dari puncak.
Di bawah sana, Jia Wei dan Jia Yuwei masih berdiri di tepi Wilayah Zhi. Yuwei menarik lengan kakaknya.
“Kita masih bisa menyusul...” ucapnya ragu.
Jia Wei menggeleng pelan. “Tidak. Ini bukan tentang siapa cepat, tapi siapa yang pantas. Lihatlah mereka...”
Dari balik kabut, We Jita duduk bersila di atas batu besar, jauh dari jalur utama, kedua matanya menyipit mengamati sinar keemasan yang membelah langit. “Empat Buah Surgawi... Luar biasa,” gumamnya.
Sementara itu, puluhan murid lain masih mencoba naik. Mereka kini menghadapi rintangan baru tanah yang berguncang, tekanan spiritual yang begitu padat hingga sulit bernapas, dan gelombang energi yang menusuk kulit seperti ribuan jarum halus. Beberapa terjatuh, beberapa lainnya saling dorong, bahkan saling serang demi jalan.
Di tengah tekanan itu, langkah Yuji Daofei terhenti sesaat. Kakinya menancap kuat pada tanah retak yang menyala samar. Aura keemasan menekan tubuhnya seperti gunung di atas pundak. Ia menggertakkan gigi.
“...Ini bukan sekadar ujian kekuatan,” ucapnya pelan.
Yun Xiwe berdiri di sampingnya. “Ini menguji kehendak. Semakin kita naik... semakin kita telanjang di hadapan langit.”
Xieyi Zui menutup matanya sejenak, lalu melangkah lagi. “Aku tidak akan mundur sekarang.”
Sementara itu, Wang Xuei berteriak dalam hati, melawan tekanan yang hampir membuatnya berlutut. Cahaya merah samar mengalir dari tangannya ke tanah. Ia memukul tanah keras-keras, menghasilkan riak kecil yang mendorong tubuhnya maju. “Aku... tidak akan kalah dari kalian!”
Riak energi kembali menyebar dari puncak seperti detak jantung langit itu sendiri. Mereka yang mampu bertahan, akan sampai di tempat hanya segelintir yang layak menginjakkan kaki: Puncak Lihai, tempat di mana Buah Surgawi memanggil jiwa-jiwa terpilih.
Udara semakin menipis. Tekanan di sekeliling mereka terasa seperti gelombang berat yang mencoba meremukkan tubuh siapa pun yang berani mendaki lebih tinggi. Empat sosok terlihat berjuang di jalur sempit berbatu hanya beberapa langkah lagi dari puncak.
Yuji Daofei berada paling depan. Nafasnya teratur, tatapan matanya tetap dingin, tapi langkahnya mantap. Di belakangnya, Yun Xiwe terus melangkah dengan tekad membara, sementara Xieyi Zui terlihat kelelahan, namun masih terus mendaki dengan gigih.
Wang Xuei berada paling belakang. Keringat membasahi pelipisnya. Ia mencuri pandang ke arah Xieyi yang hampir mencapai batu pijakan tinggi di depannya satu langkah lagi dan gadis itu akan menyusul Yun Xiwe.
Namun senyum tipis muncul di wajah Wang Xuei. Bukan senyum hangat… melainkan senyum dengan niat tersembunyi.
Ck. Tangannya meraih segenggam pasir dan beberapa batu kecil dari sela bebatuan. Dengan cepat dan licik, ia melemparkannya ke arah Xieyi Zui.
Bruak!
"Ah!" Xieyi tersentak saat batu menghantam pundaknya, membuat pijakannya tergelincir. Tubuhnya nyaris jatuh ke belakang sebelum ia menahan diri dengan satu tangan.
"Xieyi!" seru Yun Xiwe sambil berbalik.
Xieyi menatap ke bawah dengan mata membara, wajahnya penuh amarah. Pandangannya langsung mengunci Wang Xuei yang tampak pura-pura kelelahan.
Xieyi Zui dengan suara gemetar menahan amarah,
“Kau pikir aku tak tahu siapa yang melempar itu?”
Wang Xuei hanya tersenyum miring, tidak berkata sepatah kata pun.
Yuji Daofei berhenti melangkah. Ia menoleh pelan, lalu menatap Wang Xuei dengan mata setajam bilah es.
Yuji Daofei menatap dengan dingin dan berkata.
“Permainan kotor di tempat seperti ini? Terlalu rendah… bahkan untukmu, Wang Xuei.”
Yun Xiwe ikut berbicara, suaranya tetap lembut, tapi penuh ketegasan.
“Kalau kau lebih sibuk menjatuhkan orang lain daripada mendaki, maka kau sudah kalah… jauh sebelum puncak.”
Wang Xuei mengepalkan tangan, ekspresinya berubah tak suka.
Wang Xuei berkata dalam hati dengan sinis, "Selalu sok benar… Kita lihat siapa yang tersenyum terakhir."
Xieyi Zui menarik napas panjang, meredam amarahnya. Ia menoleh ke Yuji dan Yun lalu mengangguk pelan, melanjutkan langkah meski pundaknya masih nyeri.
Di kejauhan, Jia Wei dan Yuwei masih berdiri di batas Wilayah Zhi. Angin membawa riak energi dari puncak gunung ke arah mereka.
Jia Wei memandang langit dan berkata, “Empat Buah Surgawi… Dunia sedang berubah.”
Yuwei berbisik, “Mereka masih di sana… Tapi Gunung Lihai tidak akan membiarkan sembarang orang menyentuh puncaknya.”
Area Luas Sekitar Gunung
We Jita duduk bersila di batu besar, jauh dari jalur para murid lain. Ia menatap ke atas, wajahnya tenang tapi mata tajamnya mencerminkan perhitungan.
“Empat buah... Puncak itu akan menjadi medan nyata. Hanya satu yang akan bertahan.”