Ficool

The Card's

kuray4ku
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
116
Views
Synopsis
Di ambang kepunahan bangsanya oleh sebuah anomali kosmik, seorang pemuda terpilih menjadi satu-satunya wadah bagi kenangan dan warisan peradabannya yang sekarat. Terlempar ke dunia fantasi yang asing, ia terbangun tanpa ingatan, tanpa nama, dan hanya membawa beban tak kasat mata yang menyiksanya dari dalam.Ditemukan di tengah hutan oleh seorang gadis bangsawan yang penuh semangat, ia segera terseret ke dalam konflik yang tidak ia pahami. Kedamaian singkat yang ia temukan hancur oleh api dan pengkhianatan, tempat monster-monster kuno yang seharusnya telah mati kini bangkit untuk berpesta.Ditemani seorang prajurit setia yang dihantui masa lalunya sendiri, pemuda itu harus berjuang untuk bertahan hidup sambil menghadapi retakan di dalam jiwanya. Setiap langkah membawanya lebih dekat pada kebenaran mengerikan di balik kehancuran dunia barunya, dan pada rahasia agung yang terkunci di dalam dirinya. Siapakah dia sebenarnya? Dan mampukah ia menemukan kekuatannya sebelum kegelapan—baik dari luar maupun dari dalam—menelannya sepenuhnya?
Table of contents
VIEW MORE

Chapter 1 - Ketiadaan

Di hadapanku, di tengah kehampaan yang seharusnya menjadi sebuah ruangan, bersemayam sebuah entitas. Tidak, kata "benda" terlalu kasar, terlalu fana untuk mendefinisikannya. Ini bukan sesuatu yang bisa kau sentuh atau ukur. Menyebutnya melayang adalah sebuah kekeliruan fundamental, sebuah penyederhanaan yang dilakukan oleh pikiran yang terbatas untuk memahami yang tak terpahami. Melayang menyiratkan adanya gravitasi untuk ditentang, adanya atas dan bawah. Di sini, di hadapan eksistensi ini, hukum fisika terasa seperti saran yang sudah usang. Ia einfach ada, sebuah konsep yang diberi wujud, sebuah teorema yang memutuskan untuk bernapas.

Cahayanya adalah hal pertama yang menyerang kesadaranku. Bukan cahaya seperti lampu, melainkan pendaran biru yang hidup, yang berdenyut dengan energi purba. Birunya begitu pekat, seolah seluruh lautan dari seribu dunia telah diperas menjadi satu titik cahaya yang menyilaukan. Panas yang dipancarkannya bukanlah panas yang membakar kulit, melainkan panas yang meresap ke dalam jiwa, kehangatan primordial yang mengingatkanku pada kelahiran bintang-bintang. Dan ukurannya... oh, ukurannya. Kata "besar" adalah penghinaan. "Raksasa" terasa canggung. Ukurannya adalah sebuah absolut, sebuah ketidakterhinggaan yang membuat alam semesta terasa seperti sebuah kotak sepatu. Di hadapannya, aku bukan lagi sekadar debu. Aku lebih kecil dari itu. Aku adalah ketiadaan yang sesaat, sebuah anomali statistik yang kebetulan memiliki kesadaran untuk menyaksikan keagungannya.

Dan di kejauhan, di luar jendela persepsiku, bencana itu menari. Sebuah pusaran. Tidak, sebutan itu terlalu jinak. Itu adalah sebuah singularitas yang lapar, sebuah luka menganga di kain realitas. Sebuah jurang masif berwarna hitam pekat yang dihiasi oleh cincin-cincin cahaya dari materi yang tercabik-cabik. Ia sedang melahap rumah kami. Planet masif kami, sebuah dunia yang begitu megah hingga gunung-gunungnya bisa menggores orbit bulan, kini sedang dikupas lapis demi lapis seperti buah. Benua-benua terkelupas dari mantel planet, lautan metana cair mendidih dan menguap ke dalam kehampaan, dan kota-kota kristal kami yang bernyanyi kini hancur menjadi debu sunyi sebelum lenyap ditelan kegelapan abadi. Hampir semuanya sudah tidak tersisa. Hanya kenangan yang sekarat.

"Aku ingin, kamu menyelamatkan 'kami'."

Suara itu tidak datang dari udara. Ia beresonansi langsung di dalam tulang-tulangku, di dalam inti keberadaanku. Suara yang begitu merdu, seperti alunan harpa kosmik yang dimainkan oleh waktu itu sendiri. Aku menoleh dan melihatnya. Dia. Wujudnya serupa denganku, namun lebih halus, lebih bercahaya. Sosoknya memegang pipiku, sentuhannya terasa seperti frekuensi yang menenangkan. Air mata menggenang di matanya yang besar dan berkilauan, namun anehnya, air mata itu tidak jatuh. Mereka hanya menempel di sana, bergetar seperti embun berlian di bawah cahaya biru dari entitas agung di hadapan kami.

Dia tersedu-sedu, sebuah isakan yang sunyi namun menggetarkan hatiku hingga ke dasarnya. "Semua akan berakhir," bisiknya, bukan dengan kata-kata, tapi dengan emosi yang mengalir dari sentuhannya ke dalam diriku. "Ini adalah senja bagi kaum kita. Takdir kita adalah untuk menjadi gema."

Aku tahu itu. Setiap serat dari keberadaanku merasakan kebenaran yang dingin dari kata-katanya. Kami adalah akhir dari sebuah lagu yang indah. Namun, tatapannya menyiratkan pemberontakan. Ia tidak mau takdir itu. Ia tidak mau kami hanya menjadi kenangan. Di antara miliaran jiwa yang sedang menuju kelupaan, ia memilihku. Untuk menyelamatkannya. Menyelamatkan kami.

Rasa takut yang dingin mencengkeramku. Aku? Bagaimana mungkin aku bisa membawa beban sebesar ini? Aku hanyalah satu not dalam simfoni yang agung. Gagal adalah sebuah kepastian yang menakutkan. Namun, saat aku menatap matanya yang dipenuhi oleh harapan yang putus asa, aku menyadari ada ketakutan yang lebih besar: ketakutan karena tidak pernah mencoba. Ketakutan akan penyesalan yang akan menghantuiku di detik-detik terakhirku. Aku mengangguk perlahan.

Dia tersenyum, meski senyum itu retak oleh kesedihan. Tangannya yang lain bergerak, meraba kepalaku dengan lembut, sebuah gestur perpisahan yang penuh duka.

Lalu, tanpa peringatan, dia menekan telapak tangannya ke dahiku. Itu bukan lagi sebuah sentuhan. Itu adalah invasi. Sebuah segel sedang ditempa di dalam batok kepalaku. Rasa sakit yang tak terlukiskan meledak di dalam diriku. Bukan sakit fisik seperti tulang yang patah atau kulit yang terbakar. Ini adalah sakit eksistensial. Rasanya seperti seluruh perpustakaan alam semesta, dengan semua pengetahuan, sejarah, lagu, seni, dan esensi dari kaum "kami", sedang dipaksa masuk ke dalam kesadaranku yang terbatas. Jutaan suara menjerit, miliaran kenangan berkelebat, seluruh keberadaan sebuah peradaban dikompres menjadi sebuah titik tunggal di dalam diriku. Aku ingin berteriak, tapi paru-paruku terasa lumpuh. Aku hanya bisa menahannya, membiarkan badai itu mengamuk di dalam pikiranku, berharap aku tidak hancur dari dalam.

Ketika siksaan itu mencapai puncaknya, dia menarik tangannya. Dia mendorongku dengan perlahan, sebuah dorongan yang nyaris tak terasa namun memiliki kekuatan untuk memisahkan dunia.

"Selamat tinggal," ucapnya, suaranya kini terdengar serak, sebuah nada yang dipaksakan untuk terdengar tegar sementara jiwanya hancur berkeping-keping. Senyumnya yang sedih akan selamanya terpatri dalam ingatanku.

Dan.

Pusaran masif itu bergerak kembali. Ia tidak lagi menari, kini ia melahap dengan rakus. Gravitasinya yang mengerikan menariknya, menarik sisa-sisa terakhir dari dunia kami. Aku melihatnya, sosoknya yang bercahaya, mulai ditarik ke arah cakrawala peristiwa yang tak terhindarkan itu. Dia tidak melawan. Dia hanya menatapku, senyum sedih itu masih terpasang di wajahnya.

Aku juga merasakan tarikan itu, sebuah cengkeraman tak terlihat yang ingin menyeretku bersamanya. Namun, sesuatu yang lain terjadi. Energi dari segel di dahiku menyala. Tubuhku tidak ditarik, melainkan didorong menjauh. Aku melayang, tidak, aku ditembakkan seperti proyektil melintasi kehampaan.

Aku bergerak, melesat mundur dengan kecepatan yang tak terbayangkan. Sosoknya menjadi semakin kecil, semakin redup, hingga akhirnya dia hanyalah satu dari triliunan titik cahaya sebelum lenyap ditelan oleh kegelapan yang tak berdasar itu. Aku sendirian.

Dunia di sekitarku berubah menjadi coretan cahaya. Benda-benda biru yang bersinar, yang tadi kulihat hanya satu, kini muncul di mana-mana. Sangat-sangat banyak, tak terhitung. Apakah mereka semua sama? Apakah setiap titik cahaya itu adalah saksi dari akhir sebuah dunia? Bagaimana bisa sesuatu yang begitu masif, begitu agung, ada dalam jumlah sebanyak ini? Pertanyaan itu lenyap ditelan gelombang rasa sakit yang baru. Semakin cepat aku bergerak, semakin hebat rasa sakit dari segel di dalam diriku. Rasanya seperti benih yang ditanam di dalamku kini sedang tumbuh dengan liar, akarnya merobek-robek kewarasanku.

Di tengah penderitaan yang mencabik dan kecepatan yang memusingkan, aku melihatnya—sebuah anomali. Sebuah gelembung realitas yang tak serupa dengan dunia di sekitarnya. Ia tampak seperti sebuah ruangan berisi air jernih yang beriak tenang, melayang anggun di antara kekacauan kosmik. Ketidakmungkinan murni. Sebuah oase di tengah padang kehampaan. Tanpa sempat berpikir, aku mengarahkan sisa-sisa kesadaranku ke arahnya. Aku tak tahu apa itu, hanya bahwa ia adalah satu-satunya hal yang tidak tampak seperti kematian yang mutlak. Dengan harapan putus asa akan keselamatan—atau setidaknya, jeda dari siksaan ini—aku menembus permukaannya dan masuk ke dalam dunia yang cair itu.

Untuk sesaat, segalanya menjadi senyap. Suara ledakan kosmik, jeritan dimensi yang runtuh, semuanya seolah ditelan. Rasanya seperti melewati membran yang lentur, seperti masuk ke dalam rahim dunia itu sendiri. Tubuhku melayang perlahan di antara butiran cahaya yang mengapung bagai serbuk bintang, sementara waktu terasa seolah berhenti, membiarkanku bernapas kembali untuk pertama kalinya setelah keabadian penuh derita. Sensasi itu aneh—sejuk namun hangat, asing namun akrab, seolah aku sedang diingatkan pada sesuatu yang telah lama hilang dari ingatanku.