Ficool

Chapter 8 - CHAPTER 7

"Kerja bagus, semuanya. Kita berhasil menyelesaikan bagian ini dengan cepat."

Begitu Elisabeth mengatakannya, dua orang di dalam laboratorium—masing-masing mengenakan jas lab putih lengkap dengan sarung tangan dan face shield—secara naluriah menjauh dari meja panjang yang dipenuhi alat-alat biomolekuler.

Dari ruang observasi yang hanya dipisahkan kaca tebal, Elisabeth memandangi mereka sambil tersenyum geli ketika keduanya mulai mengoceh, lalu mulai membereskan tumpukan dokumennya.

"Hari ini juga melelahkan... Jika terus seperti ini, bukankah kita sedikit mirip kultur sel yang diberi medium agar tidak mati, tapi terus dipaksa produktif?"

"Itu terdengar agak berlebihan. Pekerjaan sehari-hari kita memang begini, hanya saja karena proyek terkutuk pesanan NSA itu—kita jadi lebih sibuk dari biasanya."

Elisabeth tersenyum tipis dan menggeleng pelan mendengar keluhan dua rekannya, Adian Aliev dan Ilia Rachkova, yang hari ini bertugas menuntaskan sesi penelitian.

Sebagai seseorang dengan izin tertinggi di divisi itu, Elisabeth memegang peran penting dalam mengawasi enam peneliti yang terbagi menjadi tiga pasangan. Ia biasa memantau aktivitas mereka dari ruang observasi, mencatat hasil, serta meninjau ulang protokol sebelum masing-masing dari mereka meninggalkan ruang dekontaminasi.

Hari ini menandai hari ketiga sejak Elisabeth resmi bekerja di tempat itu. Menyusun kembali hal-hal yang berantakan di masa lalu bukanlah perkara mudah—terlalu banyak yang harus ia benahi, sampai-sampai ia belum sempat pulang ke rumah.

Suatu keberuntungan, karena saat itu Alexei bersedia membagi kamar hotelnya—yang lokasinya tak jauh dari gedung perusahaan.

Sedangkan jarak dari hotel ke Institut Penelitian Medis—tempat para teknisi VBO bagian bio defense dan bio reset melakukan riset serta memanfaatkan fasilitas laboratorium—berada tak jauh dari Nevsky Prospekt, tepatnya di sekitar area Gostiny Dvor. Dari hotel, perjalanan menuju ke sana memakan waktu sekitar dua puluh menit.

Meski sedikit melelahkan karena harus berjalan hingga ke ujung Nevsky untuk mencegat taksi, Elisabeth merasa hal itu sudah cukup baginya.

"Beruntung kita sempat menyelesaikannya sebelum hari libur," ujar Adian dengan nada lega.

Elisabeth yang mendengarnya ikut bergabung dalam percakapan melalui alat komunikasi yang terhubung langsung ke laboratorium.

"Lebih beruntung lagi karena berkat kalian, kita berhasil menyelesaikan tahap dua dari enam tahapan. Kerja bagus untuk kalian!"

Mereka serempak menoleh ke arah Elisabeth di seberang ruangan, lalu tersenyum kepadanya.

Ilia yang pertama berbicara,

"Kami hanya melakukan sesuai instruksi Anda, Ketua. Awalnya saya bahkan tidak yakin bisa menemukan Umbra-3, tapi arahan Anda membuat semuanya jauh lebih mudah hingga saya bisa menyelesaikannya dengan cepat."

Adian ikut menimpali dengan semangat,

"Itu benar! Ketua divisi sebelumnya bahkan sempat melewatkan tahap ini, lalu menemukan protein Umbra yang salah. Tapi Anda benar-benar mengagumkan, Nona Elisabeth! Saya yakin pekerjaan ini akan berhasil!"

Elisabeth tersenyum puas.

"Jika kalian sudah mengerti, maka bekerjalah lebih baik dan lebih giat di masa depan."

Keduanya mengangguk penuh semangat, sementara Elisabeth berpamitan dan melangkah keluar lebih dulu.

Hari ini jadwal kerjanya telah berakhir, dan karena kebanyakan pekerjaan yang menyita waktunya telah tuntas dikerjakan– Jadi untuk besok, ia akhirnya bisa pulang ke rumahnya di Arkhangela. Dua tahapan dalam proses pembuatan serum penawar virus telah berhasil diselesaikan. Dalam hati, Elisabeth tak henti mengucap syukur kepada Tuhan karena semuanya berjalan sesuai rencana tanpa hambatan berarti.

Begitu ia keluar dari gedung institut, matahari sudah hampir terbenam. Meskipun masih musim panas, udara Saint Petersburg terasa dingin menjelang malam. Sore itu, langit berpanorama jingga kebiruan, dan rintik hujan mulai turun membasahi tanah.

Sekali lagi, keberuntungan berpihak padanya. Pagi tadi sebelum berangkat, Elisabeth sempat meninjau ramalan cuaca. Setelah tahu akan ada gerimis, ia membeli payung di perjalanan dan mengenakan mantel panjang yang cukup hangat.

Sambil berjalan kaki di bawah payungnya, sebelum mencapai ujung Nevsky Prospekt, Elisabeth teringat pada sesuatu yang sudah ia rencanakan sejak pertama kali tiba di gedung institut—namun hingga kini belum sempat terlaksana.

Yaitu mengunjungi sebuah toko buku yang terkenal dengan koleksi buku-buku tuanya, terutama yang berkaitan dengan legenda masyarakat Slavic. Karena lokasinya tak jauh dan dapat ditempuh hanya dengan berjalan kaki, Elisabeth memutuskan untuk mampir.

Ia tentu tidak ingin melewatkan kesempatan itu—sebagai seseorang yang gemar membaca buku-buku kuno, tempat seperti itu adalah surga baginya.

Toko buku tersebut terletak di Liteyny Prospekt. Berbeda dengan Nevsky yang ramai dan dipenuhi hiruk-pikuk penduduk karena letaknya di pusat kota, Liteyny jauh lebih tenang. Bangunan-bangunannya berarsitektur klasik, memiliki kesan old intellectual yang menenangkan mata.

Ketika toko buku itu mulai tampak dari kejauhan, Elisabeth tampak begitu bersemangat. Ia sudah membayangkan berapa banyak buku yang sebaiknya ia beli—karena jika semua adalah buku tua, tentu setiap halamannya sangat menarik untuk dibaca.

Ia menutup payungnya, dan pandangannya tanpa sengaja tertumbuk pada sebuah mobil sedan hitam mewah yang terparkir di depan toko itu.

Tak ingin berlama-lama memperhatikannya, Elisabeth hanya mengangkat bahu, lalu melangkah masuk ke dalam toko—di mana deretan buku seolah telah menantinya.

Setelah menaruh payung dan menggantung mantelnya di tempat yang telah disediakan dekat pintu, Elisabeth menaiki tangga menuju lantai dua. Ia sudah tahu letaknya berkat penelusurannya di internet beberapa waktu lalu.

Di salah satu sudut lantai itu terdapat ruangan semi-tertutup, tempat disimpannya buku-buku kuno dan langka.

Begitu memasuki ruangan, perbedaan suasana langsung terasa dibandingkan area bawah. Selain lebih sunyi, di sana hampir tak terlihat seorang pun. Langit-langit ruangan sedikit lebih rendah; dindingnya berwarna merah marun tua dengan rak-rak kayu tua yang menjulang tinggi, hampir menyentuh plafon.

Rak-rak itu dipenuhi buku-buku berkulit keras—sebagian besar berbahasa Rusia, Prancis, dan Inggris—dengan punggung berwarna kusam: hijau tua, coklat, hitam, dan biru dongker. Aroma khas kertas tua dan kulit memenuhi udara, menenangkan dan nostalgik.

Elisabeth berjalan perlahan menyusuri rak demi rak, matanya berbinar menatap begitu banyak judul menarik yang menggoda rasa ingin tahunya.

Hingga akhirnya langkahnya terhenti di depan sebuah rak kaca—tepatnya pada satu buku yang berjajar rapi di dalamnya. Ia membuka kaca itu perlahan, lalu mengambil buku yang sampulnya dibalut aura sakral dan tenang. Elisabeth tersenyum kecil. Dari judul dan penulisnya, bisa diketahui itu adalah buku yang bernilai langka. Dalam hati Elisabeth muncul rasa puas—karena keputusannya untuk mampir tidak sia-sia.

"Nikolai Gogol...!! Astaga, setelah mengelilingi tempat ini berkali-kali, bagaimana bisa aku tidak melihatnya..."

Suara itu mengalun di telinga Elisabeth seperti denting lonceng kecil di pagi hari.

Saat ia menoleh, tampak seorang gadis berdiri tak jauh darinya. Tubuh gadis itu mungil, lebih pendek darinya. Rambut gadis itu berwarna cokelat tua, bergelombang lembut, berpotongan medium sebahu dengan volume yang jatuh indah di bagian tengah hingga ujung.

Menggemaskan seperti boneka.

Gadis itu benar-benar menyerupai boneka porselen yang hidup. Wajah ovalnya memiliki tulang pipi halus dan dagu tirus. Hidungnya kecil dan mancung, bibirnya yang cemberut melengkung ke atas—berwarna peach muda.

Berbeda dengan Elisabeth yang tampil kasual elegan dalam balutan dress rajut panjang berwarna putih gading dan tas dua warna, krem dan cokelat, di lengannya—gadis di depannya tampak lebih formal, seolah baru saja menghadiri rapat penting.

Tubuh mungilnya dibalut kemeja berlengan balon berwarna aprikot, dengan korset hitam di bagian tengah, dipadukan dengan rok maxi hitam berpotongan A-line. Aksesori yang ia kenakan lengkap, dan sebuah tas Hermes kecil berwarna taupe tampak mencolok di tangannya.

Mata cokelat mudanya yang besar dan simetris menatap buku di tangan Elisabeth dengan ekspresi lucu—sedikit sedih karena tampak menyesal telah kalah cepat, tapi entah kenapa malah membuatnya terlihat semakin menggemaskan.

Elisabeth menimang sebentar buku itu, lalu bertanya lembut,

"Apa kamu menginginkannya?"

Seketika gadis itu mengangkat kepala, menjawab dengan semangat,

"Aku sangat menginginkannya! Aku mencari dari tadi, tapi tak kunjung menemukannya—dan ternyata itu ada di sini!"

Ia menarik napas panjang sesudahnya, membuat Elisabeth tak kuasa menahan senyum. Gadis itu memang terlalu menggemaskan.

"Kalau begitu, ambillah. Aku tidak berniat membawanya. Aku akan memilih yang lain."

Binar mata gadis itu langsung menyala terang ketika mendengarnya.

"Sungguh? Apa kau serius? Semudah ini kau menyerahkan barang langka itu? Oh, tunggu... apa aku perlu memberikan harga tambahan untukmu?"

Elisabeth terkekeh kecil, lalu menyerahkan buku itu pada tangan putih lembut milik gadis tersebut.

"Tidak perlu. Bawalah saja. Aku akan memilih yang lain—mungkin satu atau dua di antaranya."

Gadis itu langsung memeluk buku itu erat-erat, seolah benda berharga. Ia bahkan bersenandung kecil karena terlalu senang.

"Terima kasih! Kau sangat baik! Kau cantik, dan baik hati... jadi, bolehkah aku tahu siapa dirimu?"

Seharusnya Elisabeth menolak, karena bagaimanapun juga gadis itu adalah orang asing.

Namun ia tak kuasa melakukannya—suara gadis itu terdengar begitu menggemaskan, seperti suara anak kucing kecil yang minta dielus—hingga akhirnya Elisabeth memutuskan untuk memperkenalkan diri.

"Aku Elisa—"

"Nona Alina...! Saya kira ke mana Anda pergi. Tuan sudah menelepon, meminta Anda segera kembali."

Belum sempat Elisabeth menyelesaikan kalimatnya, suara seorang pria bersetelan hitam terdengar dari belakang gadis itu.

Dari situ, Elisabeth pun mengetahui nama gadis mungil tersebut—Alina.

Alina menoleh sebentar pada pria itu dan mengangguk, lalu kembali menghadapkan wajahnya pada Elisabeth.

"Sepertinya kita tidak bisa melanjutkan percakapan kita lebih jauh," katanya dengan nada lembut. "Tapi aku senang bisa bertemu dengan gadis baik dan cantik sepertimu. Semoga kita bisa bertemu lagi di lain kesempatan."

Entah mengapa, Elisabeth merasakan sesuatu yang berbeda dalam nada suara Alina sejak pria itu datang. Ada kehampaan halus yang menyusup di antara kata-katanya—sesuatu yang terasa mati di balik sorot mata cokelat muda yang tadi begitu hidup.

Meski menyadari keanehan itu, Elisabeth tetap berusaha tersenyum, lalu mengangguk pelan.

"Ya, semoga kau sehat selalu, sehingga di lain waktu kita bisa bertemu dan berbicara lebih banyak."

###

"......."

Angin dingin dari Ac menyentuh lembut tubuh Elisabeth yang masih basah, terbalut mantel mandi putih ketika ia keluar dari kamar mandi.

Rambut pirangnya yang berkilau keemasan menjuntai lembap, meneteskan titik-titik air yang jatuh perlahan ke lantai. Mata hijau almondnya melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan malam, sebelum beralih pada paper bag berwarna krem bertuliskan huruf Cyrillic hitam.

Setelah kembali menjelajahi rak-rak buku tadi sore, Elisabeth akhirnya menemukan dua buku yang benar-benar menarik perhatiannya. Ia membelinya dengan harga yang tentu saja fantastis—karena keduanya tergolong buku tua yang sulit didapat. Tak lama setelah itu, dengan menaiki taksi, ia tiba di hotel sebelum malam semakin larut.

Dalam perjalanan pulang, sempat terlintas pikiran tentang Alina—tentang tatapan matanya dan nada suaranya di akhir percakapan. Namun, Elisabeth segera menepisnya. Ia merasa pikirannya itu terlalu dramatis, bahkan mungkin tak sopan untuk seseorang yang belum benar-benar ia kenal.

Saat itu, ponselnya yang sedang terhubung ke pengisi daya di atas meja menyala dan bergetar, menandakan notifikasi masuk. Elisabeth menggeser layar, dan muncul beberapa pesan dari Alexei.

Isinya singkat— hanya pemberitahuan bahwa pria itu mungkin akan datang terlambat karena urusan pekerjaan.

Namun, tak lama kemudian, satu pesan baru muncul.

[ "Aku takut tak sempat menyampaikan ini, karena besok sebelum matahari terbit aku sudah harus kembali ke perusahaan. Membahasnya saat waktu pulang juga bukan hal yang baik, karena kau pasti lelah. Jadi, bisakah besok kau mampir sebentar ke perusahaan sebelum kembali ke rumah? Aku janji tidak akan lama. Hanya itu saja. Istirahatlah dengan baik, dan sampai jumpa besok." ]

Begitulah Alexei—selalu memperhatikan hal-hal kecil sekalipun. Padahal Elisabeth tak pernah keberatan membicarakan hal apa pun, entah soal pekerjaan atau di luar itu, kapan pun waktunya. Tapi Alexei selalu berkata, ia tak ingin Elisabeth memaksakan diri setelah seharian bekerja di laboratorium.

Setelah mengetik beberapa balasan singkat, Elisabeth menatap layar ponselnya sesaat, lalu mengalihkan pandangannya. "Mampir ke perusahaan... besok," gumamnya dalam hati.

Bukan berarti Elisabeth merasa berat hati. Lagipula, di hari pertamanya bekerja, ia juga sempat datang ke tempat itu untuk mengurus beberapa hal terkait kepindahannya.

Semuanya berjalan lancar— kecuali tatapan para petinggi yang hadir waktu itu, yang membuatnya sedikit tidak nyaman.

Rasanya seperti seekor anak ayam yang dikelilingi elang-elang besar dengan tatapan lapar.

Elisabeth menggelengkan kepala, berusaha menepis bayangan absurd itu.

Pandangannya kemudian teralihkan pada jendela luar, setelah ia meletakkan ponselnya kembali ke meja nakas. Seperti yang diharapkan dari hotel bintang lima yang menampilkan pemandangan begitu memukau kota Saint Petersburg—terutama di malam hari, ketika cahaya lampu jalan memantulkan kilau jingganya di atas permukaan basah jalanan.

Kamar yang ditempati Elisabeth—seperti halnya kamar Alexei—adalah Suite de Luxe, dengan kategori Lobanov Presidential Suite yang dimana merupakan kategori suite paling mewah di hotel itu. Terpisahkan menjadi dua kamar, karena hotel juga menyediakan opsi connecting room yang bisa menggabungkan satu kamar suite de luxe lain.

Four Seasons Lion Palace memang tidak pernah mengecewakan tamu-tamunya, bahkan dalam hal pemandangan yang tersaji di sekeliling hotel. Selain karena tempat itu sangat nyaman, lokasinya yang tak terlalu jauh dari gedung perusahaan— adalah alasan utama Alexei memilih tinggal di hotel daripada kembali ke kediaman keluarga Vorontsov. Titik keberadaan hotel ini membuatnya lebih mudah bolak-balik memenuhi panggilan mendadak dari perusahaan.

Pada suatu waktu Alexei sempat menjelaskan padanya, bahwa ia hampir tak pernah pulang ke kediaman keluarga sejak menjabat sebagai Chief of Staff. Ketika waktu luang datang—yang sangat jarang—ia lebih memilih menghabiskannya di rumah orang tuanya di Kazan.

> "Ibuku akan memarahiku kalau tahu aku tidak menghabiskan waktu luang yang langka itu bersama keluarga kami. Karena itu, aku tak bisa menetap secara permanen di Saint Petersburg, dan di hotel inilah yang sering menjadi tempatku bermalam. Jadi buatlah dirimu nyaman disini, dan jangan sungkan menanyakan apapun padaku."

Saint Petersburg ke Kazan bukanlah perjalanan singkat. Membayangkan betapa seringnya pria itu menempuh perjalanan jauh demi pekerjaan saja sudah membuat kepala Elisabeth pening.

Setelah mengganti mantel mandinya dengan piyama yang lembut, mengeringkan rambut, mengaplikasikan perawatan kulit, dan mengoleskan lotion pada kulitnya yang dingin, Elisabeth akhirnya bersiap untuk tidur.

###

Sisi Elisabeth.

Aku ingat terakhir kali aku sedang tertidur.

Sampai aku mendengar suara 'klik' yang lembut dari pintu utama.

Pada saat sebuah langkah kaki sepatu yang berat mulai mendekat dan berhenti tepat di depan pintu kamarku, kesadaranku mulai terbangun.

Aku tidak sepenuhnya terjaga, tetapi aku juga tidak sepenuhnya tertidur lagi.

Aku terus berbaring di tempatku, mendengarkan sesuatu itu bergerak semakin mendekat hingga membuka pintu kamarku.

Seseorang.

Ada seseorang berdiri tepat di ambang pintu itu.

Ia hanya berdiri, seolah sedang menatapku dalam-dalam, berusaha menyimpannya menjadi sebuah ingatan yang akan abadi.

Membuat bulu kudukku naik, hingga aku merasa tak mampu menggerakkan tubuhku.

Apa ini...?

Aku ingat aku berpikir sangat keras, berusaha mencerna situasi ini.

Namun hanya satu kata yang cocok menggambarkan, hingga menjadi sebuah pertanyaan.

Apa aku ketindihan...?

Kemudian aku merasakan sesuatu itu bergerak dari tempatnya, dan berjalan pelan ke arah tempat tidurku.

Siapa...? Apa itu Alexei yang baru pulang?

Entah ini ketindihan, atau aku sedang bermimpi, atau ini nyata, aku hanya berharap aku tidak diganggu begitu lama.

Hari ini melelahkan, dan besok aku harus bangun pagi.

Jadi aku bergumam dengan suara yang nyata,

Biarkan aku tidur.... Sebentar lagi saja...

Hening.

Aku tidak merasakan apapun lagi, mungkinkah ia pergi?

Awalnya aku berpikir itu adalah Alexei, tapi ketika samar-samar sebelum kembali ke alam bawah sadar– aku melihat sebuah bayangan tinggi yang berdiri di sisi tempat tidur.

Lalu menyadari, Alexei tidak memiliki tubuh setinggi itu.

Tapi kemudian apa? Sepertinya aku benar-benar ketindihan, bukan...?

Hening sangat lama sejak bayangan itu tidak bergerak dari tempatnya.

Sampai ketika–

Sesuatu yang lembut menyentuh pipiku.

Satu sentuhan.

Hangat.

Entah mengapa itu terasa nyaman, kehangatannya nyata sehingga aku rileks.

Butuh waktu bagiku untuk menyadari bahwa itu adalah sebuah tangan.

Tanpa pikir panjang, aku mencondongkan tubuh lebih dekat padanya dan mendesah dalam-dalam.

Saat aku melakukannya, tangan itu berhenti tak bergerak, seolah terkejut dengan yang kulakukan.

Tangan yang menyentuh pipiku terasa besar dan kokoh, sepertinya cukup besar untuk menutupi seluruh wajahku.

Lalu tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang hangat dan lembab menyentuh dahiku.

Tidak masuk akal.

Ini mulai tidak masuk akal.

Bagaimana bisa sebuah ciuman mendarat di dahiku, yang kemudian terus turun dan bergerak ke pipi, sisi hidung—

Tetapi nafas hangat, lembut itu terhenti tepat di depan bibirku.

Dia tidak menyentuh bibirku.

Aku tidak ingat apa-apa lagi, karena saat keesokan pagi tiba dan sinar matahari menyusup dari balik tirai jendela....

Semua hal tadi malam terasa seperti mimpi.

Sebuah mimpi yang anehnya sangat nyata.

More Chapters