Puncak Naga Tidur menembus lautan awan, ujungnya yang tajam seolah menggores langit biru yang tak bertepi. Gunung itu adalah dewa yang tertidur, dan desa-desa yang menempel di lerengnya adalah anak-anaknya, hidup dari napasnya yang kaya akan Energi Spiritual, atau Qi.
Di salah satu lerengnya yang lebih rendah, di Desa Awan Tersembunyi, Kai Aleron menarik napas dalam-dalam. Udara pagi yang tipis dan kaya akan Qi terasa tajam di paru-parunya, sebuah energi yang bagi orang lain adalah berkah, namun baginya terasa seperti pengingat yang samar akan kekurangannya.
Hari ini adalah hari Upacara Kebangkitan.
Setiap tahun, semua pemuda yang telah mencapai usia enam belas tahun akan diuji di hadapan seluruh desa. Mereka akan meletakkan telapak tangan mereka di atas Batu Roh, sebuah artefak kuno yang akan bersinar dengan intensitas yang sesuai dengan bakat dan potensi Qi mereka. Cahaya itu akan menentukan masa depan mereka: apakah mereka akan menjadi pejuang elit, alkemis terhormat, atau sekadar petani dan pengrajin biasa.
Mungkin hari ini akan berbeda, pikir Kai, sebuah harapan kecil yang rapuh yang selalu ia pelihara setiap pagi. Dia telah berlatih lebih keras dari siapa pun. Saat yang lain tidur, dia bermeditasi. Saat yang lain makan, dia berlatih Teknik Angin Sutra, mencoba merasakan aliran Qi yang nyaris tak ada di dalam meridiannya yang keras kepala.
Suara tawa yang sombong memecah keheningan meditasinya.
"Lihat, si 'pekerja keras' kita," cibir Jian Feng, berjalan mendekat bersama dua temannya. Sebagai cucu dari Tetua Agung dan jenius nomor satu di generasi mereka, Jian tidak pernah melewatkan kesempatan untuk meremehkan Kai. "Berharap kerja keras bisa mengubah takdir, Kai? Batu Roh tidak bisa dibohongi."
Kai tetap diam, matanya terpejam, mencoba mengabaikan mereka.
"Biarkan saja dia," kata salah satu teman Jian. "Setidaknya kita punya hiburan nanti. Aku penasaran apakah batunya akan bersinar atau hanya mengeluarkan asap kali ini."
Mereka tertawa lagi dan berjalan pergi, meninggalkan Kai dalam keheningan yang kini terasa lebih dingin.
"Jangan dengarkan dia, Kai," sebuah suara lembut berkata di belakangnya.
Kai membuka matanya. Lina Sari berdiri di sana, senyum hangat di wajahnya yang cerah. Dia adalah sahabat masa kecil Kai dan, ironisnya, jenius nomor dua di generasi mereka. Bakatnya bersinar terang, tetapi tidak pernah membuatnya sombong.
"Dia hanya gugup," lanjut Lina, duduk di sampingnya. "Dia takut seseorang akan melampaui dia."
Kai tersenyum tipis. "Seseorang itu jelas bukan aku."
"Jangan berkata begitu," Lina menyentuh bahunya dengan lembut. "Aku melihatmu berlatih setiap hari. Tidak ada yang lebih berdedikasi darimu. Aku percaya padamu. Lakukan yang terbaik dan buat mereka semua diam. Buat batunya bersinar dan 'setidaknya' lulus. Itu saja sudah cukup."
Kai mengangguk, senyum tipis di wajahnya menyembunyikan getaran di hatinya. Dia menghargai kebaikan Lina, tetapi di dalam, keraguan itu menggerogoti seperti cacing es.
Batu Roh tidak bisa dibohongi. Dan hari ini, seluruh desa akan melihat sekali lagi... kebenaran tentang dirinya.
Arena upacara adalah alun-alun utama desa, sebuah amfiteater terbuka yang diukir dari batu gunung itu sendiri, dengan Puncak Naga Tidur menjulang di belakangnya seperti seorang saksi bisu. Seluruh penduduk desa telah berkumpul, dari anak-anak yang duduk di tepi dengan mata berbinar hingga para tetua yang mengamati dengan tatapan tajam dan penuh harapan. Di tengah alun-alun, berdiri objek yang menjadi pusat perhatian semua orang: Batu Roh.
Itu adalah sebuah pilar obsidian hitam yang halus, setinggi orang dewasa, permukaannya dingin disentuh dan berdenyut dengan energi kuno yang nyaris tak terlihat.
Tetua Agung Kaelan, seorang pria tua dengan janggut putih panjang dan mata yang seolah telah melihat seribu musim semi, melangkah maju. Keheningan langsung menyelimuti alun-alun.
"Hari ini," suaranya, meskipun tidak keras, terdengar jelas di seluruh penjuru, "kita akan menyaksikan kelahiran generasi baru pejuang dan pelindung Desa Awan Tersembunyi. Nasib tidak bisa diubah, tetapi usaha bisa membentuknya. Majulah, satu per satu, dan tunjukkan pada kami jalan yang telah ditakdirkan untukmu."
Sesuai tradisi, yang paling berbakat maju lebih dulu. Jian Feng melangkah ke depan dengan dagu terangkat, senyum penuh percaya diri di wajahnya. Dia membungkuk singkat pada Tetua Agung, lalu meletakkan telapak tangannya di Batu Roh tanpa ragu.
Seketika, batu itu meledak dalam cahaya hijau giok yang menyilaukan. Pilar cahaya setebal lengan orang dewasa melesat ke langit, begitu terang sehingga beberapa penduduk harus memalingkan muka. Di dalam cahaya itu, seekor naga angin samar-samar terlihat melingkar.
Sorak-sorai dan decak kagum membahana. "Bakat tingkat Naga!" bisik seseorang. "Dia akan melampaui ayahnya!"
Tetua Agung Kaelan mengangguk puas. Jian Feng menarik tangannya, menyeringai penuh kemenangan ke arah kerumunan, matanya sempat bertemu dengan Kai, tatapannya jelas berkata, "Coba kalahkan itu."
Berikutnya, nama Lina Sari dipanggil. Dia maju dengan langkah yang lebih tenang dan anggun. Saat tangannya menyentuh batu itu, pilar cahaya biru safir yang lembut namun stabil memancar, tidak seagresif cahaya Jian, tetapi memancarkan aura ketenangan dan kekuatan yang dalam. Kerumunan kembali bertepuk tangan meriah. Bakatnya jelas luar biasa.
Setelah beberapa pemuda lain maju dengan hasil yang bervariasi—dari cahaya yang lumayan terang hingga yang sekadar berpendar—akhirnya tiba saatnya.
"Kai Aleron."
Seluruh alun-alun menjadi lebih sunyi. Bisikan-bisikan terdengar. Ini adalah momen yang mereka tunggu-tunggu, bukan karena harapan, tetapi karena rasa ingin tahu yang kejam. Kai menelan ludah, mencoba menenangkan jantungnya yang berdebar kencang. Dia merasakan tatapan Lina yang memberinya semangat, dan seringai Jian yang meremehkan.
Dia melangkah maju, setiap langkah terasa berat. Dia berdiri di depan pilar obsidian itu, permukaannya yang hitam seolah mencerminkan keraguan di wajahnya. Dia menarik napas dalam-dalam, mengosongkan pikirannya, dan meletakkan tangannya di atas batu yang dingin itu.
Dia mengerahkan setiap ons tekadnya, mencoba mendorong aliran Qi yang sangat tipis di dalam tubuhnya ke telapak tangannya. Ayolah... ayolah... tunjukkan sesuatu...
Untuk sesaat, tidak terjadi apa-apa.
Kemudian, sebuah cahaya redup, kekuningan, dan berkedip-kedip seperti lilin yang hampir padam, muncul dari dalam batu. Cahaya itu berkedip menyedihkan satu, dua, tiga kali... sebelum akhirnya padam total, meninggalkan keheningan yang lebih menusuk daripada ejekan mana pun.
Tawa kecil mulai terdengar dari kelompok Jian, diikuti oleh desahan kecewa dari seluruh penjuru. Kai menarik tangannya seolah batu itu panas membara, kepalanya tertunduk karena malu.
Tetua Agung Kaelan menatapnya, ekspresinya datar, tetapi matanya menunjukkan kekecewaan yang dalam. Dia berdeham, dan keheningan kembali tercipta.
"Kai Aleron," kata Tetua Agung dengan nada formal. "Hasilnya sama seperti yang kami khawatirkan. Potensimu... sangat terbatas. Desa tidak bisa terus menyia-nyiakan sumber daya yang berharga untuk bakat yang tidak akan pernah mekar."
Setiap kata terasa seperti cambukan bagi Kai.
"Namun," lanjut sang Tetua, "dedikasimu tidak bisa kami abaikan. Oleh karena itu, dewan tetua memberimu satu kesempatan terakhir. Kau punya waktu satu bulan. Dalam satu bulan, tunjukkan pada kami kemajuan yang berarti. Jika tidak, demi kebaikan desa, kau harus pergi dan mencari jalan hidupmu di luar tembok ini."
Ultimatum itu final. Hukuman pengasingan yang tertunda.
Kai tidak berani menatap siapa pun. Dia membungkuk kaku pada Tetua Agung dan berjalan pergi dari alun-alun, merasakan ratusan pasang mata menusuk punggungnya. Bukan tatapan menghina Jian yang paling menyakitkan, bukan pula tawa yang mengejek. Melainkan tatapan kasihan di mata Lina saat dia berbalik untuk melihatnya.
Dia mempercepat langkahnya, meninggalkan alun-alun dan keramaian di belakangnya. Di dalam hatinya yang hancur, sesuatu yang lain mulai terbentuk. Bukan harapan, bukan pula keputusasaan. Melainkan sebuah tekad yang dingin dan keras.
Satu bulan. Dia akan menunjukkan pada mereka semua. Entah bagaimana caranya.
Berita tentang ultimatum Kai menyebar secepat api di padang kering. Dalam semalam, statusnya di desa berubah. Dia bukan lagi hanya si gagal yang menyedihkan; dia kini adalah beban yang memiliki tanggal kedaluwarsa. Penduduk desa yang dulu memberinya tatapan kasihan kini menatapnya dengan campuran jengkel dan penghindaran. Setiap porsi makanan yang dia ambil, setiap sumber daya yang dia gunakan, kini seolah dihitung-hitung.
Dia mencoba berlatih di tempat latihan umum, tetapi tatapan dan bisikan-bisikan itu terlalu berat. Dia bisa merasakan ketidaksabaran mereka. Kemajuan "normal" tidak akan cukup. Dia tidak butuh kemajuan, dia butuh keajaiban.
Dan keajaiban tidak akan ditemukan di dalam tembok desa yang penuh dengan penghakiman.
Dengan tekad bulat, di malam ketiga setelah upacara, Kai menyelinap keluar dari desa. Dia membawa bekal seadanya dan pedang latihannya, lalu melangkah masuk ke tempat yang terlarang bagi murid-murid sepertinya: Hutan Bisikan.
Hutan itu mendapatkan namanya dari suara angin aneh yang melewati pepohonan kuno, menciptakan ilusi bisikan-bisikan samar. Udaranya terasa lebih berat, dan aliran Qi di sini liar dan tidak teratur, membuatnya berbahaya bagi kultivator yang belum stabil. Binatang-binatang buas tingkat rendah berkeliaran bebas, lebih agresif daripada yang ada di dekat desa.
Selama beberapa hari berikutnya, Kai mendorong dirinya hingga ke batas kemanusiaan. Siang hari, dia bertarung melawan serigala hutan dan babi hutan bertaring batu, mengasah gerakannya yang canggung menjadi lebih efisien karena terpaksa. Malam hari, dia tidak tidur. Dia duduk di antara akar-akar pohon raksasa, mencoba bermeditasi di tengah aliran Qi yang kacau, berharap bisa "mencuri" sepercik kekuatan dari kekacauan itu.
Setiap hari, dia semakin kuat secara fisik, tetapi meridiannya tetap sunyi. Qi-nya tidak bertambah. Waktu terus berjalan, dan keputusasaan mulai merayap masuk.
Pada malam ketujuh, saat dia duduk bersandar di sebatang pohon kuno, kelelahan membakari setiap sel di tubuhnya. Langit malam yang cerah di atas kanopi hutan tampak mengejeknya dengan keindahannya yang tak terjangkau. Apakah ini sia-sia? pikirnya getir. Apakah aku hanya menunda hal yang tak terhindarkan?
Saat itulah, salah satu bintang di langit bergerak.
Awalnya hanya sekejap, tetapi kemudian bintang itu melesat, meninggalkan jejak cahaya ungu yang menyala-nyala. Itu tidak jatuh seperti meteor biasa yang melengkung anggun. Bintang ini seolah merobek kain malam, lintasannya tidak menentu, seolah sedang berjuang.
DUAARR!
Sebuah dentuman keras mengguncang hutan, beberapa mil jauhnya dari lokasi Kai. Tanah bergetar, dan burung-burung malam beterbangan dalam kepanikan.
Kai langsung berdiri, jantungnya berdebar kencang. Naluri pertamanya adalah rasa takut—apa pun itu, benda itu sangat kuat. Tapi kemudian, perasaan lain yang lebih kuat mengambil alih: keputusasaan yang melahirkan rasa ingin tahu yang nekat.
Satu bulan. Dia tidak punya waktu untuk takut. Setiap anomali, setiap keanehan, bisa menjadi satu-satunya kesempatannya.
Dengan pedang di tangan, dia mulai berlari menembus kegelapan, menuju lokasi jatuhnya "bintang" itu.
Dia tiba di sebuah area terbuka kecil di hutan. Pemandangannya aneh. Pohon-pohon di sekelilingnya tidak terbakar, tetapi terdorong ke belakang seolah oleh gelombang kejut yang tak terlihat. Udara berderak dengan energi yang asing, tajam, dan membuat bulu kuduknya berdiri. Ini bukan Qi.
Di tengah area itu, ada sebuah kawah kecil yang masih berasap.
Kai mendekat dengan hati-hati, mengintip ke dalam. Di hadapannya, tertanam di tanah yang hangus, ada sesuatu yang tidak seharusnya ada di dunia ini.
Itu bukan batu meteor. Bentuknya seperti jantung manusia, tetapi terbuat dari logam gelap yang tidak memantulkan cahaya. Alur-alur rumit terukir di permukaannya, dan dari celah-celah itu, berdenyut cahaya ungu yang redup dan tidak stabil, senada dengan detak jantung yang lambat dan sekarat.
Itu adalah sebuah jantung mekanis. Sebuah artefak dari dunia lain.
Kai berdiri di tepi kawah, napasnya tertahan. Di hadapannya, tertanam di tanah yang hangus, jantung mekanis itu berdenyut lemah. Setiap denyutan ungu seolah menariknya mendekat, membisikkan janji kekuatan dan keputusasaan dalam satu tarikan napas.
Logikanya, yang diasah oleh ajaran desa yang sederhana, berteriak padanya untuk lari. Benda ini asing. Benda ini salah. Ini adalah sihir iblis, atau sesuatu yang lebih buruk.
Tetapi suara lain, suara yang lahir dari penghinaan di alun-alun dan ultimatum sang tetua, berteriak lebih keras. "Apa lagi yang bisa kau rugikan?"
Rasa takut akan hal yang tidak diketahui bertarung melawan kepastian akan pengasingan. Dan kepastian itu terasa jauh lebih menakutkan. Dengan tangan gemetar, Kai berlutut di tepi kawah. Dia bisa merasakan energi aneh itu di kulitnya, seperti listrik statis sebelum badai petir.
Dia mengulurkan tangannya. Jari-jarinya hanya beberapa senti dari permukaan logam yang dingin itu. Ini adalah kegilaan. Ini adalah bunuh diri.
Ini adalah satu-satunya harapannya.
Dia menyentuhnya.
Permukaan logam itu terasa dingin membekukan, tetapi energi di dalamnya... meledak.
Saat jari-jarinya melakukan kontak, denyutan ungu itu berkobar menjadi cahaya yang membutakan. Jantung mekanis itu seolah mengenalinya, seolah telah menunggu kontak dari makhluk hidup. Energi yang tersimpan di dalamnya—kekuatan dari dunia lain, dari perang antar bintang, dari teknologi yang tak terbayangkan—melonjak keluar, bukan melalui meridian Qi-nya, tetapi langsung ke dalam pembuluh darahnya.
Rasa sakit yang tak terlukiskan merobek tubuh Kai. Ini bukan aliran hangat Qi yang biasa dia rasakan dalam meditasi. Ini adalah banjir energi mentah yang merobek, membakar setiap sel, dan terasa seolah akan menghancurkan tulangnya menjadi debu. Dia menjerit, tetapi tidak ada suara yang keluar.
Bagi kultivator normal mana pun, ini adalah akhir. Energi asing yang begitu kuat akan berbenturan dengan Qi internal mereka, menyebabkan tubuh mereka meledak dari dalam.
Tetapi Kai tidak normal.
Di dalam lautan rasa sakit itu, sesuatu yang unik di dalam dirinya—Jiwa Nol-nya, kanvas kosong yang membuatnya menjadi "gagal" di mata semua orang—bereaksi. Jiwanya tidak melawan. Jiwanya tidak menolak. Jiwanya yang kosong hanya beradaptasi. Alih-alih mencoba menyatukan energi asing itu dengan Qi-nya yang lemah, jiwanya secara naluriah melakukan hal lain: ia mulai membangun sistem sirkulasi baru di dalam tubuh Kai. Sebuah jaringan jalur energi sekunder, sepenuhnya terpisah dari meridian Qi-nya, yang dirancang khusus untuk menampung kekuatan baru yang mustahil ini.
Tubuh Kai kejang hebat di tanah. Cahaya ungu dari artefak itu semakin terang saat energinya terkuras, ditransfer seluruhnya ke dalam wadah barunya. Tepat saat Kai merasa kesadarannya akan hancur, aliran energi itu berhenti.
Jantung mekanis itu, yang kini energinya telah habis, mengeluarkan satu denyutan terakhir yang lemah sebelum retak dan hancur menjadi debu logam yang kusam.
Kegelapan menelan kesadaran Kai.
...
Dia terbangun oleh cahaya fajar yang menembus kanopi hutan. Seluruh tubuhnya sakit, seolah-olah dia telah dihantam oleh seekor golem batu. Dia duduk dengan susah payah, pikirannya kabur. Dia melihat debu logam di tanah dan ingatan akan rasa sakit yang luar biasa itu kembali.
Dia memeriksa dirinya sendiri. Anehnya, tidak ada luka. Meridian Qi-nya terasa sama seperti sebelumnya, lemah dan sunyi. Untuk sesaat, dia berpikir itu semua hanya mimpi buruk.
Tapi kemudian, dia merasakannya. Di bawah aliran Qi-nya yang nyaris tak ada, ada sesuatu yang lain. Sebuah kekuatan baru yang berdenyut, sunyi tetapi penuh potensi, mengalir melalui jalur-jalur tak terlihat yang kini ada di dalam dirinya.
Dia menatap sebutir kerikil di dekat tangannya. Dia memfokuskan pikirannya, bukan pada Qi, tetapi pada perasaan baru ini. Dia berkonsentrasi, membayangkan kerikil itu terangkat.
Kerikil itu bergetar, lalu perlahan terangkat dari tanah, melayang satu inci di udara.
Mata Kai terbelalak. Jantungnya berhenti berdetak sesaat, lalu berdebar kencang dengan gelombang euforia yang belum pernah ia rasakan seumur hidupnya. Dia berhasil. Dia mendapatkan keajaibannya.
Dia menurunkan kerikil itu, tangannya gemetar karena kegembiraan. Dia tahu dia tidak bisa menunjukkan kekuatan ini pada siapa pun. Mereka tidak akan mengerti. Mereka akan menganggapnya monster.
Tidak. Kekuatan ini akan menjadi rahasia terbesarnya. Dia tidak akan menggunakannya untuk menyerang. Dia akan menggunakannya secara halus, dari dalam. Dia akan menggunakannya... untuk memandu dan memaksa aliran Qi-nya yang lemah agar bergerak, untuk menipu Batu Roh, untuk menipu semua orang.
Keputusasaan yang tadinya menyelimuti hatinya telah lenyap, digantikan oleh kepercayaan diri yang dingin dan membara. Dia berdiri, rasa sakit di tubuhnya tidak lagi terasa. Dia menatap ke arah Desa Awan Tersembunyi.
Kai tidak kembali ke desa malam itu, atau keesokan harinya. Dia tahu dia membutuhkan lebih dari sekadar memiliki kekuatan baru; dia membutuhkan pemahaman dan kendali. Selama tiga minggu berikutnya, Hutan Bisikan menjadi rumah sekaligus tempat latihannya.
Dia menemukan sebuah air terjun kecil yang tersembunyi di balik dinding tanaman merambat, tempat yang sempurna untuk berlatih tanpa gangguan. Setiap hari, dia bermeditasi untuk merasakan kekuatan baru di dalam dirinya—energi Aetherium yang dingin dan tajam, sangat berbeda dari Qi yang hangat dan mengalir. Dia menyebutnya dalam hati, "Kekuatan Hampa," karena rasanya berasal dari ketiadaan.
Dia segera menyadari bahwa mencoba menembakkannya sebagai proyektil atau menggunakannya secara terbuka akan terlalu mencolok dan berbahaya. Rencananya jauh lebih cerdik.
Dia duduk bersila, memejamkan mata, dan mulai mempraktikkan Teknik Angin Sutra. Seperti biasa, dia bisa merasakan gumpalan Qi-nya yang kecil dan keras kepala, nyaris tidak mau bergerak melewati meridiannya yang sempit. Tapi sekarang, dia memiliki alat baru.
Dengan konsentrasi penuh, Kai memanggil seutas Kekuatan Hampa yang sangat tipis, setipis jarum. Dia tidak melepaskannya keluar, tetapi menggunakannya di dalam tubuhnya. Dia dengan hati-hati memposisikan kekuatan kinetik tak terlihat itu di belakang gumpalan Qi-nya dan... mendorong.
Gumpalan Qi itu, yang biasanya bergerak seperti siput, tersentak maju di sepanjang meridiannya dengan kecepatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Itu masih jumlah Qi yang sama, tetapi kini bergerak dengan kekuatan dan kecepatan yang dipaksakan dari belakang.
Dia membuka matanya dan mengulurkan telapak tangannya. Dia melakukan gerakan pertama dari Teknik Angin Sutra. Biasanya, yang keluar hanyalah hembusan angin lemah yang nyaris tidak bisa meniup sehelai daun. Kali ini, saat Qi yang didorong itu keluar, udara di depan telapak tangannya berdesir dan membentuk sebuah bilah angin kecil yang tajam, yang melesat dan menancap sedalam satu inci di batang pohon di seberangnya.
Mata Kai terbelalak. Dia menatap tangannya, lalu ke pohon. Dia berhasil. Ini bukan keajaiban. Ini adalah rekayasa.
Hari-hari berlalu menjadi minggu. Kai menjadi semakin mahir dalam menggunakan metode rahasianya. Bilah anginnya menjadi lebih besar, lebih cepat, lebih terkendali. Dia masih memiliki Qi seorang pemula, tetapi efisiensi dan output kekuatannya kini setara dengan murid-murid terbaik.
Ketika sisa waktu tinggal tiga hari, dia akhirnya kembali ke desa.
Penampilannya mengejutkan banyak orang. Pakaiannya sedikit compang-camping, tetapi matanya tidak lagi menunjukkan keraguan atau rasa malu. Ada ketenangan yang dingin dan percaya diri dalam setiap langkahnya. Lina adalah orang pertama yang menemuinya, matanya penuh dengan kelegaan dan keheranan.
"Kai! Kau kembali! Apa yang terjadi?"
"Aku berlatih," jawab Kai singkat, dengan senyum tipis.
Tentu saja, Jian Feng juga memperhatikan perubahan itu. Rasa irinya terusik oleh kepercayaan diri Kai yang baru. Di hari terakhir sebelum batas waktu satu bulan habis, saat para murid berkumpul untuk latihan pagi, Jian dengan sengaja menghalangi jalan Kai.
"Jadi, si buangan sudah kembali," kata Jian dengan nada mengejek, cukup keras untuk didengar semua orang. "Apa kau siap untuk mengemasi barang-barangmu? Atau kau akan menunjukkan kepada kami 'kemajuan berarti' yang kau capai dengan bersembunyi di hutan seperti pengecut?"
Para murid lain berhenti untuk menonton. Ini adalah konfrontasi yang mereka tunggu-tunggu.
Kai menatap Jian dengan tenang. "Jika kau ingin melihatnya, tantang saja aku dalam sebuah spar, Jian."
Keberanian Kai yang tiba-tiba membuat Jian terkejut sejenak, sebelum seringai arogannya kembali. Ini persis seperti yang dia inginkan. "Dengan senang hati," katanya. "Aku akan memberimu pelajaran perpisahan."
Berita menyebar dengan cepat. Dalam beberapa menit, setengah dari desa, termasuk beberapa tetua, telah berkumpul di sekitar arena latihan. Ini bukan lagi sekadar latihan. Ini adalah pengadilan tidak resmi bagi Kai.
Di seberang arena, Jian Feng mengambil posisi bertarungnya yang sempurna, Qi hijau giok yang kuat sudah berputar-putar di sekitar telapak tangannya. Dia siap mempermalukan Kai untuk terakhir kalinya.
Kai berdiri dengan tenang, mengambil napas dalam-dalam. Dia bisa merasakan tatapan semua orang—penuh keraguan, cemoohan, dan sedikit harapan dari Lina.
Di hadapan seluruh desa, di tempat yang sama di mana dia dipermalukan, Kai Aleron akan memberikan jawabannya.
Tetua Agung Kaelan melangkah ke tengah arena, matanya yang tajam menatap kedua pemuda itu. "Aturan seperti biasa," katanya. "Pertarungan berakhir jika salah satu menyerah, tidak bisa melanjutkan, atau keluar dari arena. Tidak boleh ada cedera fatal. Mulai!"
Di sisi arena, Lina Sari menahan napas, jemarinya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Dia melihat ketenangan di wajah Kai, tetapi itu justru membuatnya lebih khawatir. Apa yang kau rencanakan, Kai?
Jian Feng tidak membuang waktu. Dengan teriakan perang, dia melesat maju. Qi hijau giok meledak dari tubuhnya saat dia melancarkan serangan pembuka, "Tarian Angin Kacau". Beberapa bilah angin yang kuat namun tidak beraturan melesat ke arah Kai dari berbagai sudut, sebuah serangan yang dirancang untuk mengintimidasi dan mengakhiri pertarungan dengan cepat.
Namun, Kai tidak mundur. Dia juga tidak mencoba memblokir. Tubuhnya bergerak dengan keanggunan yang tidak pernah ia miliki sebelumnya. Dia melangkah ke samping, memutar tubuhnya sedikit, menunduk, membiarkan setiap bilah angin mematikan itu melewatinya hanya dengan selisih beberapa inci. Gerakannya begitu efisien dan tenang, seolah-olah dia bisa melihat lintasan setiap serangan sebelum diluncurkan.
Kerumunan yang tadinya mencemooh kini terdiam, terkejut. Jian, yang serangannya meleset total, berhenti dengan ekspresi tidak percaya.
"Hanya bisa menghindar, Kai?" cibirnya, mencoba menutupi keterkejutannya. Tatapannya melirik sinis ke arah Lina. "Apa ini yang kau tunjukkan padanya? Berlari seperti tikus? Pantas saja dia hanya bisa mengasihanimu!"
Kata-kata itu menyengat Kai. Tatapannya bertemu dengan Lina sejenak, melihat kekhawatiran yang tulus di matanya. Tekadnya mengeras. Bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk menghapus tatapan kasihan itu dari mata sahabatnya selamanya.
"Baiklah," kata Kai, suaranya tenang. "Giliranku."
Kai mengambil posisi dasar Teknik Angin Sutra. Dia mengulurkan tangannya, dan seperti di hutan, dia menggunakan seutas Kekuatan Hampa untuk mendorong Qi-nya yang terbatas. Sebuah bilah angin tunggal terbentuk—kecil, nyaris tak terlihat, dan sunyi.
Jian tertawa. "Itu saja seranganmu?"
Dia bersiap untuk menepisnya dengan mudah, tetapi bilah angin itu melesat dengan kecepatan yang mustahil. Sebelum Jian sempat bereaksi, bilah itu melewatinya, meninggalkan goresan tipis di pipinya dan memotong sehelai rambutnya.
Kejutan total melanda arena. Jian menyentuh pipinya, merasakan setetes darah. Matanya melebar karena marah dan malu.
"Kau...!"
Pertarungan pun menjadi serius. Jian melepaskan serangan-serangan yang lebih kuat, masing-masing lebih megah dari sebelumnya. Namun, hasilnya tetap sama. Kai, dengan gerakannya yang minimalis dan serangannya yang sangat efisien, menghindari atau menangkis semuanya dengan sempurna. Dia seperti seekor capung yang menari di tengah badai, tak tersentuh. Penonton kini sadar, mereka tidak sedang menyaksikan keberuntungan. Mereka sedang menyaksikan tingkat kendali yang tidak masuk akal.
Frustrasi dan kehabisan napas, Jian melakukan kesalahan terbesar. Dia mempertaruhkan segalanya.
"Habislah kau! TORNADO ANGIN GIOK!"
Dia mengumpulkan hampir semua sisa Qi-nya ke dalam satu titik, menciptakan pusaran angin hijau yang ganas di sekelilingnya—sebuah teknik tingkat lanjut yang seharusnya belum bisa dia kuasai. Pusaran angin itu melesat ke arah Kai, merobek tanah arena saat bergerak.
Lina menjerit tertahan. Bahkan Tetua Agung pun tampak tegang, siap untuk turun tangan.
Kai berdiri diam menghadapi badai yang mendekat. Dia tidak panik. Di matanya, tornado yang kacau itu hanyalah sekumpulan aliran energi. Dan setiap aliran memiliki titik lemah. Dia mengangkat satu jari, memfokuskan semua sisa Qi-nya yang telah dia hemat dengan cermat ke ujung jarinya, didorong oleh Kekuatan Hampa-nya.
Sebuah "Jarum Angin" yang sangat padat dan nyaris tak terlihat terbentuk.
Tepat saat tornado itu akan menelannya, dia menembakkannya.
Jarum itu melesat lurus, bukan ke arah kekuatan tornado, tetapi ke satu titik anomali di dalam pusarannya. Saat jarum itu mengenai titik lemah tersebut, seluruh struktur tornado yang tidak stabil itu runtuh seketika.
Ledakan Qi yang tak terkendali menghantam Jian dengan kekuatan penuh. Dia terlempar ke belakang dan mendarat dengan keras di ujung arena, tak sadarkan diri.
Keheningan total.
Seluruh desa menatap pemandangan itu dengan mulut ternganga. Si gagal, si buangan, telah mengalahkan jenius nomor satu mereka.
Kai sendiri terengah-engah, tubuhnya gemetar karena kelelahan. Qi dan Kekuatan Hampa-nya benar-benar terkuras. Dia terhuyung, lututnya lemas.
Sebelum ada yang sempat bereaksi, sesosok bayangan biru melesat dari sisi arena. Lina tidak lagi peduli dengan tatapan orang lain. Dia berlari dan menangkap lengan Kai sebelum dia jatuh.
"Kau berhasil, Kai! Aku tahu kau bisa!" serunya, suaranya bergetar karena lega dan gembira.
Kai menatapnya. Di mata Lina, tidak ada lagi jejak kasihan. Yang ada hanyalah kekaguman, kebanggaan, dan sesuatu yang lebih dalam dan hangat. Bagi Kai, tatapan itu adalah kemenangan yang jauh lebih berarti daripada mengalahkan Jian.
Dia berhasil. Dia telah memberikan jawabannya. Dan untuk pertama kalinya, masa depannya di desa itu—dan di mata Lina—tampak cerah.