Bruk–!
Elisabeth menjatuhkan tubuhnya ke ranjang empuk dengan helaan napas panjang, seolah seluruh tenaganya terkuras habis.
Satu jam sebelumnya ia tiba di Arkhangela, diantar oleh kepala pelayan Serdste.
Perjalanan menuju bangunan itu tidak singkat, persis seperti yang Katarina katakan.
Dari Serdste, mereka masih harus menapaki jalan setapak kecil yang hanya diperuntukkan bagi pejalan kaki. Karena Arkhangela berdiri sedikit menjorok ke arah bukit, sehingga kurang lebih sepuluh menit berjalan kaki dibutuhkan sebelum mencapai pintu utama.
Sekilas, semua bangunan di area itu tampak serupa. Namun, dari dekat Arkhangela memperlihatkan perbedaan mencolok. Arsitekturnya lebih condong ke nuansa Neoclassical, jauh dibandingkan Serdste yang memiliki kesan Baroque-Rococo.
Sebelum pintu utama, berdiri sebuah kolam air mancur. Air mancur itu berdiri laksana peninggalan Romawi kuno.
Terbuat dari batu pualam berwarna putih, pahatan pada dinding kolam dasarnya dipenuhi motif anggur, dedaunan, dan simbol-simbol klasik yang melambangkan kesuburan serta keabadian.
Di atasnya menjulang dua tingkat mangkuk raksasa, masing-masing ditopang tiang spiral yang kokoh. Dari bibir mangkuk, air jatuh berderai dalam untaian jernih.
Puncaknya, yang menjadi mahkota dari keseluruhan komposisi, sosok seorang dewi marmer yang berdiri dengan tubuh lentur, salah satu lengannya terangkat tinggi sambil menuangkan kendi dari mana air tak henti mengalir.
Di sampingnya, seorang putti kecil terpahat manis, memandang sang dewi dengan kagum.
Kepala pelayan yang mengantar sempat menjelaskan, patung itu adalah simbol Arkhangela, diciptakan oleh pemilik lama sejak generasi sebelum-sebelumnya.
Dan begitu Elisabeth melangkah masuk, ia disambut oleh seorang kepala pelayan lain—wanita setengah baya dengan tubuh berisi, yang memperkenalkan dirinya dengan suara hangat, "Darya Ivanova."
Sambutannya hangat, seperti pelukan dari seorang bibi jauh yang sudah lama menunggu keponakannya pulang. Darya bahkan mengatakan ia sudah menanti kedatangan Elisabeth sejak Katarina memberitahu bahwa akan ada penghuni baru di bangunan itu.
Dengan cermat dan penuh kebanggaan, Darya menuntunnya berkeliling, menunjukkan setiap sudut Arkhangela.
Elisabeth mengingat jelas bahwa rumah itu diperuntukkan bagi keluarga besar, namun suasananya terlalu sunyi—tidak seperti rumah besar yang biasanya dipenuhi hiruk pikuk anggota keluarga.
"Apa biasanya memang selalu sesepi ini?"
Tak kuasa menahan rasa penasaran, Elisabeth pun menanyakannya.
Menyadari apa yang menjadi alasan Elisabeth bertanya, Darya menjawab dengan ramah.
"Arkhangela memang dibangun untuk keluarga besar, Nona. Tapi kebanyakan dari mereka itu sudah menikah, jadi lebih memilih tinggal di kediaman pasangan masing-masing."
Elisabeth mengangguk, matanya berkelana ke sekeliling ruangan yang terlalu megah untuk dibiarkan kosong. Ia kembali bertanya.
"Jadi, tempat ini selalu kosong?"
Darya menjawab sambil mengibaskan tangannya ringan.
"Tidak selalu, Nona. Sesekali ada yang berkunjung ketika mereka punya urusan di Saint Petersburg. Atau saat hari-hari besar seperti Natal, Tahun Baru, juga Maslenitsa dan Paskha—mereka biasanya berkumpul di sini."
Aha–!
Elisabeth mengerti sekarang, di Vorontsov tidak ada larangan yang menegaskan bahwa jika mereka anggota keluarga, mereka harus tinggal disana selamanya.
Malah faktanya, mereka diizinkan bahkan diperbolehkan meninggalkan rumah ketika sudah menikah, dengan satu ketentuan tetap yaitu : Tidak melupakan dari mana mereka berasal.
Jadi ketika sebuah hari perayaan seperti yang disebutkan Darya datang, suasana rumah terutama Arkhangela akan sangat ramai dipenuhi keseluruhan anggota keluarga besar.
Dan tiba-tiba pikirannya terlintas pada ucapan Vladimir beberapa saat yang lalu.
> "Tidak diperbolehkan bagimu untuk meninggalkan-bahkan sekadar menyimpan pikiran itu."
Jadi, kenapa Vladimir mengatakan hal itu padanya?
Apa aturan itu hanya tertuju untukku?
Di tengah pikirannya yang bergelanyut itu, suara Darya kembali terdengar dan menambahkan,
"Yang selalu kosong belakangan ini hanyalah Serafima. Tidak seorang pun boleh tinggal di sana, bahkan sekadar untuk menikmati fasilitasnya. Seperti menegaskan kalau bangunan itu memang khusus pewaris. Yah... Tapi walaupun kosong, didalamnya tetap bersih, pelayan disana secara rutin datang tiap tiga kali seminggu untuk membersihkan."
Elisabeth tersenyum jenaka, melontarkan gurauan kecil,
"Sepertinya pelayan berkuasa di tempat itu lebih cepat daripada pewaris, ya."
Candaannya membuat Darya tergelak, tawanya bergema lembut menembus keheningan aula.
Setelah tur singkat itu, Elisabeth membersihkan diri di kamar yang telah disiapkan, turun untuk makan malam, lalu kembali ke atas.
Kini, di ranjang besar berhias sprei putih lembut, ia menyerah pada rasa lelah.
Matanya perlahan terpejam, rasa kantuk mulai menyeret pikirannya ke tepian mimpi.
Namun tiba-tiba, sebuah bisikan seakan menyusup dari kedalaman ingatan—suara Anna, lirih, nyaris seperti roh yang hadir di samping telinganya,
> "Ambil ini, Lilibeth…"
Dalam sekejap Elisabeth telah membuka mata lebar-lebar.
Ia tersentak mengingat sesuatu—nomor telepon!
Secarik kertas yang diberikan Anna, satu-satunya jalan untuk menghubungi biara. Ia bahkan sudah berjanji akan menelpon segera setelah tiba.
"Astaga!"
Dengan gerakan panik, langsung bangkit dari ranjang.
Bagaimana bisa aku melupakan hal sepenting itu?!
Ia segera menuju kamar mandi, ke keranjang pakaian kotor tempat ia meletakkan gaun yang dikenakan sebelumnya. Tangannya meraih dengan terburu-buru, membalikkan gaun itu, lalu merogoh ke dalam saku.
Namun gerakannya mendadak terhenti.
Tangannya tetap berada di dalam saku, tapi yang dirasakan hanyalah kehampaan.
Kosong.
Tidak ada apapun di sana.
Seolah darahnya membeku, jantungnya mulai berdegup tak beraturan. Elisabeth merogoh lebih dalam, lalu mengulanginya lagi dengan gerakan yang semakin kacau.
Tetap tak ada apa pun.
Panik meluap, ia membongkar keranjang, menggeledah seluruh kamar mandi, lalu berlari kembali ke kamar untuk meraih tasnya.
Nafasnya memburu, matanya liar, keringat mulai merembes di pelipisnya.
Tetap nihil.
Kertas itu telah menghilang.
Aku bahkan tidak menghafal nomor itu...
Elisabeth akhirnya jatuh terduduk di lantai kamar. Rasa panik yang tadi menyelimuti, berganti dengan keputusasaan. Helaan napas panjang lolos dari bibirnya, bergema tipis di ruangan yang sunyi.
###
“Hahaha!!!”
Gelak tawa itu pecah, menghantam kesunyian ruangan. Tiap nada tawanya seakan menggoreskan sesuatu yang tak kasatmata, memenuhi udara dengan getaran yang membuat siapa pun ingin menutup telinga dan menjauh.
Andai ada anak kecil di dalam ruangan itu, ia pasti akan berlari keluar sambil menangis tersedu.
Namun Katarina tetap tegap berdiri, wajahnya datar tanpa ekspresi. Tubuhnya lurus, menghadap sang atasan yang masih bersandar di kursi kerjanya.
Begitu tawa reda, Vladimir mengangkat cerutu ke bibirnya. Sekali hisap, asap pekat mengepul mengitari wajahnya.
Tatapannya lalu jatuh pada sekretarisnya.
"Wanita tua itu?" suaranya rendah, setengah heran.
"Dia yang mengatakannya? Sungguh?"
Satu alisnya terangkat, wajahnya menyunggingkan senyum aneh yang sulit dibaca—antara ejekan dan kesenangan.
"Benar, Tuan,"
Katarina menjawab datar, suaranya profesional.
Ekaterina Antonova. Seorang sekretaris berpengalaman, dengan memori yang seolah tak mengenal batas. Ia mampu mengingat hal-hal kecil hingga yang paling penting—seperti otak yang kapasitasnya jauh melampaui manusia biasa.
Itu sebabnya, pesan dari suster kepala berusia tujuh puluh sembilan tahun di biara St. Barbara pun bisa ia sampaikan tanpa kurang, tanpa lebih, persis seperti yang diamanatkan.
Sebelumnya, Vladimir baru saja menyelesaikan pertemuan di perusahaan dengan Wakil Menteri Pertahanan mengenai undangan forum internasional dari Tokoh Kerajaan Arab Saudi—agenda yang akan dihadiri akhir Agustus nanti.
Dari situ hari kerjanya sebenarnya telah usai.
Namun alih-alih pulang ke kediamannya, pria itu memilih singgah ke ruang kerjanya di perusahaan, berniat menggarap seluruh dokumen-dokumen yang semestinya menurut jadwal Katarina, bisa disesaikan besok.
Hal itu, bagi Katarina, bisa berarti baik sekaligus buruk. Baik karena ia mendapat kesempatan untuk menyampaikan pesan suster kepala tepat waktu.
Buruk, karena ia tahu jadwal besok harus diatur ulang.
Maka ia menyampaikannya tanpa ragu, kata demi kata sesuai pesan asli:
> "Anak itu akan selalu ingat tempatnya berasal, dan akan kembali padaku. Kau tidak akan pernah bisa benar-benar membawanya."
Dan seketika, tawa mengerikan itu pun tadi pecah.
Kini Vladimir masih duduk santai, menyeringai remeh. Jemari kanannya mengapit cerutu, sementara jemari kiri sibuk meremas secarik kertas kecil.
Katarina yang baru menyadari adanya secarik kertas itu sempat mengernyit—sang Presiden Vorontsov bukan tipe yang peduli pada secarik kertas kecuali berisi hal yang benar-benar vital, seperti kode peluncuran bom nuklir.
Tapi ia segera menyembunyikan reaksi itu saat mendengar gumaman rendah Vladimir:
"Tubuh sudah termakan usia, tapi bukannya menikmati sisa waktunya dengan tenang, malah berani mencampuri urusanku."
Katarina hampir saja terbelalak mendengar ucapan biadab itu, tapi tatapan dingin Vladimir langsung menekannya untuk tetap diam.
"Itu saja, kan?"
Vladimir bertanya tenang.
"Ya, Tuan. Beliau hanya meminta saya menyampaikan itu kepada Anda."
Asap cerutu kembali mengepul, berputar mengitari kepala pria itu. Vladimir menunjuk salah satu tumpukan dokumen di meja.
"Bagus. Kalau kau senggang setelah ini, habiskan waktumu untuk memeriksa ulang bagian ini. Ah—dan cek emailmu. Taras dari Volgograd sempat menghubungiku; katanya ia mengirim undangan ulang tahun pernikahannya lewat email perusahaan. Tanggalnya hampir bersamaan dengan forum di Arab Saudi."
Katarina menelan ludah kasar, mengutuk dalam hati seakan hal ini sudah ia duga sebelum menyampaikan pesan itu.
Suasana hati Vladimir pasti sedang dalam keadaan buruk.
Ketegangan di ruangan itu memuncak ketika Vladimir tiba-tiba menghantamkan secarik kertas di tangannya ke asbak dengan kasar.
Raut wajahnya tetap dingin, tanpa riak emosi.
Jemarinya yang masih mencengkeram cerutu itu menekankan ujung bara api ke permukaan kertas itu. Bau hangus menyengat, asap tipis mengepul, sementara bentuk kertas perlahan hilang dimakan api, menyisakan abu yang berterbangan kecil.
Sorot biru matanya kemudian terangkat, menembus Katarina dengan tajam.
Mulutnya kembali terbuka dengan suara lebih rendah, yang membuat udara serasa membeku:
"Jadi, Katarina. Pastikan untuk mengatur semuanya dengan tepat. Dan juga bawa Eli bersamaku."
Kata terakhir meluncur dengan tekanan yang jelas, seolah memberi garis bawah bahwa perintah itu bukan sekadar permintaan—melainkan keputusan mutlak yang tak bisa ditawar.
Katarina yang sudah memahami betul maksud tuannya, menunduk dalam-dalam, sikapnya tetap formal penuh hormat.
"Saya mengerti, Tuan. Akan saya kerjakan seperti yang Anda katakan."
Ia lalu menegakkan tubuhnya kembali, membawa tumpukan dokumen yang tadi ditunjuk Vladimir.
"Kalau begitu, saya akan melakukan pekerjaan saya. Permisi, Tuan."
Setelah menunduk singkat, ia melangkah keluar, meninggalkan ruangan kerja yang terasa menyesakkan dengan aura gelap itu.
Vladimir tetap di tempatnya. Ia meletakkan cerutunya ke asbak, lalu menyandarkan tubuh di kursi kulit hitam yang lebar. Perlahan ia berbalik menghadap jendela besar.
Dari balik kaca, terbentang pemandangan malam Saint Petersburg, dipenuhi lampu-lampu kota berkelip seperti ribuan bintang yang jatuh ke bumi.
Tatapannya kosong, namun bayangan dirinya yang terpantul di kaca menampilkan seringai samar.
"Anak itu akan kembali padamu, begitu?"
Ia bergumam, suaranya lirih penuh ejekan.
Lalu ia tertawa rendah, nyaris hanya berupa getaran gelap yang keluar dari tenggorokannya, seperti iblis yang sedang mengejek doa.
"Jangan bercanda, nenek. Apa kau kira aku membawanya kemari hanya untuk menyerahkannya kembali pada sarang merpatimu itu?"
###
> "Aku sudah menugaskan satu orang untuk mendampingi pekerjaanmu. Besok pagi dia akan menemuimu."
Tepat seperti yang dikatakan Vladimir semalam, pagi-pagi sekali, sekitar pukul tujuh, seseorang datang ke kediaman Arkhangela.
Ketika Elisabeth yang sudah rapi turun untuk sarapan, dari arah ruang tamu ia melihat Darya sedang berbincang hangat dengan seorang pria.
Awalnya Elisabeth hendak melewati mereka agar tidak mengganggu, namun suara Darya memanggilnya.
"Nona! Tuan Alexei mengatakan harus bertemu dengan Anda."
Siapa?
Elisabeth terhenti, sedikit bingung.
Ia menoleh, mendapati seorang pria yang sedang duduk memunggunginya, dan Darya yang sudah berdiri di hadapan pria itu.
Dengan langkah perlahan, Elisabeth mendekat. Tepat ketika jarak mereka cukup dekat, pria itu ikut berdiri dan berbalik.
Sosok tinggi dengan tubuh proporsional berdiri di hadapannya. Rambutnya berwarna cokelat keemasan, senyum ramah merekah di bibirnya, dan sepasang mata biru yang sekilas mengingatkan Elisabeth pada Vladimir.
"Halo! Senang sekali akhirnya bisa bertemu denganmu,"
Pria itu langsung bersuara riang.
"Maafkan aku baru bisa menyapa hari ini. Seharusnya kita sudah bertemu kemarin untuk segera membicarakan pekerjaanmu, tapi ada urusan mendesak dengan mitra bisnis di Volgograd, jadi aku pun baru sempat kembali saat fajar tadi. Untung saja semua urusan sudah selesai, jadi sekarang aku bisa fokus membantumu! Oh, dan soal pekerjaanmu..."
Elisabeth hanya bisa menatap dengan wajah kaku. Pria ini bahkan belum memperkenalkan dirinya, namun sudah berceloteh panjang tanpa jeda.
Ia melirik ke arah Darya, berharap mendapat pertolongan. Namun yang ia dapat hanya tawa kecil Darya sebelum pamit ke dapur untuk menyiapkan teh.
Akhirnya ia sendirilah yang bertanya dengan memotong tanpa basa-basi.
“Jadi singkatnya, kau adalah orang yang Vladimir kirimkan untuk membantuku?”
Kalimat itu langsung menghentikan aliran kata pria tersebut. Ia menatap Elisabeth dengan sorot berbinar, lalu menjentikkan jari.
“Benar sekali! Kau tahu, aku sebenarnya sangat sibuk, dan banyak berkelana ke sana kemari. Aku bahkan menolak banyak tawaran pekerjaan dari keluarga lain. Tapi karena ini adalah permintaan langsung dari sepupu tercintaku, aku tidak berpikir dua kali! ApalagibegituakutahugadisyangakankubantuternyatagadisSECANTIK DIRIMU—!"
"Sebentar!"
Elisabeth mengangkat telunjuknya tinggi, suaranya tegas.
Pria itu langsung terhenti.
Elisabeth menurunkan telunjuknya perlahan, lalu mengulang dengan nada hati-hati pada satu kata yang ia tangkap dari cerocotan tadi.
"Sepupu?"
Pria itu sempat diam sejenak, lalu tersenyum lebih lebar, seolah baru saja menantikan pertanyaan itu.
"Benar! Namaku Alexei Nikolayevich Vorontsov. Ayahku adalah adik dari Tuan Sergey, jadi aku adalah sepupu Vladimir. Senang bertemu denganmu, Elisabeth."
Aha—! Anggota keluarga yang lain rupanya.
