Bab 6: Hening yang Menipu
Sudah dua minggu sejak Sri Kenanga meninggalkan dunia. Sumur tua kini tampak biasa—tak lagi dikelilingi kabut, tak terdengar bisikan, dan tidak ada mata yang menatap dari kedalaman.
Namun... Nadya merasa hening ini bukan ketenangan. Tapi penantian.
Setiap malam, ia terbangun di jam yang sama: 02.17.Selalu jam itu.Dan selalu dengan mimpi yang sama: suara air menetes... dan suara-suara lirih memanggil namanya dari balik tanah.
Pesan Tak Tertulis
Suatu sore, saat Nadya membereskan tasnya, ia menemukan satu kertas aneh terselip di antara buku catatannya. Ia yakin sebelumnya tidak ada. Kertas itu kuning kecoklatan, seperti daun lontar tua.
Di situ hanya tertulis satu kalimat:
"Kau baru membebaskan satu jiwa. Tapi sumur itu telah menelan lebih dari satu."
Tiba-tiba jendela kamar penginapan terbuka sendiri. Angin dingin masuk.Dan dari luar... tercium bau tanah basah bercampur darah.
Penunggu Kedua
Malam itu, Nadya kembali ke sumur. Hatinya berkata—semuanya belum selesai.
Di sana, ia berdiri lama, hanya menatap ke dalam.
Tapi bukan Sri Kenanga yang muncul.
Dari dasar sumur, asap hitam naik perlahan, berputar, lalu berubah menjadi wujud seorang lelaki tua berkepala botak, dengan leher tergantung benang merah yang masih meneteskan darah.
"Sri hanya satu dari banyak yang dibuang ke sini…""Tapi aku... dibungkam karena tahu terlalu banyak."
Nadya mundur.
"Namaku… Mbah Sarka.Aku dukun desa yang tahu siapa yang mengatur pengorbanan itu semua.Sri hanya tumbal. Tapi pemakan tumbalnya... masih hidup."
Kebenaran yang Dikubur
Mbah Sarka tidak meminta untuk diselamatkan. Tidak seperti Sri Kenanga.
"Aku tidak butuh namaku ditulis kembali," katanya."Aku ingin kau menyelesaikan yang tidak bisa kuselesaikan… menghentikan mereka yang memulai ini semua."
"Siapa 'mereka'?" tanya Nadya.
Tapi sebelum Mbah Sarka menjawab, wajahnya tercabik kabut hitam, dan ia menghilang seperti direnggut paksa oleh sesuatu dari bawah.
Dan suara terakhir yang Nadya dengar adalah:
"Jangan percaya kepala desa…"