Tatapan Ratu yang penuh arti seakan menusuk jiwanya, sebuah undangan yang terasa lebih seperti tantangan.
Evelyn membalas tatapan itu dengan keanggunan yang sama, lalu paham sesuatu. Ia berdiri anggun, memasang senyum sopan.
"Hormat yang mulia, nama saya Evelyn Gregory, putri dari Duke Gregory di wilayah utara," ucap Evelyn yang langsung disambut kekaguman dan antusias orang-orang akan keanggunan dan kecantikannya.
Ratu Feliza membalas tatapan Evelyn dalam. "Ternyata dari bangsawan Gregory, pantas saja anda begitu anggun dan terlihat mewah. Dan bolehkah kami melihat bakat anda? dan bakat apa yang bisa Nona Gregory tampilkan, apakah anda juga akan menari seperti Nona Lovell?"
Entahlah tapi Evelyn merasa ada sedikit sarkasme di dalam kata-kata Ratu. Tidak mungkin Ratu tidak tahu dengan rumor yang menyebutkan bahwa dia tidak berguna bukan.
Tampaknya Ratu sengaja melakukan itu untuk mempermalukannya dan menunjukkan bahwa Emely lah yang lebih unggul.
Seingatnya, dulu dirinya sempat dimasukkan dalam kandidat kuat calon putri mahkota. Tapi hal itu gagal usai kematian orang tuanya dulu.
"Hormat yang mulia, gaun saya sekarang tidak cukup nyaman untuk menari. Karena itu, saya akan memainkan musik klasik dengan harpa saja," ucap Evelyn. Untungnya gaunnya sekarang memang panjang, jadi bisa digunakan sebagai alasan untuk menghindar. Sungguh, Evelyn tidak suka menari.
Harpa merupakan alat musik yang dimainkan dengan dipetik, alat itulah yang lebih familiar baginya disini. Dia pernah memainkan alat musik itu dulu.
"Baiklah kalau begitu, kau bisa menampilkan alat musik saja," ucap Ratu Feliza memaklumi.
Paman dan bibinya di kejauhan melirik Evelyn dengan gugup, mereka tidak pernah tahu Evelyn bisa memainkan alat musik jadi mereka takut Evelyn hanya akan mempermalukan dirinya sendiri.
Keduanya bingin mencegah namun menolak perintah ratu sama saja dengan melanggar ucapannya. Sedangkan Reina, gadis itu antusias dan mengacungkan jempol seakan bangga dengan Evelyn bahkan sebelum ia tahu bakat teman dadakannya itu.
Evelyn melangkah pelan, gaun biru mudanya melayang anggun mengikuti setiap gerakannya. Di sisi lain, beberapa gadis muda menutup mulut dengan kagum, sementara sisanya terkekeh geli menantikan kegagalan gadis yang selama ini dicap 'tak berguna' itu.
Evelyn mengangkat gaunnya sedikit, naik ke panggung rendah yang telah disiapkan dan mulai menyesuaikan.
Tak lama, suara musik terdengar merdu dan indah. Evelyn pertama memainkannya dengan suasana hati yang gembira dan bangga, terdengar seperti kicauan burung yang merdu.
Suara tempo cepat yang keluar membawa aura kesombongan dan harga diri seorang bangsawan dengan lincah.
Tidak lama, alunan itu melambat. Nada-nada berubah teduh, hangat seperti belaian angin di sore hari yang menenangkan.
Evelyn memainkannya dengan suasana hati yang tenang, memikirkan disaat dia bersama ayahnya, bersama ibunya dan keluarganya di sana. Jemari lentiknya bergerak lembut, seakan ingin mengabadikan ketenangan yang tak pernah bisa ia genggam lagi.
Kemudian suara musik yang tadinya bertempo lambat dan halus kini berubah cepat secara tiba-tiba menuju klimaks, memberikan kesan bahwa ketenangan tadi hanyalah imajinasi dan mimpi.
Alunan itu menggema, seperti derap kaki ribuan kuda perang menghantam bumi. Aura ketenangan itu runtuh, berganti tragedi yang menegangkan.
Memberikan suasana tragis dan melankonis, menyebabkan banyak wanita bangsawan dalam suasana hati yang sedih dan beberapa menangis mengingat alur hidup mereka masing-masing.
Bahkan beberapa pria bangsawan menundukkan kepala, seakan tidak ingin emosi mereka terlihat.
Evelyn memainkan nada yang terakhir itu dengan membayangkan bagaimana dia berjuang sendiri di dunia aslinya. Bagaimana kerasnya memenuhi standar masyarakat dan ibunya.
Bagaimana perasaannya ketika dia melihat ayahnya berbahagia dan tertawa dengan adiknya yang lain.
Bagaimana ibunya terpaksa menjadi wanita tanpa hati agar Evelyn hanya akan melihat dan mencontoh ibunya yang kuat dan hebat.
Bagaimana ketika ibunya meninggal di hadapannya, menitipkan semua beban serta tanggung jawab kepadanya.
Bagaimana perasaannya saat melihat bahwa salah satu orang paling berjasa dalam hidupnya berkhianat dan memilih meninggalkannya. Dan terakhir, bagaimana dengan hidup dan nasibnya di dunia asing ini. Bahkan Evelyn pun hampir meneteskan air mata.
Sampai akhirnya senar terakhir ditarik kuat, meninggalkan gema samar di aula itu.
Hening.
Aula megah itu seakan terikat oleh senar yang baru saja berhenti bergetar. Lalu, dari sudut ruangan, seseorang mulai bertepuk tangan disusul oleh yang lain, hingga seluruh aula bergemuruh dengan tepuk tangan panjang.
Semua orang mengapresiasi dan memuji bakat Evelyn. Dalam hati mengutuk siapapun yang memulai rumor tak masuk akal sebelumnya.
Justin menatap bangga, menghela napas lega. Sementara Nathalie berkaca-kaca, terharu melihat Evelyn berhasil menepis rumor buruk yang selalu menghantuinya.
Reina antusias bertepuk tangan paling kencang, dia seakan bangga dengan temannya yang bahkan belum sehari dia temui itu.
Di singgasana, Raja dan Ratu serta pangeran juga bertepuk tangan.
Raja berdiri dan berkata, "luar biasa, nona Evelyn memang sangat berbakat, saya belum pernah mendengar musik yang seceria dan sesedih yang nona bawakan. Tampaknya ketika anda memegang alat musik itu, anda juga memegang kendali akan suara dan suasana hati semua orang."
"Sangat indah, saya sungguh menikmatinya, itu membuat saya tersenyum di awal dalam suasana hati yang baik kemudian berubah menjadi ingin menangis ketika lagu mencapai klimaks," ucap Ratu Feliza menimpali.
"Aku senang akan pertunjukan hebat kalian di hari ulang tahunku ini. Karena nona Evelyn dan nona Emely telah menunjukkan bakatnya yang luar biasa itu, kalian akan kuberikan masing-masing satu set perhiasan turun temurun kerajaan Salaryn," ucap Raja Philip.
Semua orang terkejut dan tidak menyangka akan hadiah itu, tampaknya Raja sedang dalam suasana hati yang baik hari ini sampai dengan mudahnya memberikan hadiah berharga seperti itu.
Beberapa pelayan istana bergegas mengambilkan dua set perhiasan dengan kotak berwarna biru dan putih.
Evelyn diberi perhiasan dengan dominan warna biru sedangkan Emely diberi perhiasan putih. Keduanya sesuai dengan citra para pemiliknya, anggun seperti air yang tenang dan suci seperi peri.
Keduanya menerima hadiah itu dengan senyum tanda terima kasih. Namun di balik senyumnya, Emely memandang Evelyn dengan tatapan menilai, seolah mengidentifikasi saingan yang kuat.
Pangeran Mahkota juga bertepuk tangan formal. Ia mengenali Nona Gregory sebagai gadis yang pernah ditolongnya beberapa waktu lalu.
Sementara pangeran Louis, dia menyeringai melihat Evelyn, entah apa yang ada di pikirannya.
Pangeran Ethan juga memperhatikan, tidak ada yang tahu bahwa dari sekian banyak manusia di aula. Ia hanya bersedia menatap Raja... dan Evelyn.
Ya, dia mengenali gadis itu. Gadis yang sempat melukainya dan akhirnya menolongnya. Tahi lalat bawah mata dan pupil keemasan Evelyn terlihat mencolok dalam pandangannya.
Dan masalah baru bagi Evelyn, dia secara tidak sengaja menarik perhatian para pemeran inti novel.