Ficool

Chapter 2 - CHAPTER 1

"Demi nama bapa, putra, dan roh kudus, bagaimana ini! Apakah pakaian ini sudah cukup bagus?"

"Ya, itu sempurna! Sister Sofia, kau bisa menata rambutnya?"

"Baiklah, ini bukan masalah!"

Suara para biarawati bersahut-sahutan penuh semangat, disertai sedikit kegaduhan yang hangat.

Namun, gadis dua puluh tiga tahun, yang menjadi pusat perhatian mereka hanya terdiam, duduk kaku di depan meja rias, pikirannya kosong meski tubuhnya dikelilingi penuh kasih oleh para biarawati.

Sofia, salah seorang biarawati yang berdiri di belakangnya, mengambil helaian rambut pirang keemasan itu ke tangannya.

Ia menyisir perlahan, seakan takut merusak kilau alami yang memantul dari rambut sang gadis.

"Lihatlah, rambut pirang yang indah ini, Jika nanti kau bertemu seseorang di luar sana dan memperkenalkan dirimu sebagai putri Sergey, aku yakin mereka akan langsung mempercayainya."

Gadis itu menatap pantulan dirinya sendiri di cermin. Matanya bergetar, seolah berusaha mengenali sosok asing yang sedang ia lihat.

"Apakah begitu?"

Anna, biarawati lain yang tak kalah bersemangat, menyela dengan wajah berseri.

"Tentu saja, Lilibeth! Siapa yang tidak akan terpesona dengan keindahanmu? Bahkan orang buta yang tidak bisa melihatnya pun akan luluh jika hanya mendengar suaramu."

Elisabeth Petrova - atau Lilibeth, sebagaimana orang terdekat memanggilnya-hanya diam. Ia baru saja didandani setelah pengumuman mengejutkan, bahwa ia akan diadopsi oleh salah satu keluarga paling berpengaruh dan terhormat di Rusia.

Seperti yang dikatakan para biarawati, wajahnya memang nyaris mustahil diabaikan.

Rambut pirang keemasan Elisabeth bergelombang hingga batas pinggang, bulu matanya lentik menaungi bola mata berwarna almond, dan kulit putih pucatnya licin seperti lilin. Ketika berbicara, bibir merah muda alaminya mengeluarkan suara yang cenderung terdengar begitu lembut, juga sopan terhadap siapapun yang menjadi lawan bicaranya.

Elisabeth memiliki kesan penampilan feminim yang menyenangkan, sehingga ketika ia berada di dekat seseorang, orang itu akan dengan mudah merasa terpikat dan nyaman akan kehadirannya. Oleh karena itu, Elisabeth mempunyai banyak teman, gampang berbaur dengan siapapun dan lingkungan manapun itu. Lagipula, ia tidak pernah malu ataupun sungkan untuk mengakrabkan diri pada orang lain.

"Ada apa dengan wajah murung ini, Lilibeth?"

Anna menatapnya lewat cermin. Tangannya terulur, menarik dagu Lilibeth perlahan.

Namun kini wajah cantik itu terlihat masam, seakan menyimpan sesuatu yang tertahan. Pandangan Elisabeth bertemu dengan Anna di cermin.

Perlahan alisnya berkerut, matanya yang menyipit menggenangkan air mata.

Dengan suara lirih yang bergetar menahan isak, ia berucap,

"Apakah ini... sebuah pilihan yang benar? Bagaimana... jika aku tidak pernah lagi bertemu dengan kalian? Bagaimana jika aku tak dapat melihat biara ini lagi?"

Ruangan seketika hening.

Para biarawati yang semula sibuk menyiapkan segalanya kini membeku, menyimak suara pilu Elisabeth.

Sofia menghentikan jemarinya yang tengah mengepang rambut, sementara Anna pun menatapnya dengan sendu.

"Lilibeth..." bisik mereka hampir bersamaan.

"Aku... aku tidak punya cukup keberanian untuk menolak semua ini," lanjut Elisabeth dengan suara patah.

"Ini adalah wasiat terakhir dari sosok yang telah kuanggap ayah. Tapi apakah ini benar-benar yang terbaik? Apakah ini jalan yang baik?"

Seketika Elisabeth merasakan kedua lengan hangat melingkupi bahunya. Sofia memeluknya lembut, penuh kasih sayang .

"Oh, Lilibeth sayangku... terlalu banyak hal yang kau khawatirkan dengan jiwa perasamu ini. Ingatlah firman Tuhan, 'Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku.' (Yohanes 14:1)."

Elisabeth menolehkan kepalanya, menatap wajah Sofia yang tersenyum lembut, seakan kata-kata itu menjadi penopang hatinya.

Anna pun mengangguk setuju, lalu menambahkan dengan suara penuh keyakinan.

"Itu benar, Lilibeth. Tuhan tidak pernah menempatkan kita di jalan yang salah. Jika ini adalah kehendak-Nya, maka percayalah, langkahmu akan dipenuhi dengan berkat dan penghiburan. Kami mungkin tidak selalu bersamamu, tapi doa kami akan selalu menjagamu."

Ucapan itu kemudian disusul oleh suara-suara penuh semangat dari para biarawati lain.

"Ya Lilibeth! Jangan pernah merasa sendiri. Tuhan sudah menyiapkan jalanmu, dan kami akan selalu mendoakanmu."

"Percayalah, kau akan menjadi berkat di manapun kau berada."

Mendengar semua kata-kata itu, ekspresi Elisabeth perlahan melunak, ia pun tersenyum lebih sambil mengucapkan terimakasih.

Tiba-tiba Anna bangkit dari kursinya, berjalan ke sebuah meja kecil di sudut ruangan. Ia menuliskan sesuatu pada sebuah buku, lalu merobek lembarnya dan menghampiri Elisabeth.

"Ini, simpan baik-baik..." ucap Anna sembari menyerahkan secarik kertas.

Elisabeth menerimanya, lalu saat membuka, senyum cerah muncul di bibirnya dengan air mata yang tak bisa terbendung.

Itu adalah sebuah nomor telepon.

"Jika kau mengalami kesulitan atau ketakutan di sana, segera hubungi nomor ini. Apa pun situasinya, kami akan berusaha menjawab panggilanmu. Ingatlah, kau selalu punya tempat untuk kembali."

Tak kuasa menahan perasaan haru, Elisabeth berdiri dan memeluk Anna erat.

"Terima kasih banyak, Suster. Aku menyayangi kalian semua. Kalian akan selalu memiliki tempat tersendiri di hatiku."

Anna merengkuhnya penuh kasih, lalu mengusap punggung Elisabeth dengan lembut.

"Semoga Tuhan melindungimu dalam setiap langkah. Semoga hidupmu dipenuhi damai, sukacita, dan berkat yang tak berkesudahan. Amin."

Elisabeth terkekeh kecil dan diam-diam mengamini dalam hati di tengah tangisnya, hingga suara Sofia memecah, membuat Elisabeth melepas pelukannya.

"Nah, baiklah, sekarang mari kita selesaikan rambutmu. Kau harus tampil menawan, sebagai kesan pertama yang baik untuk saudaramu."

"Saudaraku..."

Elisabeth mengulangi kalimat itu dengan lirih, tiba-tiba jantungnya berdebar semakin cepat.

Biarawati lain segera menimpali dengan riang.

"Itu benar, Lilibeth! Kau diadopsi lewat surat dari Tuan Sergey. Anak beliau yang kini menjadi Presiden adalah saudaramu, bukankah begitu?"

"Wah! Bukankah itu hebat? Itu saudara laki-laki! Dia pasti sangat bisa diandalkan!"

"Apanya yang dapat diandalkan, saudara laki-lakiku di rumah kerjanya hanya tidur seharian."

Tawa gemuruh pun pecah di ruangan, membuat suasana cair. Di balik tawa itu, Elisabeth diam-diam tersenyum. Pipi putihnya merona merah muda, sementara jantungnya masih berdebar hebat.

Saudara laki-laki... anak dari Tuan Sergey... Tak mampu ia bayangkan.

Ekspresi seperti apa yang harus kutunjukkan nanti? Apakah ia akan menyukaiku?

Apakah hatinya hangat seperti Ayahnya? Ataukah... kami bisa benar-benar menjadi saudara yang saling menerima?

Pikiran itu berkelebat tanpa henti.

Disaat ia disibukkan dengan pemikirannya sendiri, suara Sofia membuyarkannya.

"Tepat selesai."

Bersamaan dengan tangannya yang terlepas dari rambut Elisabeth.

Sekejap, terdengar decak kagum dari para biarawati yang berdiri di belakang Elisabeth. Mereka memandangnya terpana.

Kini penampilan Elisabeth sungguh menawan. Dress kasual berwarna putih sederhana membalut tubuh rampingnya.

Rambut pirang keemasannya ditata bak peri, dua kepangan manis di sisi kanan dan kiri ditarik ke belakang, diikat dengan pita kecil, sementara bagian depan dibiarkan membentuk poni alami yang lembut membingkai wajahnya. Tubuh tinggi sekitar seratus enam puluh sembilan sentimeter dengan pinggang ramping itu juga diselimuti aroma mawar damaskus, dan bunga peony yang memberi kesan wangi floral seperti taman bunga musim semi.

Flat shoes cokelat dengan hak kecil sekitar satu setengah sentimeter, yang membalut kaki melengkapi keseluruhan penampilan itu-anggun, dan tak mungkin membuat siapa pun berpaling darinya.

Clack!

Semua kepala menoleh ke arah pintu begitu seorang biarawati tua masuk dituntun perlahan oleh biarawati lain.

"Suster kepala."

Elisabeth berjalan riang menghampiri wanita tua itu.

Wanita tua berusia 79 tahun dengan nama Svetlana Petrova-suster kepala biara St. Barbara. Elisabeth menghampiri dan memeluknya ramah, sedikit menepuk punggungnya yang renta, lalu memejamkan mata.

Dari seisi biara, ia paling mencurahkan semua cintanya pada Svetlana. Alasannya jelas, karena Svetlana adalah seseorang yang mulia, yang telah membawanya pada rumah suci ini, merawatnya dengan penuh kasih, dan menanamkan iman yang tak tergoyahkan.

Elisabeth melepaskan pelukannya dan menatap Svetlana dengan mata yang sedikit berlinang.

"Suster, saya akan pergi hari ini, tetapi saya tidak akan pernah lupa dari mana saya berasal. Saya akan selalu berdoa untuk kemakmuran Anda, dan biara ini."

Svetlana tersenyum. Ia mengangkat tangannya, menyentuh lembut pipi Elisabeth, seakan menyadari apa yang menjadi kekhawatiran gadis itu, dengan suara pelan ia menjawab,

"Anakku yang manis, perpisahan bukanlah akhir dari segalanya, melainkan permulaan dari jalan yang telah disiapkan Tuhan. Jangan takut pada dunia luar, sebab terang Kristus akan selalu menyertaimu. Ingatlah firman Mazmur: 'Tuhanlah gembalaku, takkan kekurangan aku. Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku.'

Aku telah melihat kasih dan ketulusan hatimu tumbuh, dan kini aku menyerahkanmu sepenuhnya pada penyelenggaraan Ilahi. Semoga Roh Kudus menjadi pelita kakimu, semoga Bunda Maria menudungi langkahmu dengan jubah putihnya, dan semoga darah Kristus yang kudus menjadi perisai yang tak terobohkan bagi jiwamu.

Pergilah dengan damai, Elisabeth, dan bawalah nama biara ini dalam setiap doa. Semoga berkat Allah Bapa, Putra, dan Roh Kudus menyertaimu kini dan selamanya. Amin."

Elisabeth dan seluruh biarawati di dalam ruangan seketika meng-amini dalam tundukan kepala diselingi gestur tangan menyentuh dahi, dada, bahu kiri dan kanan.

Lalu mengangkat kepala lagi, dan tersenyum cerah, hati mereka tersentuh oleh keindahan doa yang mengalir.

Sampai sebuah ketukan pintu yang terbuka terdengar-Tok! Tok!

Di sana berdiri wanita sekrestaris tadi didampingi dua pria berjas hitam di belakangnya. Ia dengan sopan melangkah masuk, namun wajahnya tetap datar.

Sambil mengangkat arloji kecil di pergelangan tangannya, ia berucap sopan,

"Mohon maaf saya mengganggu, tapi sepertinya kita harus berangkat sekarang. Karena saya baru saja mendapat pesan dari Tuan Vorontsov, bahwa beliau akan mengirim helikopter untuk mempercepat perjalanan. Jadi jadwal kita sekarang berubah."

Ucapan itu membuat mata Elisabeth membesar, mungkin tak hanya dirinya, karena seluruh ruangan langsung bergemuruh terkejut.

"Helikopter!? Apa itu benar-benar diperlukan?"

"Ya. Beliau berpesan bahwa waktu enam jam perjalanan pasti akan menyulitkan Anda, jadi beliau memilih jalur lain untuk membuat Anda nyaman."

Mendengar ucapan Sekretaris itu, yang seolah mencoba menenangkan, Elisabeth memilih mengangguk ringan.

"Kalau begitu saya akan sangat berterima kasih pada Tuan Vorontsov atas kemurahan hatinya."

"Anda bisa menyampaikan langsung saat sudah bertemu beliau nanti. Tapi bisa kita percepat sekarang? Dua puluh menit lagi helikopter akan tiba."

Sekretaris itu terus menatap arlojinya. Mendengar keburu-buruan itu, Anna dan Sofia langsung membantu Elisabeth menyiapkan tasnya.

"Kau yakin tidak ada lagi yang dibutuhkan? Semua sudah lengkap, kan?"

"Sudah tidak ada lagi, semua ini baik-baik saja, terima kasih, Suster."

Elisabeth membawa tas berisi barang-barangnya dengan sedikit keberatan. Namun dengan kepekaan seperti seseorang yang telah dilatih, salah seorang pria berjas yang datang bersama Sekretaris membawakan tas tersebut.

"Terima kasih."

Tidak ada ucapan balasan, tentu saja, dari wajah datar itu.

Tak lama kemudian, terdengar suara gemuruh dari luar yang perlahan mendekat. Anna berjalan ke jendela kaca, menyingkap tirai tipis, dan matanya menangkap sebuah helikopter yang terbang dari kejauhan.

Bayangan baling-balingnya berputar membelah angin, mendekat perlahan, namun belum cukup rendah untuk mendarat di halaman biara yang luas.

"Lebih cepat dari yang diperkirakan," gumam Sekretaris.

"Mari keluar, Nona. Anda bisa berjalan lebih dulu."

Elisabeth mengikuti instruksi sambil menggenggam tangan Sofia dan Anna yang sudah di sampingnya. Ia berjalan keluar lebih dulu, meninggalkan Sekretaris yang tertinggal beberapa langkah.

Sekretaris wanita itu hendak menyusul, tepat sebelum sebuah tangan rapuh dan keriput menahan lengannya.

Ia pun berhenti dan menoleh pada Svetlana.

"Bisakah saya mempercayakan keselamatan dan kesehatan anak perempuan kami pada Anda, Nona?"

Sekretaris itu menatap tanpa ekspresi, lalu perlahan melepas tangan yang menggenggamnya.

"Maaf, saya tidak bisa dititipi kepercayaan seperti itu. Tapi percayalah satu hal, Tuan kami selalu menjaga apa yang sudah menjadi bagian Vorontsov."

Svetlana diam sejenak, lalu salah satu sudut bibirnya tertarik sedikit ke atas.

"Sampaikan salam dan terima kasihku kemudian pada Tuanmu."

Sekretaris itu mengangguk. "Saya mengerti. Akan saya sampaikan dengan penuh hormat."

"Bagus. Dan satu pesan dariku-pastikan kau mendengar baik-baik, Nyonya. Jangan lewatkan satu huruf pun, agar Vladimir Sergeyevich Vorontsov mengerti dengan jelas."

Sekretaris itu terdiam sejenak, menatap wajah Svetlana yang kehilangan ekspresi ramah dan lembutnya.

"Silakan, Suster."

More Chapters