Bab 10: Tanah yang Tak Pernah Lupa
Setelah kejadian malam itu, sumur tua Karangjati mengering untuk pertama kalinya dalam 87 tahun.Tanah di sekelilingnya retak. Kabut tak pernah muncul lagi. Dan tidak ada suara dari dalam.
Warga desa kembali hidup seperti biasa, namun dengan satu perbedaan yang tak mereka sadari:
Mereka telah melupakan sesuatu yang dulu mereka sembah dalam diam.
Catatan Terakhir
Nadya kembali ke kampus dengan membawa semua dokumentasi, tapi ia tidak pernah mengunggahnya. Semua file tentang sumur, altar, dan perjanjian… menghilang dari laptop dan flashdisk—seolah memang tak boleh dibagikan ke dunia.
Yang tersisa hanyalah kalung manik yang kini menghitam, dan satu foto buram dari kamera analog miliknya—gambar siluet seseorang berdiri di bibir sumur, dikelilingi kabut merah yang menghilang setengah badan.
Foto itu ia simpan dalam jurnal pribadinya.Judulnya: "Satu Jiwa Diselamatkan. Banyak yang Tidak Akan Pernah Ditemukan."
Perjalanan Belum Berakhir
Satu bulan setelah kembali ke kota, Nadya menerima surat tak bertanda pengirim. Di dalamnya hanya ada secarik kertas bertuliskan tangan:
"Sumur Karangjati telah ditutup. Tapi bagaimana dengan Sumur Palagan di Jawa Tengah? Di sana, bukan hanya jiwa... yang dikorbankan. Tapi waktu."
Dan di balik kertas itu, ada potongan tanah berbau anyir.
Nadya hanya tersenyum pahit.
"Aku sudah memulainya. Aku tak bisa mundur lagi.""Jika ada sumur lain… aku akan menuliskan nama-nama yang dilupakan."
Penunggu Sumur di Hutan Terlarang – TAMAT Bagian Pertama Lanjut ke bagian dua: "Penunggu Sumur Palagan"
Epilog:
Sumur Karangjati kini ditutup oleh pemerintah atas alasan "zona bahaya tanah longsor".
Nadya memilih untuk tidak kembali ke kehidupan biasa. Ia mulai menelusuri sumur-sumur tua di seluruh Indonesia yang memiliki catatan hilangnya orang secara misterius.
Ia bukan lagi mahasiswi biasa. Ia kini dikenal oleh para penjaga gaib dengan satu sebutan:
Penulis Nama yang Hilang.