"Sudah waktunya," gumam gadis itu lirih.
Evelyn duduk melamun di dalam pesawat sambil mengelus Aru-kucing putihnya, dia sibuk memandangi pemandangan di luar jendela.
Di sela pemandangan biru laut di luar, samar-samar ia melihat hamparan hijau sebagai tanda bahwa mungkin pesawat sebentar lagi akan berada di atas daratan.
Namun, di tengah lamunannya, dia dikejutkan dengan suara keributan dari dalam pesawat itu. Awalnya hanya terdengar bisik-bisik, gumaman gelisah, tetapi dalam hitungan detik berubah menjadi hiruk pikuk kekacauan.
Suara orang bergumam panik, para kru pesawat sibuk menenangkan dan memberi instruksi kepada penumpang untuk mengenakan semua alat keselamatan yang telah disediakan.
Lampu kabin berkelip, suara alarm peringatan meraung keras, dan getaran mulai terasa di bawah kakinya. Evelyn merasakan sabuk pengaman di pinggangnya seolah menjerat lebih kuat.
Beberapa penumpang mulai berteriak histeris. Tangisan anak-anak terdengar nyaring, memecah keheningan yang tadi begitu menenangkan. Aroma tajam plastik terbakar samar-samar tercium, menambah kekalutan suasana dalam pesawat tersebut.
"Lakukan sesuatu, cepat!" Sebuah suara mendesak.
Seorang pria paruh baya di seberang kursi memukul-mukul sandaran di depannya, berusaha menahan rasa takut yang menguasai dirinya.
Melihat situasi tersebut, Evelyn bisa membuat tebakan terburuk bahwa pesawat yang sedang ditumpanginya tidak berjalan dengan baik.
Sementara yang lainnya berdoa sambil menangis memeluk anggota keluarga masing-masing. Mereka bergumam lirih dan terisak tanpa kata. Evelyn menatap sekelilingnya dengan mata melebar, rasa panik perlahan merayap ke dadanya.
"Apa kau juga takut, Aru?" ucap Evelyn pelan pada kucing putih di pangkuannya, hatinya juga berubah panik dan cemas.
Aru membalas dengan mengeong lirih, tubuh mungilnya bergetar dalam dekapan Evelyn. Tangannya otomatis mengeratkan pelukan, seolah hanya dengan begitu ia bisa melindungi makhluk kecil itu.
Pesawat bergetar semakin hebat. Bagasi di atas kepala terbuka sendiri, koper dan tas jatuh menimpa beberapa penumpang. Jeritan kembali terdengar, kru pesawat mencoba menenangkan dengan suara parau, tetapi suaranya kalah dengan teriakan dan tangisan di kabin.
Jantung Evelyn berdegup kencang, napasnya tercekat. Matanya menatap jendela, di luar sana langit tampak begitu dekat. Ia juga bisa merasakan tubuhnya berguncang ke kiri dan kanan, seakan pesawat tidak lagi terkendali.
Lampu kabin mati mendadak, meninggalkan hanya cahaya darurat merah yang berkelip membuat wajah-wajah ketakutan di sekitarnya terlihat semakin pucat.
Suara mesin meraung lebih keras, lalu terdengar bunyi dentuman seperti sesuatu yang patah dan pecah. Evelyn menggigit bibirnya hingga nyaris berdarah, menahan rasa takut yang menghantam dirinya dari segala arah.
Sambil memeluk erat kucing putihnya, ia berdoa dalam hati bahwa mereka setidaknya akan selamat, walaupun dia tahu itu mustahil.
Namun, tepat ketika harapan terakhirnya nyaris sirna, dunia di sekitarnya kabur. Pandangan Evelyn buram, lalu perlahan memutih. Suara jeritan penumpang terdengar semakin jauh, seolah ditelan lautan putih yang tiba-tiba muncul di hadapannya.
Sesaat kemudian, ia merasakan sakit yang amat menyiksa, seakan seluruh tubuhnya ditarik paksa dari dalam. Nafasnya sesak, kepalanya berdenyut kuat dan di detik berikutnya, semua menjadi gelap.
Evelyn kehilangan kesadarannya.
Gadis itu adalah Evelyn Watson, gadis yang terlahir di keluarga Watson, salah satu keluarga konglomerat di negara X.
Mahasiswi terbaik jurusan bisnis yang saat ini sedang berlibur keluar negeri untuk menjenguk kakek dari pihak ibunya.
Ia pulang untuk melanjutkan pendidikan demi mengambil alih perusahaan yang ingin dikuasai oleh pamannya yang haus kekuasaan. Namun di tengah jalan, sesuatu yang tak terelakkan terjadi.
Evelyn membuka mata perlahan, matanya menyipit untuk menyesuaikan cahaya yang masuk. Jantungnya masih berdegup kencang, membawa sisa kepanikan dan kegaduhan di kabin pesawat tersebut.
Ia selamat...
Begitu pandangannya jelas, matanya menelisik keadaan di sekelilingnya. Hanya ada furnitur kayu tua yang mengkilap, cermin besar berbingkai emas, serta permadani merah pekat yang menyelimuti lantai.
Tidak ada bangkai pesawat, hamparan biru laut ataupun rumah sakit darurat tempatnya seharusnya dirawat. Tidak ada satupun luka atau tanda kecelakaan, bahkan kucingnya-Aru juga tidak terlihat.
Dia dimana...?
Evelyn terdiam sejenak mengamati ruangan yang ditinggalinya, sebuah kamar mewah yang luas dengan nuansa klasik khas eropa.
Langit-langitnya tinggi dengan ukiran-ukiran elegan, tirai beludru menjuntai berat di samping jendela, dan aroma samar kayu manis bercampur minyak wangi memenuhi udara. Tempat ini aneh dan asing, jelas bukan kamarnya ataupun kamar siapapun di mansion.
Sayup-sayup dia mendengar suara langkah kaki mendekat, pintu perlahan dibuka, seolah tidak ingin mengganggu pemiliknya dengan derit pintu yang kuat. Dari sana, terlihatlah seorang gadis berpakaian pelayan datang sambil membawa nampan berisi makanan.
Pelayan itu terkejut melihat majikannya telah sadar dan segera meletakkan nampan ke meja terdekat kemudian mendekat dengan langkah tergesa.
"Astaga, syukurlah nona sudah bangun, apakah masih ada yang sakit, nona?" ucap pelayan itu dengan raut khawatir dan segan.
Everlyn terdiam, dia mengamati wajah pelayan yang belum pernah dilihatnya sebelumnya. Gadis asing ini bukan perawat, bukan pula pelayan mansion dan sejenisnya.
Gadis ini berdiri dengan gestur terlalu sopan, nyaris penuh hormat seolah Evelyn adalah majikan yang telah dilayaninya sejak lama.
Menghadapi keterdiaman Evelyn, pelayan muda itu tersadar akan sikap lancangnya dan kepalanya tertunduk meminta maaf. Diamnya Evelyn berarti majikannya itu tidak suka dengan sikapnya yang lancang dan kurang sopan.
"Maafkan saya atas kelancangan saya nona," ucap pelayan itu takut, tubuhnya bergetar halus.
Evelyn mengerutkan kening melihat sikap pelayan ini yang ketakutan dan lantas berkata, "tolong ambilkan air." Suaranya serak akibat tenggorokan yang kering karena berhari-hari tidak berbicara.
Pelayan itu sontak tersadar dan bergerak cepat, menuangkan air dari kendi kristal ke gelas lalu menyerahkannya dengan dua tangan. Evelyn menerima dan meneguk perlahan, merasakan tenggorokannya segar kembali setelah kering begitu lama.
"Terimakasih," ucap Evelyn lemah.
Pelayan itu terkejut mendengar ucapan terimakasih bernada lembut itu, karena selama dia bekerja, nonanya belum pernah berbicara dengan lembut apalagi mengucapkan terimakasih dan tolong pada siapapun di kediaman ini.
"Dimana yang lain?" ucap Evelyn setelah melihat keterdiaman pelayan itu cukup lama.
"Ah maaf nona, saya akan segera memanggilkan duke dan tabib." Pelayan itu tersadar dan bersiap keluar.
"Duke? Siapa yang kau panggil Duke?" tanya Evelyn semakin menyadari tempat ini tidak benar.
"Maaf tapi apa yang anda maksud, nona? Duke disini tentu saja paman anda," jawab pelayan tersebut bingung, apakah kepala nonanya masih sakit sehingga sulit untuk berpikir?
"Paman? Apa maksud-ugh...." Ucapan Evelyn terpotong karena kepalanya tiba-tiba berdenyut sakit.
"Astaga nona-sebentar, saya akan panggilkan duke dan tabib," ucap pelayan itu kemudian keluar kamar dengan tergesa-gesa, benar saja dugaannya, kepala nonanya masih sakit.
Evelyn terus memegangi kepalanya, telinganya berdenging kencang dan sekelilingnya terasa berputar. Tak lama kemudian, gadis itu jatuh pingsan kembali.