Ficool

Chapter 3 - CHAPTER 2

Elisabeth menatap kosong ke luar jendela helikopter, ke arah bentangan kota yang terbentang luas di bawah sana. Dari ketinggian, gedung-gedung pencakar langit tampak berkilauan diterpa cahaya matahari sore yang mulai condong, jalanan berliku yang dipenuhi kendaraan mungil bagaikan semut yang tak pernah berhenti bergerak.

Dari kejauhan sudah nampak kubah-kubah berwarna keemasan tampak berkilau sebagai ikon utama Saint Petersburg, menandai bangunan tua yang masih tegak berdiri di tengah modernitas.

Suara baling-baling yang berputar deras menciptakan getaran halus pada lantai dan dinding kabin. Perjalanan ini ternyata lebih singkat daripada perkiraan awal, belum genap empat jam, dan ia sudah hampir sampai pada tujuan.

Pandangan Elisabeth beralih sejenak. Di sisi kabin, seorang wanita duduk dengan tegap, jemari rampingnya lincah menari di atas papan ketik laptop dan layar tablet—terlihat sama sekali tak terganggu oleh deru mesin helikopter.

Sejak beberapa jam terakhir, sekrestaris itu telah menerima panggilan demi panggilan, tak kurang dari tujuh kali, suaranya selalu terdengar tenang dan profesional meski wajahnya mulai menampakkan tanda lelah.

Elisabeth menduga wanita itu memiliki segunung beban pekerjaan untuk diselesaikan, sesuatu yang mungkin sudah menjadi rutinitas baginya sebagai sekretaris utama perusahaan besar.

Dan dia diutus Tuan Vorontsov secara pribadi untuk menjemputku.

Elisabeth menundukkan kepala sejenak sebelum mengangkatnya kembali.

Oh dan ngomong-ngomong, sepertinya tidak perlu lagi memanggil Sekrestaris dengan sebutan 'Wanita itu' lagi, Elisabeth tahu namanya dari perkenalan diri yang agak terlambat beberapa jam lalu.

> "Maafkan saya terlambat memperkenalkan diri. Saya Ekaterina Antonova. Anda bisa memanggil saya Katarina."

"Baiklah, Nyonya Katarina."

"Tolong panggil saya Katarina saja, Nona. Tidak perlu dengan ‘Nyonya’."

Elisabeth sempat ingin menyanggah, merasa tak sopan memanggil seseorang yang lebih tua tanpa sebutan kehormatan. Namun akhirnya ia hanya mengangguk samar, membiarkan perbincangan berhenti di sana.

Sejak itu, keheningan membungkus kabin. Hanya suara deru baling-baling dan sesekali bunyi notifikasi dari perangkat Katarina yang menemani perjalanan panjang mereka.

Elisabeth mulai merasa bosan, tak ada yang bisa ia lakukan selain kembali menatap kota yang perlahan ditelan cahaya senja.

Tangannya bergerak refleks, menyentuh sesuatu yang tersembunyi di balik gaun.

Sebuah kalung kecil berwarna perak, berlambang salib, dingin menyentuh kulitnya. Elisabeth menggenggamnya dengan lembut, mengusap pelan permukaan logam yang halus. Itu adalah hadiah ulang tahun dari Svetlana, diberikan saat ia baru saja beranjak remaja.

Ingatan akan senyuman hangat Svetlana kala itu membuat bibirnya melengkung samar, nyaris tak terlihat.

Dan ingatan itu membawa Elisabeth pada momen beberapa jam lalu, saat ia berdiri di hadapan Anna dan para biarawati. Pelukan hangat berpindah dari satu orang ke orang lain, penuh doa dan harapan.

Saat tiba di hadapan Sofia, perpisahan itu berakhir dengan sebuah ciuman lembut di keningnya.

Lalu Elisabeth sendiri yang berpesan, lirih namun penuh permohonan.

> "Tolong sampaikan pada Mikhail tentang hal ini ketika nanti dia tiba. Akan aku usahakan untuk dengan cepat menghubungi kalian."

Itulah kata-kata terakhirnya pada Sofia, sebelum langkahnya terpaksa menjauh menuju helikopter yang menunggu.

###

Helikopter itu perlahan menurunkan ketinggiannya hingga akhirnya mendarat di atap tertinggi sebuah bangunan megah. Begitu pintunya terbuka, udara sore menjelang malam yang menggigit seketika menyergap, dinginnya menusuk hingga ke tulang.

Elisabeth tak kuasa menahan raut wajahnya yang meringis, bibirnya sedikit bergetar.

Namun, sebelum ia sempat merapatkan tubuhnya, sesuatu yang hangat menyelimuti punggungnya.

Elisabeth menoleh, mendapati Katarina sudah sigap memakaikan sebuah mantel cokelat tebal berbulu padanya.

"Saat ini udara di Saint Petersburg jauh lebih dingin dibanding Moskow, Nona. Anda harus memastikan diri tetap hangat."

Elisabeth tersenyum tipis, lalu merapikan mantel itu di tubuhnya.

"Terima kasih, Katarina."

Katarina mengangguk sopan, kemudian mengulurkan tangan, memberi isyarat agar Elisabeth turun lebih dulu.

"Silakan Anda lebih dulu, Nona."

Setelah mengencangkan mantel di dadanya, Elisabeth melangkah ke pintu, bersiap turun. Ia terkejut mendapati beberapa pria berjas hitam sudah menunggu di bawah.

Salah satu pria mendekat, mengulurkan tangan dengan sopan. Elisabeth meraihnya, menerima bantuan itu sambil tersenyum ramah.

Saat kakinya menjejak tanah atap, hembusan angin kuat dari baling-baling helikopter kembali mengibaskan rambut pirangnya, sebagian helai terlepas dan menyentuh lembut wajahnya.

Elisabeth mengangkat pandangannya—dan tertegun. Di hadapannya terhampar panorama senja, langit oranye keemasan merayap di balik siluet bangunan megah yang membentang luas seperti istana.

Dari ketinggiannya kini, ia bisa melihat jalanan depan yang panjang, membentang lurus dengan pepohonan berjajar rapi. Di sisi kanan dan kiri halaman luas itu berdiri dua bangunan besar, simetris, dengan arsitektur klasik bercampur modern—atap tinggi, jendela besar berderet, dan pilar putih menjulang.

Dan di tempatnya kini, Elisabeth berdiri di puncak bangunan tertinggi—yang tak lain adalah kediaman utama keluarga Vorontsov. Dari sini segalanya tampak mempesona sekaligus menakutkan, bak sebuah simbol kekayaan yang mutlak.

Ini gila! Aku memang tahu Vorontsov sangat kaya, tapi bagaimana bisa seseorang tinggal di istana seperti ini...!?

"Nona Elisabeth."

Suara panggilan dari belakang membuatnya menoleh spontan. Dari pintu yang terbuka tak jauh, Katarina sudah berdiri anggun, diapit beberapa pengawal berjas hitam. Wajahnya serius, namun tetap memberi tatapan penuh hormat.

"Silakan lewat sini, Nona. Saya akan mengarahkan Anda untuk menyapa Tuan Vorontsov."

###

Elisabeth berjalan anggun, langkahnya berderap pelan menyusuri lantai marmer yang dingin berkilau. Di kanan dan kirinya, para pengawal tetap mengikuti, menjaga jarak namun tak pernah lepas dari dirinya.

Sementara itu Katarina berjalan lebih dahulu di depannya, menunjukkan jalan serta dengan detail menjelaskan seluruh struktur rumah besar itu.

"Bangunan yang dapat Anda lihat agak jauh di sebelah sana adalah sayap kanan, disebut Arkhangela," ujarnya dengan suara lembut namun tegas.

"Yang lebih dekat dan terlihat lebih besar di sisi lain adalah sayap kiri, disebut Serafima. Sedangkan tempat kita berpijak sekarang, inilah bangunan utama, adalah tubuh , yang disebut Serdtse."

Elisabeth mengernyit samar, matanya menyapu megahnya arsitektur yang seolah tak berujung.

"Apakah masing-masing bagian itu memiliki kegunaan yang berbeda untuk ditinggali?"

Ia bertanya ragu, seakan masih mencoba memahami logika di balik rumah besar ini.

Katarina mengangguk sopan.

"Kurang lebih begitu. Arkhangela diperuntukkan bagi anggota keluarga besar. Serafima, yang merupakan bangunan terbesar kedua setelah tubuh utama ini, adalah hak istimewa yang akan diberikan kepada seorang pewaris saat menginjak usia sepuluh tahun. Dan Serdtse—di sinilah pusat segalanya berada. Kantor, ruang perjamuan, aula penyambutan tamu penting, sekaligus kediaman kepala keluarga."

Elisabeth tersentak dalam hati.

Anak berusia sepuluh tahun akan mendapat satu sayap rumah sebesar itu untuk dipimpin?

Ia hampir sulit mempercayai telinganya.

Betapa ganjilnya logika orang-orang kaya raya. Dunia mereka jelas berbeda—tak hanya dari segi harta, tapi juga cara berpikir dan tradisi yang diwariskan.

Katarina kembali melanjutkan, suaranya tetap tegas dan berwibawa.

"Di bagian belakang terdapat perbukitan. Di sanalah lapangan berkuda berada. Jika Anda tertarik, sesekali cobalah. Tuan Sergey dan Tuan Vladimir sering menunggang hingga sejauh danau yang hampir menyentuh kaki bukit."

Elisabeth hanya bisa terperangah. Matanya berkelana, mencoba membayangkan luasnya lahan yang dimiliki keluarga ini.

Pikirannya berputar, mencoba menghitung-hitung jarak dari gerbang depan hingga ke bangunan utama yang sekarang ia pijak—dan mendapati hitungannya selalu tak masuk akal.

Seketika kepalanya terasa pening. Jadi, apa yang kulihat dari depan tadi bahkan bukan apa-apa?

Ini jelas bukan level manusia biasa!

Dan ketika Elisabeth sibuk dengan pikirannya sendiri, Katarina di depan tiba-tiba menghentikan langkah. Hampir saja Elisabeth menabraknya jika tidak cepat menahan diri.

Ia menoleh sejenak, lalu pandangannya menyapu sekitar. Mereka berada di sebuah lorong sunyi dengan lampu gantung kristal memantulkan cahaya pucat ke dinding.

Di ujung lorong berdiri sebuah pintu kayu besar berukir lambang keluarga, dijaga dua pengawal berseragam hitam.

Katarina bersuara datar tanpa menoleh.

"Kita sampai, Nona. Anda hanya akan menyapa Tuan Vorontsov selama lima belas menit. Setelah itu, kepala pelayan akan mengantar Anda ke Arkhangela."

Kalimat itu membuat dada Elisabeth terasa hangat sejenak. Arkhangela untuk anggota keluarga. Bukankah itu berarti—Tuan Vorontsov menganggapnya keluarga, bukan sekadar tamu asing?

Sebelum ia sempat merenung lebih jauh, salah satu pengawal maju dan mendorong pintu itu.

Suara berat kayu beradu terdengar, seketika hawa dingin pendingin ruangan dari dalam menyelinap keluar, menampar kulit Elisabeth hingga ia refleks merapatkan mantel ke tubuhnya.

Katarina melangkah masuk lebih dahulu. Elisabeth mengikuti, matanya yang berwarna hijau almond segera tertumbuk pada ruangan luas bak aula pribadi seorang penguasa.

Rak-rak tinggi penuh buku berjejer di sisi dinding, berjajar hingga mencapai langit-langit yang ditopang pilar marmer. Di sebelah kiri, sofa-sofa besar berlapis kulit gelap tersusun melingkar, tampak nyaman sekaligus mewah.

Di antara sofa itu berdiri sebuah vas porselen langka berhiaskan motif bunga biru keemasan, jelas bukan barang biasa—mungkin datang dari lelang suatu kerajaan Eropa.

Namun semua itu terkalahkan oleh satu hal, sebuah meja besar dan kokoh di hadapannya. Meja itu terbuat dari kayu ek hitam yang permukaannya dipoles begitu halus hingga memantulkan cahaya lampu.

Elisabeth baru hendak melangkah lebih dalam ketika ia mencium sesuatu.

Sebuah aroma manis bercampur pahit, pekat, seperti daun terbakar dengan sentuhan madu. Aroma itu menusuk hidungnya, sekaligus menebar rasa berat di udara.

Ia mendongak sedikit—dan benar, samar-samar terlihat kepulan asap menari-nari di balik meja besar itu.

"Tuan Vorontsov," suara Katarina memecah sunyi, terdengar penuh hormat.

Wanita itu sedikit membungkuk. Elisabeth terkesiap, namun refleks ikut menunduk.

Di balik kursi kerja besar, seorang pria duduk, memunggungi mereka. Jemarinya yang besar terlihat sesekali mengangkat cerutu berasap ke bibirnya, lalu melepaskan lagi hembusan berat yang membuat udara makin pekat.

Kemudian terdengar suara yang begitu berat, namun entah bagaimana tetap lembut, bergema.

"Kau kah itu? Seorang yatim piatu dari St. Barbara yang sudah dianggap anak oleh Ayahku?"

Nada kalimatnya mengandung sesuatu—setengah sinis, seperti merendahkan.

Elisabeth tercekat, ingin menjawab, namun Katarina lebih dulu bersuara cepat.

"Benar, Tuan. Namanya adalah Elisabeth Petrova."

Pria itu mendengus pelan, seperti senandung yang penuh arti. Lalu perlahan ia berdiri. Kursi kulit yang ia duduki bergeser sedikit, dan momen itu membuat dada Elisabeth berdegup lebih keras.

Ia dan Katarina serempak menunduk lebih dalam.

Namun ketika tubuh besar itu berputar, Elisabeth bisa merasakan tatapan menusuk yang kini terarah kepadanya.

Hawanya lebih dingin daripada udara dari luar pintu, lebih dingin daripada lorong panjang yang baru ia lewati.

Ia tidak melihat wajahnya, namun instingnya seolah berteriak—ia tengah dipelototi dalam lilitan seekor ular raksasa yang siap menghancurkan tulang, dengan bisa yang dapat membunuh perlahan.

Elisabeth menelan ludah, hampir tersedak oleh ketakutan yang tiba-tiba merayap.

"Angkat kepalamu."

Sebuah perintah. Bukan permintaan.

Dengan pelan Elisabeth mengangkat wajah. Netra hijaunya pertama-tama menangkap meja besar dengan papan nama berukir 'President'.

Lalu pandangannya naik, dan ia terpaku.

Pria itu berdiri tegak dengan satu tangannya di saku celana, dan yang lain dengan jemarinya mengapit cerutu, tinggi hampir dua meter. Bahunya lebar, tubuhnya berotot, terbungkus setelan kerja abu-abu yang dibuat khusus untuk menahan postur sebesar itu. Rambut pirang platinumnya disisir ke belakang, menyisakan dua helai jatuh di sisi wajah.

Satu kesan pertama dari Elisabeth terhadap pria ini yang akan melekat meski ia menua nanti adalah,

Pria ini sangat mirip dengan Sergey!

Astaga, Elisabeth bahkan hampir mengira yang sedang berdiri didepan saat ini adalah pimpinan sebelumnya.

Wajah itu bagaikan jiplakan Sergey. Tulang pipi tegas, rahang kokoh terpahat jelas. Bedanya hanya sedikit, Sergey punya kerutan halus di dekat hidungnya, ada tahi lalat kecil di bawah mulut kanannya, dan tubuh Sergey sedikit lebih pendek dari pria ini.

Tapi tatapan—oh, tatapan itulah yang membuat perbedaannya nyata.

Sergey selalu menatapnya dengan hangat, penuh ramah. Sedangkan tatapan biru yang kini menguncinya hanyalah dingin, merendahkan, seperti seorang algojo yang menimbang harga hidup korbannya.

Dan pria itu—mungkin ia merasa senang sedang diam-diam dikagumi, atau menyadari kalau sedang dibandingkan dengan Ayahnya—menarik sudut bibirnya.

Sebuah senyum tipis, yang lebih terasa sebagai ejekan daripada sambutan.

"Selamat datang di Vorontsov."

Jantung Elisabeth berdegup liar. Tangannya berkeringat. Ada getaran halus dalam dirinya yang memaksa ingin lari, tapi kakinya terpaku di tempat.

Dan saat itu juga, sekelebat ingatan masa lalu terlintas jelas di benaknya. Sergey, duduk di kursinya suatu sore, membicarakan putranya untuk pertama dan terakhir kali.

> “Aku mempunyai seorang putra. Dia jauh lebih tua darimu, dan sekarang dia bersekolah di London.”

"Apa Anda merindukannya, Tuan?"

Sergey terdiam sejenak, lalu menjawab dengan raut tak terbaca.

"Merindukannya? Anak itu? Hmm… terdengar bukan seperti diriku."

"Apa aku boleh berteman dengannya? Seperti aku berteman denganmu, Tuan?"

Senyum Sergey lenyap. Wajahnya meredup seketika, diliputi bayangan yang asing bagi Elisabeth.

"Elisabeth…" suaranya lirih, nyaris bergetar.

"Jangankan untuk berteman. Aku bahkan tidak ada niatan mempertemukanmu dengannya. Dia orang yang sangat berbahaya."

###

Note : Untuk tanda ' > ' itu, disini aku maksudkan untuk penandaan awal atau suatu percakapan flashback, jadi biar ngga terlalu bingung.

Ada juga tanda ' — ' disertai italian, di cerita ini juga dimaksudkan untuk penandaan pembicaraan lawan di telepon.

Semua tanda itu adalah gaya penulisan aku sendiri ya teman-teman, mohon jangan disalah artikan dengan sesuatu yang lain 🙏🏻

Terimakasih sudah membaca, kalian bisa lanjut scroll lagi.

More Chapters