Hidup dengan membawa nama Vorontsov, juga berarti hidup tanpa diperbolehkan memiliki kelemahan. Mereka dituntut hidup tanpa celah, walau harus muntah darah sekalipun dalam melaksanakan prosesnya.
Hal yang sama berlaku bagi Vladimir Sergeyevich Vorontsov- Pria yang sekarang ini dikenal sebagai sosok individual yang luar biasa dimana ia berhasil membangkitkan kembali kejayaan perusahaan dari kekacauan yang ditimbulkan sang Ayah.
Untuk mencetak seseorang sepertinya, benar-benar dibutuhkan sebuah tahap yang besar. Sejak usianya sepuluh tahun, sesuai pada aturan keluarga— Vladimir ditempatkan pada bangunan yang membuat kehidupannya secara tidak langsung terpisah dari kedua orangtuanya.
Meskipun bagi kebanyakan orang yang mengatakan bahwa seorang anak kecil menguasai sayap besar seperti Serafima adalah hal yang luar biasa dan membanggakan, namun bagi anak yang tinggal didalamnya tempat itu lebih mirip seperti penjara yang dibungkus kehormatan.
Pendidikan yang mereka terima tiga kali lipat sangat jauh berbeda dari yang seharusnya diterima oleh anak seusia mereka— seperti menempa logam yang terus dipanaskan tanpa henti. Setiap harinya adalah ujian, setiap napasnya diukur dalam nilai, setiap geraknys dinilai dari seberapa efisien mereka bisa mencapai hasil.
Vladimir telah ditempa menjadi sosok yang nyaris sempurna. Walau disisi lain ia tidak pernah mengerti bagaimana rasanya marah dengan tulus, menangis karena kehilangan, atau tertawa karena bahagia— bukan berarti Vladimir "tidak tahu" arti dari emosi-emosi itu. Hanya saja ia tidak memiliki pengalaman langsung untuk mengalami atau merasakannya.
Seperti seseorang yang hidup di dunia grayscale, tahu bahwa warna ada tapi tidak pernah benar-benar melihatnya. Dia bisa menyebut nama-nama warna karena orang lain bilang begitu, tapi tidak bisa bilang: "ah, biru ini terasa menenangkan."
Namun seluruh Vorontsov (kecuali orang tuanya) membanggakannya sebagai hasil yang sempurna dari rancangan mereka. Tidak ada pewaris yang lebih sempurna ketimbang anak laki-laki yang kini telah tumbuh menjadi seorang pria berusia tiga puluh empat tahun.
###
Pada suatu titik, ketika Vladimir masih menduduki kursi pewaris, setelah menyelesaikan pendidikannya di London, ia mulai membantu sebagian besar pekerjaan Sergey. Di hari itu, ia menerima laporan terbaru perusahaan dari sepupunya, Alexei—yang kala itu menjabat sebagai sekretaris pribadinya.
"Ada sedikit pekerjaan mengenai hasil rapat hari ini, jadi mereka sepakat untuk memperbarui seluruh sistem penyimpanan dengan meningkatkan suhu pendingin kriogenik hingga -130°. Karena hal ini juga melibatkan pihak Volgograd, mereka meminta kita untuk ikut mengawasi restrukturisasinya."
Vladimir duduk di meja kerjanya. Layar laptop tampak menyala, dengan beberapa dokumen berserakan.
Sementara itu, Alexei berdiri di sisi meja, membacakan laporan dari Katarina dengan cermat dan memberikan ringkasannya.
"... Sudah itu saja?"
Vladimir bertanya tanpa mengalihkan pandangan dari layar, tangannya sibuk memilah lembar-lembar dokumen.
"Ya, itu saja untuk pekerjaanmu hari ini," jawab Alexei ringan.
"Oh! Sebenarnya mereka juga meminta pengiriman dana sumbangan untuk sebuah biara di Moskow. Tapi kau tak perlu repot-aku tahu kau tidak terlalu tertarik menggarap hal semacam itu. Jadi biar aku saja yang kerjakan."
Begitu kalimat itu selesai, barulah Vladimir menghentikan kegiatannya. Pandangannya yang sedari tadi bergantian antara dokumen dan layar kini menatap Alexei penuh, alisnya sedikit terangkat.
"Hal itu masih berlanjut? Aku kira pencitraan pria serakah itu akan berhenti begitu perusahaan mendapat panggungnya kembali."
Nada remeh dan senyum tipis khas Vladimir menyertai ucapannya— sindiran tajam terhadap ayahnya sendiri yang meluncur tanpa beban.
Mendengar ucapan sepupunya, Alexei hanya menghela napas panjang sambil berkacak pinggang, seolah ini sudah menjadi rutinitas yang terlalu akrab baginya.
"Masih terus berlanjut," katanya tegas.
"Bahkan kudengar Paman Sergey akan menambahkan jumlah dana. Dan Vladimir- jaga sedikit ucapanmu. Bagaimana kalau suatu saat pintu tidak tertutup, dan ada orang lewat mendengar kau mengumpati Presiden? Lagipula, meskipun hubungan kalian buruk, bagaimanapun juga beliau tetap ayahmu."
Nada Alexei terdengar seperti seorang ayah yang menasihati anaknya karena bicara sembarangan.
Sayangnya, anak kurang ajar itu sama sekali tidak menggubris. Vladimir hanya kembali menunduk, mengambil beberapa dokumen, dan membacanya dengan santai seakan nasihat Alexei hanyalah suara angin yang lewat.
"Kalau kau sudah selesai, keluarlah," katanya datar tanpa menoleh. "Dan hubungi pihak Volgograd. Aku akan memeriksa leverage lebih dulu."
Lihatlah... Tuan Muda Vorontsov yang bahkan tidak tertarik untuk berbincang akrab dengan sepupunya sendiri. Kadang, Alexei benar-benar menyesali betapa membosankannya kehidupan pria di hadapannya ini.
Bayangkan saja: setelah bertahun-tahun menjalani pendidikan keras, siang-malam dikepung materi dan kedisiplinan, ia bahkan tidak mendapat sedikit pun ruang bernapas ketika lulus. Sebaliknya, ia malah langsung dihujani pekerjaan, seolah tak ada jeda untuk menjadi manusia biasa.
Alexei sering berpikir– andaikan saja Vladimir bisa merasakan sedikit saja emosi, mungkin sekadar penasaran, atau terdistraksi sesaat oleh sesuatu di luar pekerjaan-pemandangan itu pasti akan jauh lebih menyenangkan.
...Terdistraksi?
Tiba-tiba, sebuah ide menyelinap ke kepala Alexei. Saat itu, ia teringat akan suatu hal yang baru-baru ini dia dengar dari orang-orang Serdste.
Dengan mata menyipit penuh siasat, ia membuka percakapan dengan nada menggoda.
"Vladimir, sepupuku..." katanya perlahan.
"Sepertinya ada satu hal yang kau belum dengar. Tapi kurasa kau juga tak akan peduli, jadi... mungkin tak perlu kuceritakan."
Nada Alexei sengaja dibuat-buat.
"Dan tentang apa itu?"
Vladimir bertanya tanpa mengangkat kepala, jemarinya tetap mengetik di laptop. Namun fakta bahwa ia merespons sudah merupakan kemenangan kecil bagi Alexei.
"Tentang Presiden yang kabarnya diam-diam menyayangi seorang anak yatim piatu dari biara di Moskow."
Umpan itu dilempar begitu saja— dan seperti panah mengenai sasaran. Gerakan Vladimir mendadak terhenti.
Perlahan, ia mengangkat kepalanya, pandangan birunya tertuju penuh pada Alexei.
"Yatim piatu, dan yang menyayanginya adalah Sergey? Cukup untuk bualanmu hari ini. Lakukan saja pekerjaanmu."
Yang benar saja, pria yang bahkan akan menendang gelandangan jika berani mengotori dengan menginjakkan seinci jari kaki ke halaman kawasannya itu— menyayangi seorang yatim piatu? Tak ada sesuatu yang terdengar sangat omong kosong lebih dari pernyataan tersebut.
Alexei mengerang frustrasi sambil mengangkat kedua tangannya.
"Oh, ayolah... Aku tidak pernah membual!" katanya sengit.
"Katanya anak ini seorang perempuan yang sangat cantik, dan memiliki kepintaran di atas rata-rata. Saat kau masih kuliah di London, Presiden selalu menyempatkan diri singgah ke biara setiap kali ada urusan di Moskow— hanya untuk bertemu anak itu. Bahkan pengiriman dana rutin ke biara itu pun, katanya, karena keberadaan anak tersebut."
Perkataan itu seperti menyalakan percikan.
Vladimir mulai menegakkan tubuhnya di kursi kulit hitam— sebelum bersandar perlahan ke sandarannya, kedua tangan bertaut, dengan eskpresi layaknya seekor predator yang baru saja mencium aroma darah.
Sorot biru matanya memandang Alexei seolah berkata: "Teruskan ceritamu."
Alexei tak menyadari betapa suhu ruangan seolah turun beberapa derajat. Ia terlalu bersemangat bercerita, wajahnya cerah, seperti anak kecil yang berhasil menarik perhatian orang dewasa yang serius.
Ketika ceritanya selesai, keheningan mendadak menyelimuti ruangan. Vladimir tidak memberi respons apa pun, hanya diam... cukup lama hingga Alexei hampir membuka mulut untuk memanggilnya lagi.
Tepat kemudian, terdengar suara rendah dengan nadanya hampir seperti ingin mempertanyakan sesuatu, karena barusan memikirkannya penuh pertimbangan.
"Katakan, Alexei..."
Untuk sesaat, Alexei merasa ragu menjawab ketika mendengar nada yang terdengar aneh dari sepupunya itu.
"Apa?"
"Apa pendapatmu," Vladimir menatapnya dalam, "jika aku sedikit mengusik anak itu?"
Refleks, Alexei langsung menjawab dengan tegas.
"Pendapatku: jangan lakukan."
"Kau tahu sendiri, kalau Paman Sergey bisa, dia pasti sudah mengadopsi anak itu. Tapi dia tidak melakukannya, karena dia takut padamu. Jadi jangan lakukan-dan entah hal gila apa yang akan kau perbuat, mengingat kejadian ibumu dulu-"
Kalimat itu terhenti mendadak.
Alexei menyadari mulutnya telah melangkah terlalu jauh. Ia menutupnya cepat-cepat, nyaris cegukan ketika tatapan tajam Vladimir menghujam seperti bilah es.
"... Maaf aku salah bicara."
Alih-alih marah, Vladimir justru tersenyum tipis-senyum datar yang sulit ditebak maknanya-dan mengibaskan ucapannya tadi seperti angin lalu.
"Kau tidak perlu meminta maaf," ujarnya ringan.
"Ngomong-ngomong, berdasarkan usia yang kau sebutkan tadi, seharusnya sekarang anak itu sedang kuliah, bukan?"
Alexei mengangguk pelan.
"Ya. Ketika aku bertanya tentang hal ini pada Ayahku yang mengikuti kegiatan relawan di hari pertama, beliau menyebutkan gadis itu sangat cantik dan jenius. Terakhir kali kudengar, dia mendapat predikat mahasiswa terbaik di Fakultas Biologi, Departemen Bioengineering, di salah satu universitas top Moskow."
Vladimir terdiam mendengarnya. Tentu saja-itu masuk akal. Sergey tidak akan menyayangi sesuatu yang "biasa". Jika pria itu menaruh perhatian pada seorang yatim piatu dari biara, berarti ada nilai tinggi yang membuatnya pantas dilindungi.
Sergey tidak akan mempertaruhkan reputasinya demi sesuatu yang remeh.
Dan setelah percakapan hari itu, ada sesuatu yang seolah perlahan tertarik keluar dari diri Vladimir.
Siapakah gadis itu?
Apa yang dia lakukan, hingga Sergey mulai memperhatikan hal-hal berharga yang pantas dilindungi?
Vladimir ingin tahu— Bahkan lebih, dia juga ingin merasakan sensasi yang dimiliki Sergey itu.
Bagaimana jadinya jika gadis itu berada di sisinya?
Sepertinya akan... menyenangkan.
###
Dan kini, waktu telah menjawab rasa penasarannya dengan cara yang tak pernah ia bayangkan.
Sejak hari pertama Vladimir bertemu dengan gadis itu-Elisabeth Petrova— yang kini telah menyandang nama Elisabeth Vorontsov, bukan hanya kesenangan yang ia rasakan, tetapi juga sesuatu asing yang perlahan merayap masuk ke dalam realita yang selama ini steril dari emosi.
Kesan pertamanya terhadap Elisabeth tak berbeda jauh dari orang lain, gadis itu luar biasa cantik. Terutama rambut pirang bergelombangnya yang bagaikan jaring cahaya, dan memantulkan kilau lampu. Meninggalkan aroma campuran mawar muda, tapi samar-samar juga tercium buah beri segar— yang membuat siapapun tak akan tahan untuk tidak menghirup dan menyentuh setiap lapisan lembutnya.
Untuk sekarang Vladimir duduk di ruang kerja pribadinya- di Serdste, setelah menyelesaikan tumpukan dokumen seperti biasa. Lalu keheningan ruangan itu pecah oleh suara Katarina yang masuk dengan sopan.
"Ada pesan dari Paman Anda- Tuan Nikolay."
Alis Vladimir terangkat samar.
Nikolay?
Nama itu jarang sekali terdengar dalam pembahasan, bahkan terakhir kali Vladimir bertemu sosoknya pun saat upacara pemakaman Sergey.
Sejak pamannya itu memutuskan hubungan dengan perusahaan lima tahun lalu dan pindah ke Kazan bersama istrinya, kabar tentangnya hanya datang sesekali melalui Alexei-sekadar kabar ringan, tak pernah sesuatu yang penting atau mendalam.
Namun kali ini berbeda. Jika pesan itu Nikolay sampaikan sendiri ke meja Katarina-berarti isinya bukan hal sepele.
Vladimir bersandar perlahan ke kursi kulit hitamnya, menautkan jemari di depan wajah, dan memberi isyarat pada Katarina untuk melanjutkan.
"Beliau mengatakan, agar Anda segera memilih calon pengantin. "Usiamu sudah sangat jauh dari angka ideal untuk menikah, jangan biarkan Serafima kosong terlalu lama."
Kalimat itu disampaikan Katarina dengan datar, namun isinya cukup tajam untuk membuat Vladimir terdiam sejenak.
Dan memang, tidak bisa dibantah: ucapan Nikolay ada benarnya. Usianya sudah lebih dari cukup untuk menikah, memiliki seorang pewaris, dan mengisi kembali kehidupan di Serafima dengan darah baru.
Namun dari sekian banyak wanita yang ia temui, Vladimir belum dapat menemukan satu orang yang dapat mengubah sedikit rasa emosi yang saat ini dia miliki.
Tidak satu pun dari mereka yang mampu mengubah rasa puasnya menjadi debar; tidak ada yang sanggup mengubah kejenuhannya menjadi sesuatu yang tak terlukiskan.
Vladimir merapikan setelan kerjanya perlahan— Kemudian mengibaskan tangan ringan pada Katarina.
"Nanti. Itu bisa dipikirkan nanti. Perlahan saja, tidak perlu terburu-buru. Juga sampaikan salam rinduku pada Paman yang sangat kucintai, semoga beliau sehat selalu."
Katarina mengangguk dalam ekspresi datarnya.
Vladimir berjalan mendekat dan berhenti tepat di hadapannya, menyandarkan tubuhnya santai pada meja besar dari kayu ek tanpa benar-benar mendudukinya.
"Ada lagi?" tanyanya.
"Satu hal, Tuan. Nona Elisabeth keluar dari Arkhangela pagi ini bersama Tuan Alexei untuk mengunjungi perusahaan. Diperkirakan saat ini beliau sudah berada di laboratorium."
Dan pada saat itu juga...
Tawa meledak dari bibir Vladimir. Tawa pendek namun terdengar geli, keluar begitu saja tanpa bisa ditahan.
"Gadis yang penuh semangat, haha..." ujarnya dengan nada puas. "Pastikan dia mendapat semua yang dia butuhkan di sana, Katarina."
"Baik, Tuan,"
Kalau di pikir-pikir, selain kesan pertama tentang gadis bernama Elisabeth yang begitu cantik dengan surai gelombang keemasannya — pria tampan yang bernama Vladimir ini, juga sempat membayangkan suatu khayalan lain di otak mesumnya.
Melihat bagaimana Elisabeth yang hari itu tampak begitu polos dengan pancaran energi kemanusiaannya yang menyebar hingga sesaat rasanya ia bisa merasakan suatu emosi lain— membuat Vladimir memiliki sebuah hasrat lain dari sekedar membuat gadis itu berada di sisinya.
Bagaimana jadinya jika ia merobek segala kepolosan itu?
Bagaimana jika ia menghancurkan semua sisi kemanusiaan Elisabeth, kemudian menelanjangi dan memperlakukannya seperti anjing?
... Begitu pikiran biadab itu terlintas kembali di otak dan benaknya secara bersamaan, Vladimir tak kuasa menahan sesuatu yang terpendam di bawah sana.
Membayangkannya saja sudah menimbulkan sensasi aneh yang menjalar hingga ke seluruh tubuhnya ; terutama sesuatu pada area sekitar selangkangannya yang mulai menonjol.
Kepalanya mengadah ke atas— menatap kosong ke langit-langit, seolah sedang menikmati sesuatu yang hanya ia sendiri yang tahu.
Aahh...
Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum samar hingga mengigit ujungnya— bukan senyum kebahagiaan, melainkan sesuatu yang lebih menyeramkan seperti predator yang tengah membayangkan buruannya.
"Tuan?"
Vladimir menurunkan pandangannya, kemudian menatap Katarina dengan senyuman aneh.
"Panggilkan shlyúkhi, ambil lima yang masih perawan. Aku akan tunggu di hotel."
"... Dimengerti, Tuan."
Baiklah, mengurus hal seperti memanggilkan jalang untuk meredakan lelah Vladimir juga bukan sesuatu asing bagi Katarina.
Biasanya pria itu akan mengambil sekitar dua atau sampai tiga wanita, namun saat ini ia memanggil lima– dan terlebih yang masih perawan... Tampaknya hasrat nafsu sedang menguasai diri Vladimir.
###
Note : " Шлюхи" (shlyúkhi) dalam rusia artinya seperti panggilan untuk seorang wanita pekerja seks ( pemuas nafsu ).
