Vladimir Sergeyevich Vorontsov.
Sebagaimanapun Elisabeth mencoba memahami, ia tetap tidak mengerti apa yang dipikirkan pria itu—atau apa yang sedang ia bayangkan.
Sergey pernah mengatakan Vladimir adalah orang berbahaya.
Dan dari dalam dirinya, insting yang halus tapi kuat berbisik bahwa lelaki ini tak ubahnya seekor predator berbisa; bijaksana bila ia menjaga jarak, bahkan pergi.
Namun otak dan hatinya mendadak bersekutu, terketuk layaknya "pintu yang tak sengaja terbuka oleh angin", menghadirkan rasa ingin tahu yang menuntutnya untuk tetap tinggal.
Vladimir memperlakukannya begitu ramah, penuh kesopanan yang tak dibuat-buat. Ia bahkan mempersilakan Elisabeth duduk di sofa kulit hitam di ruang kerjanya yang lapang, menyuguhkan teh hangat seolah ia tamu istimewa.
Memang benar kata pepatah: jangan menilai buku dari sampulnya.
Sergey pasti salah paham mengenai sesuatu tentang putranya. Sebab Vladimir sama sekali tidak terlihat seperti seseorang yang akan membahayakannya, apalagi menjerumuskannya.
Maka Elisabeth memilih menuruti bisikan hatinya. Ia menetap, menerima jamuan hangat dari Presiden Vorontsov.
Ia mengangkat cangkir porselen yang terhidang di meja rendah di depannya, menyesap perlahan aroma teh berembus lembut ke indra penciuman.
Dari sudut matanya, ia melirik ke samping: Vladimir duduk dengan tenang, cerutu terselip di antara jarinya, sementara Katarina berdiri tegak di belakang, tubuhnya sedikit condong, membisikkan sesuatu pelan dalam diskusi singkat.
Seakan menyadari tatapan itu, Vladimir menoleh. Mata mereka bertemu.
Sekejap saja, dada Elisabeth dihantam degupan tak beraturan, hampir membuatnya tersedak. Ia buru-buru meneguk sisa teh, lalu menaruh cangkir kembali dengan gugup.
Namun entah kenapa, rasa ingin tahu membuatnya mencuri pandang lagi. Dan di sanalah, ia dapati Vladimir masih menatapnya—tatapan biru setenang dan sedalam laut utara, dihiasi senyum lembut yang asing namun menenangkan.
Wajah Elisabeth seketika panas. Ia merasa pipinya memerah, sehingga ia menarik napas panjang, berusaha menetralkan riak perasaannya.
Vladimir, yang terang-terangan mengamatinya, tersenyum geli.
Katarina di belakang bahkan sempat mengerutkan kening, seolah tak mengerti mengapa tuannya bertingkah begitu.
'Tuan?"
"Aku mengerti,"
Vladimir, mengangkat tangan seolah menyela.
"Lanjutkan laporanmu nanti. Aku ingin menyambut saudaraku dulu dengan benar."
Elisabeth spontan menoleh padanya, dan sekali lagi pandangan mereka bertemu.
Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat.
Ada cahaya yang terpancar dari mata biru itu—cahaya yang seakan menembus ke dalam netra almondnya, menguasai penglihatan, mengikat pikirannya.
Apalagi Vladimir baru saja menyebutnya 'saudara'. Kata sederhana itu menyalakan api hangat di dalam dadanya, menghapus segala pemikiran buruk yang sempat bercokol. Kata-kata Sergey pun mendadak tak bergaung lagi di kepalanya.
Pria ini, pasti pria yang pasti baik, batinnya dengan keyakinan polos.
Katarina, dari tempatnya, menatap keduanya bergantian. Sorot matanya penuh arti, seakan ia mengerti maksud sebenarnya dari ucapan tuannya.
Tanpa banyak kata, ia kemudian merapikan roknya dan berkata,
“Panggil saya jika butuh sesuatu, Tuan.”
Vladimir mengangguk samar sambil menghembuskan asap cerutunya.
Katarina membungkuk dengan hormat, tak hanya pada Vladimir, tapi juga pada Elisabeth yang membalas dengan anggukan kikuk.
Lalu, wanita itu keluar dari ruangan, meninggalkan dua sosok di dalam.
Tiba-tiba Elisabeth merasa jauh lebih gugup. Jangankan untuk membuka percakapan lebih dulu, sekadar menelan ludah pun terasa berat, tenggorokannya tercekat.
Mengobrol dengan Sergey mungkin mudah; pria itu penuh kehangatan, ada jarak aman yang bisa ia pahami.
Tapi Vladimir? Ia bahkan baru melihat sosoknya hari ini, dan aura yang memancar darinya membuat ruangan seolah menyempit.
Untung saja keheningan tidak berlangsung lama. Begitu langkah Katarina menghilang di balik pintu, suara Vladimir terdengar lagi.
"Jadi, katakanlah."
Nada bicaranya pelan, namun ada ketajaman dingin yang membuat Elisabeth sontak menegakkan punggungnya.
Ia menatap Vladimir, menunggu lanjutan ucapannya.
Seraya menghembuskan asap cerutu yang berputar dan berkelebat di udara, Vladimir meneruskan dengan sebuah pertanyaan,
"Sudahkah kau yakinkan dirimu untuk berada di sini? Jika hatimu masih ragu untuk tinggal, kau boleh pergi sekarang."
Kata-kata itu menampar batinnya.
Apa maksudnya? Elisabeth mengerutkan kening, diliputi perasaan bingung bercampur tersinggung.
Memang benar sempat terlintas dalam pikirannya untuk pergi, tapi itu hanyalah keraguan sesaat. Ia tahu apa yang sedang ia lakukan di sini. Dalam hatinya, ia tulus—ia datang demi menghormati wasiat terakhir orang yang sangat dijunjungnya.
"A–aku…"
Suara itu nyaris tercekat.
Elisabeth berusaha menjawab, namun sorot mata Vladimir, dingin dan penuh wibawa, seakan menekan kerongkongannya hingga kata-kata tak mau keluar.
Vladimir memperhatikan kegelisahan itu, lalu sebuah seringai muncul di wajahnya, senyum yang lebih menyerupai pisau tipis daripada keramahan.
Ia mengangkat cerutunya, mengisap sekali lagi, dan dari balik asap, ucapannya jatuh,
"Aku bercanda. Mana mungkin orang yang sudah jauh-jauh kubawa ke sini, kubiarkan pergi begitu saja."
Kemudian tawanya yang bergema rendah, khas, memenuhi ruang kerja itu.
Namun bagi Elisabeth, tidak ada yang lucu dari kalimat itu. Nada Vladimir terlalu ambigu, antara gurauan dan ancaman.
Jadi ia hanya membalas dengan senyum kikuk, menyembunyikan ketidaknyamanan di balik kesopanan.
Vladimir kemudian mencondongkan tubuh ke depan, mematikan cerutunya di asbak perak dengan gerakan malas.
Setelah itu, ia berdiri, posturnya menjulang, lalu melangkah menuju meja kerjanya yang besar di tengah ruangan.
Elisabeth tak mengalihkan pandangannya, ia mengamati tiap gerakan Vladimir. Pria itu berdiri di depan meja, jari-jarinya yang panjang menggeser beberapa tumpukan dokumen, mencari sesuatu dengan sikap tenang tapi penuh intensi.
Saat berikutnya, Vladimir menemukan satu bundel dokumen tebal. Ia menepuk sampulnya pelan, lalu kembali menatap Elisabeth dengan ekspresi ramah yang tak berubah.
"Kemarilah."
Suara itu rendah namun penuh wibawa.
Elisabeth segera berdiri, langkahnya ringan berjalan menghampirinya dengan patuh.
Ketika mereka akhirnya berhadapan, Vladimir menyerahkan dokumen tersebut.
Fokus Elisabeth langsung terikat pada benda itu. Tangannya terangkat, jari-jarinya sedikit bergetar saat perlahan menerima dokumen. Beratnya terasa lebih dari sekadar kertas.
"Baca dan cermati baik-baik," ujar Vladimir.
"Ini adalah jabatan yang Sergey tinggalkan untukmu. Tentu saja tidak mudah untuk memahami semuanya seorang diri, jadi aku sudah menugaskan satu orang untuk mendampingi pekerjaanmu. Besok pagi dia akan menemuimu."
Elisabeth mengangkat wajah, menatap Vladimir dengan bingung, mencoba mencerna kata demi kata.
Jabatan? Sergey meninggalkan… sebuah pekerjaan? Untukku?
Ia menurunkan pandangannya ke sampul dokumen. Tulisan tebal tercetak jelas:
KETUA DIVISI 4 BIO-DEFENSE : PROYEK PENGEMBANGAN ANTIBODI GENERATIF.
Sejenak, napas Elisabeth tercekat.
Itu bukan sekadar posisi kerja biasa—ini juga merupakam sebuah jabatan prestisius di dalam struktur perusahaan raksasa, sebuah tanggung jawab yang melibatkan keamanan manusia.
Mustahil baginya tidak tahu posisi tersebut, karena Tim Bio-Defense VBO dikenal sebagai jantung riset yang melindungi negeri dari ancaman biologis—baik dari wabah alami maupun senjata biologis buatan manusia.
Dan sekarang, namanya tercatat untuk memimpin salah satunya.
Jabatan sebesar ini… dari awal, bukan di perusahaan kecil atau pinggiran, melainkan di Vorontsov Biotech & Ordnance, simbol kebanggaan industri Rusia.
Hatinya bergemuruh. Haru menyesak, rasa syukur bercampur bingung—bagaimana ia harus membalas kemurahan hati sebesar ini?
Vladimir menambahkan dengan suara tegas,
"Dalam wasiat Sergey, dia menulis bahwa kau adalah lulusan terbaik dari salah satu universitas di Moskow, jurusan biologi. Jadi dia mempercayakan jabatan ini padamu. Aku yakin kau bisa mengatasi—"
Kalimatnya terhenti.
Sorot matanya menangkap sesuatu, butir bening yang jatuh di dagu Elisabeth, yang tengah menunduk menatap dokumen.
Tak lama, terdengar suara isakan halus, tertahan sekuat tenaga.
Elisabeth menangis.
Kenapa? Vladimir tak sepenuhnya mengerti.
Apakah jabatan itu terasa terlalu berat untuk pundaknya? Atau ada alasan lain di balik air mata itu?
Tanpa bersuara, ia mengambil sapu tangan dari meja. Tangannya kemudian terulur, menyentuh dagu Elisabeth dengan penuh kelembutan.
Tubuh Elisabeth bergetar kecil ketika ia merasakan sentuhan itu.
Dagunya diangkat perlahan, memaksa wajahnya terangkat dan kini berhadapan langsung dengan Vladimir—lebih dekat daripada sebelumnya.
Ia bisa melihat dengan jelas permata biru di mata pria itu, dingin namun memikat, seperti samudra dalam yang tak terselami.
Vladimir tidak menampakkan ekspresi apa pun, hanya menatapnya dalam diam.
Lalu tangan satunya, yang membawa sapu tangan putih, terangkat perlahan. Dengan gerakan hati-hati, ia mengusap air mata yang jatuh di pipi Elisabeth, membersihkan jejaknya satu demi satu.
Ah–Baru pada saat itu Elisabeth benar-benar menyadari: aliran hangat yang membasahi pipinya sejak tadi adalah air matanya sendiri.
"Ada apa dengan air mata ini? Apa kau tidak sanggup menjalankannya? Apa ini sebuah protes? Atau jabatan yang diberikan terasa kurang?"
Kata-kata Vladimir jatuh seperti palu.
Apa? Tidak… bukan seperti itu!
"Bukan—"
Elisabeth menyanggah, namun suara yang keluar begitu pelan, nyaris tak terdengar.
"Apapun itu," Vladimir kembali menekan, nada suaranya tajam,
"Kau tidak berniat hanya menikmati hidup enak di sini, kan? Tentu saja kau harus bekerja. Apa gunanya mengambil seorang anak hanya untuk bermalas-malasan?"
Kesalahpahaman itu menusuk lebih dalam.
Elisabeth terguncang, buru-buru menggeleng kuat-kuat, kepalanya bergoyang cepat penuh penolakan.
Gerakan itu membuat Vladimir melepas dagunya, menghentikan usapan lembutnya, lalu mundur setapak memberi jarak.
"Bukan seperti itu, Tuan—"
"Vladimir," potongnya dingin, "aku bukan Tuanmu."
Elisabeth menelan ludah, kasar, lalu mengumpulkan keberanian untuk berbicara lagi.
Suaranya lemah, namun jujur.
"Anda salah paham, Vladimir. Aku tidak keberatan, tidak merasa kurang dengan apa yang diberikan. Perasaanku hanya… menghangat. Aku menangis karena bahagia, bukan karena sesuatu yang memberatkan."
Alis Vladimir berkerut dalam. Kata-kata itu terdengar asing di telinganya.
Perasaan hangat? Menangis karena bahagia?
"Dan? Bagaimana kau menyebut perasaan itu?"
Meskipun terasa aneh ditanyai begitu, Elisabeth menjawab lembut,
"Ini disebut haru. Saat seseorang terlalu bahagia hingga meneteskan air mata, dan dadanya terasa hangat, itulah haru, Vladimir."
Haru.
Kata itu bergema asing di benaknya. Tabu, bahkan.
Apakah itu termasuk sebuah emosi?
Ia terdiam.
Selama ini, dunia emosi baginya terbatas, hitam-putih.
Hanya ada dua warna yang nyata: kepuasan diri yang ia sebut bahagia, dan rasa jijik yang ia arahkan pada sesuatu yang tak layak.
Sisanya… kosong, tak pernah ia kenali, seperti halaman buku yang dirobek sebelum sempat dibaca.
Namun sekarang, mendengar kata itu dari bibir Elisabeth, ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya.
Raut Vladimir berubah. Sebuah senyum aneh—bukan dingin, bukan ramah—menggurat di wajahnya. Euforia berdesir, membuncah di tubuhnya.
Sensasi asing, liar, namun memikat.
Elisabeth adalah sesuatu.
Sekarang ia mulai mengerti mengapa Sergey menganggap gadis ini berharga.
Elisabeth memiliki sesuatu yang tak pernah ia ataupun Ayahnya miliki.
Itu adalah energi kemanusiaan yang terpancar darinya. Energi itu seolah menyebar pada setiap orang disekelilingnya, membuat mereka menjadi terasa lebih hidup.
Di tengah renungan itu, dering telepon di meja pecah, mengalihkan perhatian mereka.
Tangan Vladimir meraih gagang telepon dan menekan tombol, namun tidak berpaling dari Elisabeth, bahkan senyumnya masih bertahan, dan tatapannya tetap menancap pada gadis itu.
Suara Katarina terdengar jelas dari seberang.
– "Maafkan saya mengganggu, Tuan. Tapi kita harus berangkat dua puluh menit lagi untuk menemui Wakil Menteri Pertahanan. Saya juga telah membawa kepala pelayan untuk membantu Nona Elisabeth ke Arkhangela."
Ucapan itu membuat Elisabeth teringat sesuatu. Sebelum masuk ruangan tadi, Katarina memang sudah memperingatkan bahwa ia hanya diberi waktu tak lebih dari lima belas menit untuk bertukar sapa dengan Vladimir.
Seketika, dalam hati Elisabeth memuji kinerja Katarina.
Wanita itu begitu tepat waktu, perfeksionis dalam setiap detilnya—sebuah kualitas yang jelas sangat dibutuhkan di sisi pria sekeras Vladimir.
"Ya, masuklah."
Pintu terbuka.
Katarina masuk bersama seorang pelayan berpakaian rapi di belakangnya. Keduanya menunduk hormat sebelum kembali menegakkan tubuh.
Vladimir, yang semula tampak dingin, tiba-tiba berbicara dengan nada lebih lembut pada Elisabeth,
"Kurasa kita harus berhenti di sini. Jika kita terus berbicara, aku khawatir harus membatalkan jadwalku."
Kata-kata itu membuat Katarina hampir tersedak napas. Benarkah ia mendengar dengan benar?
Selama ia bekerja di Vorontsov, dari saat Sergey menikah hingga kini, ia telah mengetahui banyak hal dari keluarga ini yang tidak orang tahu.
Salah satunya adalah Vladimir.
Mendengar pria itu mengatakan sesuatu hal seperti pembatalan jadwal untuk seseorang adalah hal yang sangat tabu mengingat ia tahu Vladimir bukanlah tipe orang seperti itu.
Untunglah itu hanya sebuah ungkapan belaka, sebab membatalkan jadwal berarti kekacauan besar bagi sistem yang ia atur dengan presisi.
Apalagi yang akan Vladimir temui adalah seseorang yang sangat penting, bagaimana bisa pria itu mengatakan hal mudah seperti pembatalan jadwal–!!
"Ya, Vladimir. Terima kasih sudah menyempatkan waktumu untukku, dan juga untuk pekerjaan ini."
Elisabeth tersenyum hangat, tangannya merapat erat memeluk dokumen tebal yang baru diterimanya.
Vladimir membalas dengan senyum tipis, namun sebelum Elisabeth sempat menarik diri, pria itu maju selangkah.
Tubuhnya condong mendekat, membuat Elisabeth terkesiap.
Dari jarak yang menipis itu membuat mata birunya tampak semakin tajam, dan bahkan tarikan napas beratnya bisa ia rasakan menyapu kulitnya.
Bisikan Vladimir terdengar, rendah tapi jelas, seolah sedang mengukir setiap huruf di udara seperti mantra,
"Dengarkan baik-baik, Eli. Kau sudah menjadi bagian dari Vorontsov. Kau juga yang memutuskan untuk tinggal. Maka mulai sekarang, dan seterusnya, inilah tempatmu. Tidak diperbolehkan bagimu untuk meninggalkan—bahkan sekadar menyimpan pikiran itu."
Nadanya yang terdengar menghipnotis, seakan mencoba memastikan tiap katanya meresap, melekat pada tubuh, menyalur ke darah dan sel-sel Elisabeth, hingga menancap di otaknya.
Lalu, lebih dingin dan rendah, ia menambahkan,
"Akan aku berikan kehidupan yang indah sesuai impianmu. Tapi jika kau berani pergi dariku, akan aku pastikan untuk menarik semua keindahan itu, dan membuatmu hidup dalam penyesalan— Jadi berhati-hatilah agar aku tidak melakukannya padamu."
Ah—!
Kalimat itu ditutup dengan sentuhan jari ringan di ujung hidung Elisabeth. Sekejap, tubuh gadis itu menegang kaget, sementara Vladimir menarik diri perlahan, terkekeh kecil.
Tatapan Elisabeth sulit terbaca. Apa maksud pria itu?
Apakah ia sungguh khawatir kalau suatu hari Elisabeth mencoba melarikan diri?
Dan satu hal lain—Vladimir memanggilnya Eli. Nama panggilannya adalah Lilibeth. Ia ingin membenarkan, membuka mulut…
Ekhem!
Deheman halus dari Katarina menahannya.
"Maafkan saya, tapi waktu terus berjalan."
Suasana kembali terkendali.
Vladimir berbicara dengan nada lembut,
"Pergilah, Eli. Kau harus makan malam dan beristirahat. Pasti melelahkan setelah perjalanan panjang."
Elisabeth mengangguk patuh, senyumnya kembali merekah.
"Kalau begitu… selamat malam, Vladimir."
Ucapan itu membuat pria di hadapannya terpaku sesaat, seolah kata 'selamat malam' pun adalah sesuatu yang asing baginya.
Namun hanya sekejap. Senyum lain muncul—lebih lembut, lebih manusiawi daripada sebelumnya—menghias wajah dingin itu.
"Selamat malam juga, Eli."
Elisabeth membalas senyumnya, lalu berbalik. Dengan langkah hati-hati, ia berjalan menuju pintu, diikuti sang pelayan dari belakang.
Dan untuk sesaat, sebelum pintu tertutup, ia masih bisa merasakan tatapan Vladimir mengiringinya pergi.
