Bab 5: Perjanjian di Tepi Gelap
Angin tiba-tiba berhembus kencang, meniup rambut Nadya hingga menutupi wajahnya. Daun-daun kering beterbangan, menciptakan pusaran aneh di sekitar sumur.
Sri Kenanga masih berdiri di seberang, tubuhnya setengah berwujud, setengah kabut merah.Wajahnya tak penuh dendam… tapi penuh luka.
"Aku tidak marah padamu, Nadya," katanya lirih."Tapi dunia harus ingat... bahwa aku pernah ada."
Nadya berlutut, menggenggam kalung di dadanya yang kini terasa berat seperti batu.
"Apa yang harus kulakukan?"
Sri Kenanga mendekat selangkah, tapi tetap menjaga jarak.
"Carilah lembar nama. Daftar tua yang disembunyikan oleh kepala desa. Namaku dihapus dari situ. Ambil... dan tuliskan ulang namaku di altar tua."
"Hanya dengan itu, aku akan pergi... dan tak akan mengganggu tubuhmu lagi."
Catatan yang Dihilangkan
Keesokan harinya, Nadya menyelinap ke rumah kepala desa Karangjati yang dikenal tertutup dan konservatif. Ia menyamar sebagai mahasiswa antropologi yang sedang melakukan riset warisan budaya lokal.
Setelah beberapa basa-basi, ia berhasil masuk ke gudang belakang rumah—tempat arsip tua disimpan. Debu tebal menempel di setiap rak.
Setelah hampir satu jam mencari, ia menemukan satu kotak kayu terkunci dengan tulisan:
"DAFTAR ASAL 1923 - RAHASIA"
Ia paksa membukanya.
Dan di dalamnya, berlembar-lembar daftar penduduk lama—dengan satu halaman yang dicoret tinta merah.
Nama: Sri KenangaUsia: 17Status: Hilang saat malam ritual pembersihan hutan
Di bawahnya, tertulis satu kalimat dengan tinta hitam:
"Jangan diucapkan. Jangan dikembalikan. Jangan diingat."
Tapi Nadya… sudah mengingatnya.
Altar yang Terkunci
Sore itu, Nadya pergi ke sebuah candi kecil di tengah hutan yang nyaris hancur. Tempat itu dulunya adalah altar penyucian, tempat semua nama leluhur dipahatkan.
Ia membawa arang, kertas lontar, dan nama yang telah ia tulis ulang:
Sri Kenanga binti Harjo Wibowo – 1923
Tapi saat hendak meletakkan kertas itu di atas altar… tanah bergetar. Kabut mulai naik.
Sri Kenanga muncul.
Tapi kali ini, wajahnya damai.
"Kau benar-benar melakukannya…""Sekarang aku bisa pergi... tapi sebelum itu... satu pertanyaan."
Rara menatapnya.
"Jika suatu saat... kau pun dilupakan, siapa yang akan menuliskan namamu?"
Nadya terdiam. Tak mampu menjawab.
Kepergian Tanpa Luka
Sri Kenanga tersenyum tipis, lalu perlahan tubuhnya terurai menjadi serpihan kabut keemasan.Simbol di leher Nadya lenyap seketika. Kalung manik di dadanya kembali ringan.
Dan untuk pertama kalinya sejak datang ke desa ini… sumur tua itu benar-benar sunyi.