Ficool

Chapter 30 - Kucing kecil

Samar-samar, dia mendengar lagi gemerisik semak tidak jauh dari sana. Ethan menunggu dengan memicingkan mata tajam, tangannya mengepal kuat pada gagang pedang-bersiap bertarung hingga titik darah penghabisan.

Tak lama kemudian, sesuatu berwarna putih meloncat keluar dari semak. Ia sudah bersiap menghunuskan pedang sampai ia menyadari bahwa yang keluar adalah seekor kucing putih dengan mata biru. Kucing yang tidak tampak berbahaya, hewan itu mengeong keras karena takut dan kaget.

Tangan Ethan turun, pegangan pada pedang mengendur dan pria itu hanya diam sembari menatap makhluk itu.

Kucing itu menatap Ethan dengan mata polosnya, kemudian ketika dirasa manusia di depannya tidak berniat menyerang, ia mendekat dan mengusap-usapkan kepalanya ke kaki pria itu.

Ethan yang melihat itu tak berbuat banyak. Namun hatinya tetap waspada, takut kucing ini hanyalah pengecoh yang disiapkan oleh musuh-musuhnya lagi.

Sekian lama kemudian, tak ada pergerakan lain membuat Ethan berjongkok, melihat penampilan kucing putih itu. Ternyata di kakinya, terdapat luka yang lumayan dalam dan berdarah.

Melihat Ethan berjongkok, kucing putih itu segera naik ke bahu lebar Ethan dan menjilati darah yang keluar dari lukanya.

Ethan terkejut namun hanya diam, jilatan dingin dari lidah kucing itu membawa sensasi aneh dan misterius. Kucing tersebut terus menjilati darah yang perlahan mengering dari lukanya.

Anehnya, setelah kucing itu selesai, Ethan merasa bahu dan lengan yang tadi terluka tidak lagi sekaku sebelumnya-perlahan-lahan mulai bisa digerakkan.

Ethan menepuk kepala kucing dengan pelan,sedikit berterimakasih dan ia mengambil kucing itu untuk memeriksa lukanya.

Disela kesibukannya, fokusnya terpecah begitu mendengar geraman harimau yang cukup kuat. Kucing yang berada di depan Ethan merespon dengan geraman rendah dan takut, sepertinya harimau itulah yang telah menyerangnya.

Ethan mengambil pedang, jika harimau itu mendekat dan menyerang, ia siap untuk membunuh dan membawa harimau itu untuk menambah koleksi hewan buruannya.

Geraman harimau terdengar semakin dekat, dia bersiap dan tidak lama, keluarlah harimau yang lumayan besar membuka rahangnya, siap untuk menerkam.

Kucing yang tadi berada di dekat Ethan segera melarikan diri dan melompat ke tubuh Polis, meringkuk ketakutan.

Harimau segera maju dan mengayunkan cakar tajamnya. Namun sebelum mengenai Ethan, pria itu sudah lebih dulu menghunuskan pedangnya menebas leher harimau dalam sekali tebasan.

Harimau itu ambruk dengan luka menganga yang cukup lebar tapi belum mati. Hewan buas itu segera bangkit dan berlari ke arah berlawanan untuk melarikan diri.

Ethan berniat mengejar sampai mendengar kucing putih bersuara lirih. Teringat kucing yang terluka itu, ia berbalik untuk menghampirinya dan kuda polis.

Ethan memutuskan membawa kucing itu keluar dari hutan untuk mengobatinya, tidak jadi mengejar harimau yang dalam kondisi lemah itu.

Si tempat lain, jauh di dalam hutan yang sunyi–seseorang terbakar amarah. Suasana gelap membuat wajah pria itu kabur, namun suaranya terdengar jelas. Suara yang biasanya ramah kini menakutkan, dipenuhi kata makian.

"TIDAK BERGUNA." Ia mengumpat marah, meninju anak buah di depannya.

"Ampun Tuan, pangeran kedua itu sungguh kuat. Para pembunuh itu tidak sanggup mengalahkannya." Pria berpakaian hitam yang tadi dipukul kini menunduk takut.

"Bodoh, lemah. Sia-sia saja aku menggunakan jasa mereka, sampah." Jawaban pria tadi tidak dapat menenangkan amarah pria itu, dia semakin menyumpah serapahi kegagalan para pembunuh itu.

Hilang sudah kesempatan emasnya untuk membunuh Ethan, setelah ini kewaspadaan pria itu akan semakin kuat.

Pria yang di depan itu hanya diam menunduk dalam, menunggu amarah tuannya reda.

"Pergilah, pikirkan lagi rencana yang lebih baik, aku tidak ingin melihat kegagalan lagi." Pria yang sudah lumayan tenang itu berkata dengan dingin sambil mengibaskan tangannya untuk mengusir anak buahnya.

"Kau bisa pergi kali ini, tapi jangan harap ada kesempatan lain." Batinnya penuh amarah.

Ia kemudian berbalik dan melompat naik ke kuda putihnya, berniat kembali ke perbatasan.

Seperginya para peserta perburuan, suasana di kawasan para perempuan terasa hangat dan nyaman.

Raja membahas beberapa hal dengan pengawalnya. Sang ratu pun duduk dengan tenang sambil memperhatikan sekitar.

"Ibunda Ratu." Suara lembut Emely terdengar.

Ratu menoleh ke arah menantunya dan tersenyum penuh arti. Wanita itu menganggukkan kepala mempersilahkan Emely untuk melanjutkan.

"Baru-baru ini saya belajar menyeduh teh sederhana. Putri ini ingin bertanya apakah Ibunda Ratu bersedia untuk mencicipi teh buatan saya?"

Emely tersenyum lembut dan penuh harap, siapapun yang melihat mungkin tidak sanggup untuk menolaknya.

"Benarkah, bagus sekali. Merasa terhormat dapat mencicipi teh yang diseduh oleh putri mahkota." Ratu menanggapi.

"Putri belajar menyeduh teh? Hebat sekali, anda memang gadis yang sempurna dan penuh bakat." Dyana bertanya dengan kaget dan memuji.

"Benar. Kerajaan kita sangat diberkati memiliki putri mahkota yang sangat berbakat seperti anda, sangat serasi dengan pangeran mahkota." Seorang Putri Baron memuji.

"Ngomong-ngomong, dimana anda belajar menyeduh teh ini, putri? Kami tidak pernah tahu anda bisa menyeduh teh sebelumnya." Isabella menimpali.

"Tolong jangan berlebihan, aku tidak sehebat itu. Baru-baru ini ada kelas khusus untuk menyeduh teh dan bersosialisasi di istana. Jadi aku sedikit belajar menyeduh teh dari sana." Emely berkata dengan rendah hati sambil ekor matanya melirik Evelyn yang bahkan tampak tidak tertarik.

"Tapi tetap saja Putri, anda luar biasa. Baru sebentar belajar sudah menguasai," puji seorang wanita dari bangsawan Viscount.

"Kalau anda belajar di istana, itu berarti putri kedua juga belajar. Bisakah dia juga memperlihatkan keahliannya pada kami?" Melany bertanya dengan nada penasaran yang dibuat-buat. Emely tersenyum, inilah yang dia inginkan.

"Aku tidak pernah tahu bahwa Putri kedua juga telah belajar menyeduh teh." Ratu menangkap maksud itu dengan baik. Ia menatap Evelyn, menyebabkan seluruh atensi mengarah padanya.

"Putri, apakah anda bersedia memperlihatkan keahlian anda dalam menyeduh teh?" Dyana bertanya dengan ramah tanpa menyembunyikan kilatan mengejek dimatanya.

Evelyn melirik sebentar ke arah Emely, matanya memicing dingin, gadis itu sengaja mencari urusan dengannya.

Tidak mungkin Emely tidak mengingat fakta bahwa dia baru datang ke istana beberapa hari yang lalu. Jadi tidak mungkin dia sempat mengambil kelas menyeduh teh atau semacamnya.

Tapi Emely dan ratu juga tidak mengatakan apa-apa atau menghentikan provokasi mereka. Seakan menunggu momen dimana ia mempermalukan diri sendiri.

Tepat sebelum Evelyn menjawab, Reina yang duduk bersamanya segera berdiri dan berkata dengan hormat, "Ampun yang mulia Ratu, saat ini putri kedua sedang tidak dalam kondisi untuk bisa menyeduh teh. Beliau sedang sibuk membuat beberapa hal kecil dengan saya."

Memang benar mereka membuat beberapa hal, gadis itu sebelumnya membawa manik-manik dan benang untuk membuat sebuah gelang.

Itu atas paksaan ibunya, Duchess Reinhard ingin Reina memperlihatkan martabatnya sebagai putri bangsawan.

Jadi wanita itu menyiapkan bahan-bahan khusus menenun dan merakit gelang cantik. Kalau tidak, bisa-bisa gadis itu ikut berburu karena bosan.

"Apa yang sedang putri kedua buat? apakah itu cukup penting daripada memperlihatkan keahliannya kepada ratu?" Melany sekarang lanjut menimpali.

More Chapters