Bab 1: Tanpa Jejak
Jam menunjukkan pukul 06.17 pagi ketika Arvan menginjakkan kakinya di pinggiran Desa Sindura, sebuah desa kecil yang terletak di kaki Pegunungan Siluwangi. Sebagai geolog muda yang baru dua tahun bekerja di Lembaga Penelitian Alam Nusantara, ia datang karena laporan warga yang terdengar mustahil: "Hutan Blambangan menghilang dalam semalam."
Tidak terbakar. Tidak ditebang. Tidak banjir.
Menghilang. Secara harfiah.
Dengan peta di tangan dan ransel penuh peralatan, Arvan berjalan kaki menuju lokasi. Namun semakin dekat ia melangkah, semakin aneh suasana terasa.
Tak ada suara burung. Tak ada gemerisik dedaunan.Hanya kesunyian… dan rasa tidak wajar yang menggantung di udara.
Setibanya di lokasi, Arvan tertegun.
Di hadapannya terbentang tanah kosong sejauh mata memandang. Tempat yang semestinya dipenuhi pohon beringin, pinus, dan rotan liar—kini hanyalah lahan kosong berwarna kelabu kecokelatan. Permukaan tanahnya retak-retak, seolah pernah terbakar, tapi tanpa jejak api.
Yang lebih aneh lagi, akar-akar pohon masih ada, menjulur keluar dari tanah… tetapi tanpa batang di atasnya. Seolah pohon-pohon itu… disedot ke atas dan lenyap begitu saja.
"Ini bukan longsor... bukan gempa... bukan aktivitas vulkanik," gumam Arvan sambil memeriksa tanah dengan alat pendeteksi suhu.
Tiba-tiba, alat itu berbunyi bip... bip... bip...Angka di layar naik drastis—suhu tanah di titik itu lebih tinggi dari sekitarnya.
Ia menggali perlahan, dan menemukan batu berbentuk spiral yang mengeluarkan cahaya samar kehijauan. Di permukaannya, ada simbol kuno yang tidak ia kenal.
Saat jemarinya menyentuh batu itu, angin tiba-tiba bertiup kencang. Daun-daun dari kejauhan beterbangan, dan suara bisikan menggema di telinganya…
"Tidak seharusnya kamu ada di sini."
Arvan terhuyung, menoleh ke segala arah. Tapi tak ada siapa pun.
Ia mundur beberapa langkah… dan saat itulah ia sadar:
Bayangannya sendiri menghilang dari tanah.
Arvan menatap kakinya. Tubuhnya masih ada. Tapi tidak ada bayangan.Langit tetap cerah, matahari tetap bersinar.
Tapi tubuhnya tak lagi meninggalkan jejak cahaya.
Panik mulai merayapi pikirannya. Ia menyimpan batu spiral itu ke dalam tas dan mundur pelan.
Namun sebelum ia sempat meninggalkan tempat itu, suara aneh terdengar lagi—bukan bisikan, tapi seperti… jeritan dari balik dimensi.
Seketika, tanah di depan Arvan membelah… dan dari celah retakan itu, asap kehijauan menyembur, membentuk siluet raksasa berkaki empat, seperti rusa tapi tanpa wajah.
Dan suara yang sama, kini terdengar lebih jelas:
"Batas telah dilanggar. Hutan akan menuntut kembali haknya."