Ficool

Chapter 21 - BAB 5—Iblis dari Rhein

Sekop adalah alat yang lahir dari peradaban. Hidup peradaban.

—Tanya von Degurechaff, Analekta Seorang Komandan Front Rhein—

---

|||——————————————————|||

MASA KINI, SEKALIGUS DI SUATU

WAKTU BULAN MARET, TAHUN

PERSATUAN 1925

Itu adalah mimpi yang akrab bagi lelaki tua yang pernah hidup melewati Rhein. Malam ini pun ia akan bermimpi hal yang sama lagi. Sebagai salah satu prajurit yang pernah bertugas dalam Perang Besar, semuanya tersimpan jelas dalam benaknya. Saat itu, di tempat itu—dengan cara tertentu, di sanalah sisa hidup mereka ditempa.

Bahkan sekarang, suara tembakan tak henti-henti masih bergema di kepalanya seperti piringan hitam yang rusak. Tanpa disadari, pikirannya kembali ke medan pertempuran penuh kenangan itu. Bahkan setelah perang usai, pemandangan dan suara-suara itu masih terlalu segar untuk bisa memudar. Itu memang masa lalu, tapi dunia itu masih bisa ia ingat dengan sangat jelas. Medan pertempuran terkutuk itu. Hal paling mengerikan yang pernah diciptakan umat manusia. Tempat di mana lumpur dan lalat berkuasa.

"Ahh." Ia mengerang mengingatnya. Rhein adalah gerbang neraka itu sendiri.

Lelaki tua itu terus bermimpi yang sama berulang-ulang, diingatkan lagi dan lagi. Aku mungkin takkan pernah melupakannya.

Aku masih ingat peristiwa hari itu dengan detail. Saat peluru-peluru artileri berseliweran di atas kepala, aku dan seluruh Kompi G terus maju sesuai perintah untuk bergerak ke posisi serangan baru. Dari lima resimen yang membentuk garis depan, Kompi E menghadapi pertempuran paling sengit, dan misi kami adalah mendukung sisi sayap mereka.

Aku berada di regu senapan mesin. Tugas kami sederhana: menyiapkan senjata di parit yang digali unit garis depan dan membangun posisi tembak. Tentara Kekaisaran seharusnya sudah cukup menekan pasukan Republik di wilayah itu, tapi garis tempurnya, seperti biasa, kacau. Hampir cair. Dengan kata lain, medan pertempuran hanyalah kekacauan berdarah antara kami dan mereka.

Bombardir telah melenyapkan semua pohon di rawa itu kecuali satu—tempat di mana sumber daya terbuang sia-sia, darah mengalir seperti sungai, dan ketika kau mengintip keluar dari parit untuk melihat sekitar, yang tampak hanyalah asap artileri.

Tetap saja, artileri musuh yang terkutuk itu tak peduli dengan jarak pandang yang buruk dan terus-menerus mengebom kami dengan tempo tak menentu. Regu mortir kompi kami membalas tembakan, tapi hampir tak ada hasilnya. Meski asap menutupi medan, kami masih bisa melihat kilatan moncong senapan dari posisi pasukan Republik.

Aku ingat betapa sulitnya kami menghadapi mortir. Mereka tak punya tempat stabil untuk menembak karena papan pijakan tenggelam ke dalam lumpur. Keadaan begitu buruk hingga bahkan penembak mesin terlatih tak mampu mengendalikan garis tembakan mereka.

Aku ingat sejauh mata memandang hanyalah para prajurit berlumuran lumpur, melakukan segalanya demi mengamankan posisi serangan.

Aku ingat hari itu dengan sangat jelas.

Meriam lapangan yang dipasang di parit mencoba tembakan observasi, sementara para penembak terpilih menggali lubang perlindungan dengan sekuat tenaga. Kini, saat kuingat kembali, itu adalah tindakan yang nyaris superman dari segelintir orang yang berdiri di sudut medan pertempuran keras itu. Mereka tidak membiarkan diri dipatahkan oleh belatung, lumpur, atau rentetan peluru artileri. Diselimuti bau busuk pembusukan dan kematian, tanpa perlindungan layak, orang-orang itu tetap maju di dalam lumpur. Kaki mereka terkena trench foot. Keberanian mereka terpatri di kelopak mataku, bahkan terlihat suci; sampai hari ini aku menghormati mereka dari lubuk hatiku.

Itu adalah gambaran mengejutkan dari dunia yang tak bisa kau pahami kecuali mengalaminya langsung; hanya bisa dimengerti dengan berada di sana.

"Aku tidak percaya ini. Katak-katak itu. Mereka pasti suka sekali lumpur!"

"Iya. Para penembak itu ingin mengubah tanah ini jadi rawa dan langsung terjun ke dalamnya."

"Tapi yang ditembaki itu Kompi H. Kasihan mereka."

Candaan tim sedikit meredakan ketegangan kami, tapi obrolan dari para prajurit di lubang perlindungan terdekat mengingatkan kami pada kenyataan. Yang jadi sasaran tembakan adalah Kompi H, yang maju lebih dulu dari kami. Menyebalkan, para petinggi saat itu yakin bahwa pertahanan musuh bisa ditembus hanya dengan peluru manusia.

Berapa banyak nyawa yang mereka pikir sepadan dengan sebidang tanah berlumpur ini?!

"Dukungan udara belum juga datang?! Hentikan tembakan musuh itu sekarang juga!"

Seseorang menggeram, mewakili perasaan seluruh kompi. Seharusnya kami bisa mendorong garis maju di bawah keunggulan udara lokal. Begitulah seharusnya operasi berlangsung. Para petinggi keparat itu bilang kami akan mendapat dukungan udara penuh, tapi rasanya mereka sebenarnya mempunyai maksud tanpa dukungan udara sama sekali.

"Aku sudah bilang kan? Taruhan kalkun Paskahmu, itu hanya janji kosong."

Bahan peledak berat bolak-balik di medan. Satu tembakan dekat saja cukup untuk mencabik-cabik tubuh manusia. Dalam keadaan seperti itu, dukungan penuh jarak dekat hanyalah mimpi kosong. Jadi kurasa sejak awal kami tak terlalu berharap banyak. Terlepas dari apa yang dirasakan para rekrutan baru yang buru-buru dilatih, para veteran tahu tak ada janji yang lebih tak bisa dipercaya selain janji para petinggi.

Semua orang akhirnya seperti itu. Prajurit yang terpapar badai peluru artileri berat, dipaksa menanggung rasa sakit dan tekanan mental berjam-jam, tak bisa tidak menjadi skeptis abadi. Jika tidak, kenyataan kejam akan menghancurkan propaganda indah hanya dengan sekali hantam, dan para prajurit akan kehilangan akal. Untuk bertahan di perang mengerikan itu, kau tak bisa terlalu bergantung pada harapan.

"Ngh! Aku terkena! Sialan!"

"Medis! Medis!"

Aku ingat bisa mendengar, entah bagaimana, suara seseorang di parit sebelah ambruk ke tanah dan teriakan panik teman-temannya, bahkan di tengah hiruk pikuk medan perang. Saat itu aku sadar, ada satu orang sialan yang terkena peluru nyasar atau ditembak sniper. Karena seluruh parit tak hancur dan tak ada tembakan lanjutan, pasti itu sniper.

Kami segera menunduk lebih rendah dan menyemprotkan tembakan pengganggu ke mana saja kemungkinan dia bersembunyi. Kami tak mau mati.

"Kirim tandu! Lindungi mereka!"

Dan kemudian…

Aku takkan pernah melupakan empat pembawa tandu yang berlari keluar di bawah perlindungan rapat demi menyelamatkan saudara mereka yang terluka ke belakang. Lambang keberanian dan integritas. Para medis adalah satu-satunya yang bisa kami andalkan di tengah neraka itu. Karena para medis—disebut Sani—bersama kami, ada jaminan sedikit kemanusiaan dalam dunia neraka itu.

Tidak seperti orang-orang yang bekerja nyaman di belakang garis, jika ada rekan prajurit yang membutuhkan, mereka akan selalu menerjang hujan peluru yang bahkan kami takut hadapi. Bahkan ketika mereka sendiri terhempas dan terkapar, akan selalu ada yang siap maju menggantikan. Itu adalah bukti keberanian mereka.

Mereka adalah satu-satunya yang benar-benar aku hormati. Satu-satunya yang bisa kami percaya apa pun yang terjadi. Sampai hari ini aku masih merasa begitu.

"Lepaskan tirai asap!"

"Granat tangan! Lempar semua yang kalian punya!"

Regu mortir menembakkan peluru asap, penembak terpilih melempar granat, dan kami menutupi dengan tembakan. Pemandangan tandu yang berhasil lolos adalah kelegaan besar. Teman-teman terpercaya kami dengan keberanian luar biasa. Sani harus dilindungi, jika bukan yang lain; merekalah satu-satunya yang akan menyelamatkan kami.

Dan pada saat yang sama, bisa dibilang karena tembakan perlindungan kami, pasukan Republik di seberang tampaknya kembali ingat pada target utama yang harus mereka hancurkan. Mereka memutuskan untuk menghancurkan bukan tandu yang menjauh, melainkan sarang senapan mesin kami. Berkat itu, kami dihujani tembakan terkonsentrasi, dan aku spontan menundukkan kepala, tak sanggup menahan debu dari ledakan dekat yang memenuhi udara. Tiarap di parit dengan telinga waspada, kami hanya bisa tersenyum pahit membayangkan betapa banyak penembak artileri Republik yang sedang "menghadiahi" kami dengan peluru.

Namun ketenangan aneh itu tak bertahan lama. Setelah suara siulan sesuatu yang melesat di udara, terdengar dentuman berat yang asing dan membuat bulu kuduk kami berdiri.

Itu bukan lagi peluru 128 mm; mereka mengeluarkan meriam lapangan 180 mm andalan mereka.

"Dengar, pasukan! Bala bantuan kawan sedang dalam perjalanan! Bertahanlah!"

Saat itu, kami senang mendengar instruksi lewat radio dari komandan batalion, tapi rasa putus asa jauh lebih besar. Batalion kami memang tak kekurangan pasukan pengganti. Kami nyaris kehilangan semangat tempur, jadi mungkin mereka melemparkan harapan palsu itu agar kami bisa bertahan.

Mungkin harapan itu masih bisa menghibur orang-orang yang belum tahu betapa rapuhnya ilusi itu, tapi kami sangat paham bagaimana kenyataannya.

Seseorang di regu senapan mesin mengungkapkan isi hati kami semua yang sudah akrab dengan medan itu. Kami benar-benar butuh bala bantuan.

"Jadi kapan sebenarnya unit bantuan itu datang?!"

Dengan kondisi seperti ini, kami sadar semua bisa mati demi mempertahankan rawa itu, tenggelam bersama lumpurnya.

Maka, kami sangat menginginkan bantuan segera.

"Aku ingin bala bantuan… kalau bisa sebelum kita mati."

Apakah itu aku yang bergumam? Atau rekanku di sebelahku? Aku masih tidak tahu, tapi aku yakin seseorang mengatakannya.

Saat itulah operator radio di dekat kami mulai berteriak sekuat tenaga. Para operator adalah orang-orang yang memantau transmisi musuh, memastikan mereka tidak menemukan posisi kami. Biasanya mereka hanya membawa kabar buruk, tapi kemudian aku sering berpikir bahwa terkadang mereka benar-benar membawa sesuatu yang baik untuk kami.

"Bala bantuan! Bala bantuan sudah datang!"

Aku masih ingat jelas bagaimana orang-orang mengira operator itu mengalami shell shock, lalu menatapnya dengan penuh rasa kasihan. Tapi kemudian kami melihat sesuatu yang hampir tak bisa dipercaya, jadi tak ada waktu untuk memikirkan hal itu.

Atau lebih tepatnya, kami mendengarnya.

"Wahai Tanah Airku, cintaku, beristirahatlah dengan tenang."

Di setiap saluran, dalam jangkauan luas, kata-kata itu disiarkan dengan begitu kuat hingga bahkan prajurit biasa tanpa kemampuan sihir pun bisa mendengarnya.

Awan debu menghitamkan langit, lumpur seakan menelan segalanya di medan perang, namun suara yang menggema di tengah kekacauan itu terdengar sangat tenang.

Tidak heran kami sempat bertanya-tanya sebentar apakah kami juga sudah kehilangan akal. Fenomena itu terasa begitu tak nyata.

Itu adalah kode untuk satu unit bala bantuan. Kami menoleh bingung, berpikir bahwa bala bantuan itu tidak mungkin nyata, pasti hanya halusinasi pendengaran.

"Wahai Tanah Airku, cintaku, beristirahatlah dengan tenang."

Namun, kami tidak berhalusinasi dan kami tidak gila; seseorang benar-benar mengulangi kata-kata itu dalam bahasa resmi Kekaisaran.

Dan itu adalah kata sandi sekali pakai untuk menunjukkan bahwa mereka adalah kawan, bukan musuh!

"Para Penjaga Rhein! Kalian setia! Kalian adalah batu karang! Kalian setia! Kalian adalah batu karang!"

Operator meningkatkan sinyal ke keluaran tertinggi yang memungkinkan, dan jawaban dari pos radio itu adalah suara paling membahagiakan yang pernah kudengar. Aliran kata-kata yang keluar dari radio regu senapan mesin akan selamanya terukir di gendang telingaku.

Kami selalu menertawakan betapa konyolnya kode-kode yang mereka buat. Para operator radio, khususnya, sering mengejeknya, tapi kali ini, hanya kali ini, aku rasa kami semua benar-benar terhibur olehnya.

Gangguan siaran luas yang hanya bisa dilakukan para penyihir. Itu hanya bisa berarti para penyihir. Itu hanya bisa berarti pasukan elit penyihir Kekaisaran.

Mereka beruntung karena tidak tahu—bahwa para penyelamat mereka, bala bantuan mereka, sesungguhnya berbahaya, bisa membawa kehancuran total bahkan bagi sekutu mereka.

Dia memang berpihak pada kami, tetapi bahkan kalangan petinggi militer Kekaisaran memperlakukannya seperti dewi kematian. Itu adalah batalion untuk para gila perang oleh para gila perang, dan mereka telah tiba di medan tempur.

Menembus kabut awan dan asap mesiu, sarafnya menegang. Mayor Tanya von Degurechaff, dalam hati muak dengan semua ini, namun wajahnya tetap tanpa ekspresi, memimpin unit tanggapannya menuju Zona Identifikasi Pertahanan Udara Rhein Sektor D-5.

"Kode dikonfirmasi. Ini Batalion Penyihir Udara ke-203, tanda panggilan Pixie. Kami sedang menuju lokasi. Tiba dalam 160 detik."

Tanya sebenarnya tidak terlalu menyukai perang parit. Satu-satunya pekerjaan yang lebih ia benci adalah tersenyum manis untuk propaganda.

Lagi pula, sekarang setelah aku berubah menjadi seorang gadis, aku harus menghadapi kerangka militer menjengkelkan ini di mana pria dianggap lebih tinggi. Hanya dengan memikirkan promosi yang mungkin terhalang oleh "plafon kaca" tak terlihat saja sudah cukup untuk memadamkan segala niatku untuk bertingkah manis demi propaganda. Perang parit, di sisi lain, terlalu berbahaya.

Meski begitu, sistem personel Kekaisaran telah menyesuaikan diri dengan prinsip meritokrasi yang sangat ketat selama perang ini, jadi dalam hal itu aku cukup puas.

Jadi meskipun menempel erat pada kontur tanah untuk mempertahankan ketinggian serendah mungkin sembari melaju cepat menuju medan perang itu berbahaya, aku puas karena setidaknya usahaku akan dihargai.

Namun, dia memimpin misi menyeberangi area yang dipenuhi cangkang peluru bekas dan menyerang posisi artileri musuh dengan asap mesiu yang membumbung tinggi ke udara. Bahkan dengan bayaran bahaya dan tunjangan perang, tetap saja itu bukanlah hal yang menyenangkan.

"Pasukan, kalian akan melaksanakan pertempuran pendukung. Siapkan senjata anti-darat, rumus ledakan difusi, rumus ilusi optik, dan perisai luar penangkal peluru. Tangani pertempuran anti-udara dan anti-penyihir sesuai kebutuhan."

Menggenggam erat senapan dan bola perhitungan sihirnya, Tanya memberikan instruksi yang diperlukan dengan nada lugas.

Pertempuran pendukung sebenarnya merepotkan bagi para komandan. Mengebom pihak sendiri adalah kesalahan yang tak termaafkan. Jika kami menghancurkan pasukan kami sendiri, maka berikutnya tak diragukan lagi adalah hujan peluru dari posisi tembak di darat.

Parit dan posisi memang dibangun untuk membatasi kerusakan, tapi tetap saja, tidak ada yang senang diledakkan secara tidak sengaja.

Hanya Amerika Serikat yang bisa seenaknya mengebom apa pun dengan dalih "tidak sengaja." Bahwa mereka bisa mendapat kelonggaran untuk—ups—mengebom kedutaan Tiongkok di Beograd membuatku iri, dalam suatu cara.

Mengenyampingkan pikiran itu, satu-satunya pilihan yang layak untuk misi pendukung ini adalah menerobos dekat posisi musuh dan menggempur habis-habisan. Dalam hal ini, rencana terbaik adalah mempertahankan kecepatan tinggi dan ketinggian rendah sebisa mungkin, lalu menyerbu sekaligus dengan serangan mendadak.

Tapi itu teori. Mereka yang benar-benar mempertahankan kecepatan dan ketinggian itu sudah sangat muak. Tidak ada yang akan bilang bahwa terbang cepat di dekat tanah itu nyaman.

Meskipun hal ini membuatku terhindar dari masalah seputar penenggelaman kapal selam Persemakmuran, dikirim ke front Rhein tetaplah nasib buruk.

"CP, ini Pixie. Kirim target."

"Roger, Pixie. Hancurkan posisi artileri musuh yang membombardir Kompi G dan H."

"Dimengerti. Saya ingin meminta tembakan penekan pendukung selama lima menit mulai sekarang. Kami akan menghabisi mereka dalam waktu itu."

Tetap saja, aku senang karena di arena semacam ini Tanya masih berhasil mempertahankan tingkat otonomi yang wajar berkat statusnya sebagai penerima Lencana Sayap Perak Penyerbu.

Sebagai permulaan, aku bisa memilih targetku secara bebas.

Dan markas belakang mungkin tidak sepenuhnya rapi, tetapi itu jauh lebih baik daripada terjebak lumpur, diperintahkan bertahan di suatu posisi, lalu jadi sasaran bombardir di tengah kekacauan.

Tempat itu nyaris bisa disebut markas belakang. Makanannya bukan ransum parit biasa, melainkan makanan panas yang layak. Selain itu, jika aku boleh menyentuh topik yang agak kurang sopan, kondisi sanitasi juga lebih baik.

Ini baru musim semi pertama. Jika udara yang kuhirup saat terbang rendah saja sudah sebau ini, bisa kubayangkan mereka melakukan hal yang bertolak belakang dengan standar kebersihan.

Sebagai pria berbudaya dengan pemahaman wajar tentang higienitas yang dulu aku miliki—sebelum parit, sebelum menjadi gadis, dan segala macamnya—aku hanya bisa mengatakan bahwa ini lingkungan yang sulit ditanggung. Ini hampir sama buruknya dengan berada di kapal selam dengan toilet rusak yang tenggelam.

Sebaliknya, aku punya pekerjaan yang sesuai dengan bayaranku: menghantam meriam lapangan dari udara, dengan tembakan anti-udara mereka yang lemah.

Dan selama tidak ada penyihir penyergap, ini hanya seperti berburu bebek. Target yang sempurna. Aku ingin mengumpulkan sebanyak mungkin pencapaian dan memenuhi syarat untuk cuti. Aku mungkin berada di sini sebagai hukuman, tetapi jika tidak ada catatan resmi, aku tetap berhak menuntut hakku.

Aku ingin cepat-cepat dipindahkan ke belakang, menemukan posisi yang aman.

"Lima menit? Itu bahkan tidak cukup untuk menekan tembakan anti-udara, apalagi artileri."

Lagi pula, bahkan misi serangan, yang relatif lebih aman dibanding garis depan, tetap memaksamu mengambil risiko yang cukup menjijikkan.

Misalnya, regu pengamat sampai rela—secara sukarela—mendukung kami. Jika para pengamat garis depan turun tangan menjadi pemandu bagi kami, itu berarti situasinya jauh dari ideal. Biasanya, pengamat akan ada di luar sana hanya untuk mengawasi dampak serangan. Jika mereka punya waktu luang, itu berarti artileri kita sedang minim.

Jika kami mengaktifkan perisai luar penyihir sepenuhnya dan terbang dalam formasi serangan anti-darat, tidak mungkin kami akan terkena tembakan dari pihak sendiri, setidaknya.

Jika secara ajaib kami terkena hantaman langsung, kami seharusnya masih bisa lolos dari cedera fatal berkat model bola sihir baru. Lebih penting lagi, bertahan dari artileri adalah hal yang dilatih untuk semua orang sejak kamp pelatihan.

"Itu bukan masalah. Dan jangan khawatir tentang kami—teruskan saja tembakan setelah kami masuk."

Lagi pula, mengawasi dari atas adalah tugas komandan dalam serangan anti-darat. Memiliki satu unit yang menyerang sementara unit lain memberi perlindungan udara adalah hal dasar dalam pertempuran udara.

Aku yakin tak perlu dijelaskan lagi, jika aku terbang dengan dukungan langsung, bahaya terkena hujan peluru artileri akan berkurang drastis.

Selain itu, aku akhirnya bisa menaikkan ketinggian. Terlepas dari udara yang kental dan bau, meninggalkannya terasa cukup menyenangkan.

Bagaimanapun, keluar dari zona berbahaya itu sudah cukup untuk memperbaiki suasana hati Mayor von Degurechaff.

"Letnan Serebryakov, kita mendapat lima menit tembakan pendukung. Setelah semua latihan tembakan artileri yang kita lakukan, aku tidak percaya ada idiot di batalionku yang akan terkena peluru teman sendiri di kepala."

"Dimengerti."

Terus terang, rasanya masih aneh menyebut diriku "dia" (perempuan), tapi bagaimanapun, gadis kecil ini sedang menampilkan senyum langka. Ia tak memperhatikan nada jawabanku yang agak kaku, dan ketika sadar sudah waktunya bekerja, dengan ceria ia mulai menanjak ke atas. Karena kali ini kami akan menyerang ke darat, kami tak perlu naik ke ketinggian yang sangat dingin—keuntungan lain juga.

Akibatnya, Mayor Tanya von Degurechaff jelas terlihat bersemangat. Ekspresinya bahkan melunak menjadi sebuah senyuman.

Dan pemandangan itu tertanam jelas dalam ingatan seorang mantan prajurit yang menyaksikannya di sana. Berapa tahun sudah berlalu sejak perang? Namun kenangan itu masih jelas seakan-akan baru kemarin.

Kami merasa sangat terkejut mendengar kabar tentang bala bantuan, dan sempat mengira keadaan akan membaik. Meski begitu, meskipun ancaman yang kami hadapi sedikit berkurang, menurunkan kewaspadaan berarti berubah menjadi mayat-mayat bisu.

Maka, kompi kami menggunakan sedikit waktu tambahan yang ada sebijak mungkin. Mayat-mayat disingkirkan, tandu disiapkan untuk yang terluka. Dan senapan mesin yang sudah aus juga harus diganti larasnya. Sayangnya, meskipun persediaan laras pengganti cukup banyak, ternyata personel Logistik terlalu kurang untuk bisa mengirimkannya langsung ke garis tembak di tengah pertempuran besar-besaran.

Ketika timku diminta mengutus seseorang, aku yang kena giliran untuk membayar "utang" dari ritual kuno yang sakral bernama permainan kartu. Dengan kata lain, "Kau berhutang pada kami!" Kalau kupikir-pikir lagi, mungkin dulu kartu memang membenciku. Atau mungkin aku terlalu bodoh untuk menyadari kecurangan cerdik teman-teman satu kompi. Menyakitkan bagiku karena sekarang tak ada cara lagi untuk memastikan kebenarannya.

Namun saat itu, semua hal semacam itu bahkan tak terlintas sedikit pun di kepalaku. Aku berangkat sambil menggerutu, merangkak menuju pos komando bawah tanah. Di sana aku bernegosiasi dengan bintara Logistik yang tangguh, dan akhirnya malah harus memanggul sendiri bagian-bagian pengganti itu.

Orang sering salah paham kalau bagian belakang garis depan itu aman, tapi di front Rhine waktu itu, rasa aman hanyalah fantasi.

Jarak antara garis tembak terdekat hanya puluhan meter. Andai aku bisa menatap langsung musuh dari jarak sedekat itu. Karena parit-parit terlalu berdekatan, risiko salah sasaran ke pasukan sendiri tinggi, jadi bombardemen jarang bisa dilakukan.

Lagipula, meski situasinya memungkinkan, para artileri biasanya membenci menembak ke area berbahaya, takut menghancurkan pasukan sendiri sekaligus musuh. Baik Kekaisaran maupun Republik, semua sama-sama ingin menghindari meledakkan rekan sendiri.

Daripada menjatuhkan bahan peledak berat ke posisi sendiri, lebih baik diarahkan ke musuh, meski meleset. Itu sudah jadi akal sehat bagi kedua pihak. Jadi, asal hati-hati terhadap penembak jitu, ranjau darat, dan senapan di garis depan, kemungkinan besar kau tak langsung mati di tempat.

Tapi, aku harus menambahkan: bukan hal langka juga kalau artileri salah memperkirakan posisi garis depan atau keliru membedakan kawan dan lawan dalam kekacauan. Aku pernah ada di posisi yang hampir direbut Tentara Republik, dan semua prajurit musuh yang menyerbu tiba-tiba musnah oleh tembakan artileri Republik sendiri. Kami bahkan sampai dengan hormat "menominasikan" artileri musuh untuk menerima Lencana Artileri Lapangan, dan guyonan itu masuk ke buletin resmi. Kami benar-benar bertepuk tangan atas unjuk latihan mereka—serta kontribusi mereka bagi perjuangan perang Kekaisaran.

Itulah jenis medan tempur yang kami hadapi, namun ada satu alasan mengapa bagian belakang justru dianggap tempat paling berbahaya.

Radio. Gelombang kuat yang bukan milikmu jelas berarti markas musuh atau pos bawah tanah. Hanya butuh kurang dari dua hari untuk menghancurkan ilusi pemula tentang "keamanan" karena bunker bawah tanah yang kokoh sekalipun bisa ditembus.

Kalau kau tak bisa berbuat banyak dengan menembak garis depan, bidiklah badai baja ke arah peralatan komunikasi—begitulah logikanya. Kalau peluru baja penembus berat menghantam, bunker tak ada artinya.

Barusan kau bersembunyi di ruang bawah tanah, detik berikutnya dihantam artileri—habis sudah. Mati tercekik tertimbun reruntuhan parit jelas mengerikan. Tak ada yang mau menginjakkan kaki ke ruang radio.

Saat itu, bunker komunikasi begitu berbahaya sampai-sampai tabu bila tetap berada di sana lebih dari empat puluh delapan jam. Tak ada yang membicarakannya, tapi semua orang tahu untuk menghindarinya.

Alasan radio tetap dibawa ke garis depan, meski dalam kondisi semacam itu, hanyalah karena kami sangat membutuhkannya. Mustahil mengendalikan pasukan sebesar angkatan darat hanya dengan bendera semaphore dan terompet. Teknologi nirkabel terbukti efektif di tengah kabut perang, jadi tak heran militer masih terus mengandalkannya bahkan hingga sekarang.

Dan mendengarkan derasnya pesan yang lalu-lalang sudah jadi naluri, bukan hanya bagi operator radio tapi juga bagi prajurit-prajurit di parit yang haus gosip.

Itulah sebabnya, dengan kebiasaan itu, telingaku menangkap sesuatu. Sesuatu yang begitu tak masuk akal sampai aku sempat curiga telingaku rusak akibat hiruk pikuk pertempuran.

"Tak ada orang bodoh di unitku yang akan terkena tembakan teman sendiri. Prioritaskan menahan musuh di atas segalanya."

Seorang komandan meminta bombardemen ditembakkan ke atas kepalanya sendiri? Aku hendak menggeleng, yakin itu pasti salah dengar, ketika—

"CP ke Pixie 01. Ini peluru peledak tinggi dengan sekering yang diatur untuk meledak di udara, kau tahu!"

"Pixie 01, diterima. Tidak masalah."

Meski suaranya terselubung statis, aku bisa mendengar betapa riangnya ia terdengar. Sampai sekarang aku masih yakin dengan pendengaranku, tapi saat itu adalah satu-satunya momen aku ragu pada telingaku sendiri.

Nada bicaranya begitu bersemangat. Ringan, bahkan gembira—padahal maksud pesannya mengerikan. Ia sama sekali tak memikirkan kemungkinan terkena ledakan udara secara langsung. Tak peduli dengan serpihan logam yang turun seperti hujan?

Tanpa sadar, aku dan bintara yang bahkan tak kukenal saling pandang. Haruskah kami benar-benar membuat artileri menembaki penyihir kami sendiri? Mustahil. Kalau sampai kena, pasti kacau besar. Sekalipun dimaafkan, tetap saja artinya mereka telah membunuh rekan sendiri.

"…Dia serius?"

"Tak mungkin. Kenapa para penyihir mau mendengarnya?"

Namun, entah Tuhan memang brengsek atau Dia punya rencana besar yang tak bisa dibayangkan domba-domba seperti kami, ternyata dia memang serius.

Kalau terjadi salah tembak, mustahil melacak pos mana yang meleset, jadi insiden seperti itu biasanya didiamkan. Semua dianggap kecelakaan malang.

Tapi kasus ini lain. Kalau artileri melaksanakan misi tembakan terobservasi ke area yang jelas ada pasukan sendiri, reputasi mereka hancur. Tak akan ada yang bisa memaafkan tembakan ke rekan sendiri, meski itu "perintah."

"…Mayor, apakah Anda…?"

"Jangan khawatirkan kami. Lanjutkan bombardemen."

Lebih bersemangat lagi. Menyeramkan sekali mendengar keceriaan seterang itu lewat radio. Bahkan sampai sekarang aku masih tak yakin sebenarnya apa yang membuatku takut.

Ketakutan ditimpa artileri berjam-jam di parit, hanya bisa berdoa untuk selamat. Kengerian yang membuatmu ingin berteriak, "Cepat bunuh saja aku!" Hanya orang yang pernah mengalaminya yang bisa benar-benar mengerti. Dan ada sesuatu yang aneh pada orang yang bisa menertawakan horor bombardemen begitu saja.

Aku bahkan tak setakut itu ketika ada penembak jitu mengincar kami. Tubuhku terasa beku sampai ke inti. Apa-apaan dingin ini?

"Pixie 03 ke Pixie 01! Terdeteksi banyak sinyal mana! Dua kelompok seukuran kompi musuh penyihir sedang bergerak maju! Waktu kontak enam ratus detik!"

Aku ingat, peringatan itu menyadarkanku kembali. Operator radio pun segera mengirimkan laporan musuh ke pos-pos lain.

Entah itu unit baru atau pasukan penyergap, tetap saja, begitulah kehidupan sehari-hari di garis depan Rhine. Dan entah bagaimana, aku malah merasa lega karena keadaan kembali "normal" setelah anomali barusan.

Aku teringat harus membawa kembali bagian pengganti dan amunisi ke garis tembak. Harus kembali selagi parit penghubung masih relatif tenang. Jadi mungkin tepat saat aku mengucapkan terima kasih pada bintara, mengambil barang-barang itu, dan bersiap berlari kembali—

Aku jelas mendengar suara klik lidah dan desahan lewat radio—radio yang barusan dipenuhi suara ceria itu.

"Kompi Pertama, siapkan untuk pertempuran melawan penyihir. Ikuti aku. Para idiot ini tak punya janji, jadi kita akan mengusir mereka. Yang lain, teruskan bantu artileri. Cepat selesaikan lalu bergabung dengan kami."

Semangat dalam kata-katanya bagaikan badai salju. Kau tak tahu kalau kata-kata bisa dihuni roh? Itu topik yang sangat dikenal di medan tempur, tapi yah, mungkin lebih baik memang tak tahu. Mungkin akan lebih mudah dipahami kalau kukatakan rasanya seperti mendengar iblis membacakan nubuat secara acak.

Dengan kata lain, kekacauan.

"Pixie 01 ke CP. Kami akan menghadapi para penyihir musuh yang datang, tetapi tidak ada perubahan pada rencana semula. Kalian tidak perlu khawatir mengenai pertempuran udara."

Biasanya, itu akan terdengar seperti sikap merendahkan dan terlalu percaya diri. Orang-orang di bawah komando perwira itu pastilah bernasib malang. Namun ketika kenangan itu kembali kuputar di benakku, aku tak bisa menahan diri untuk

berteriak, Kau monster!

Seorang pahlawan, seorang bintang, seorang perwira sihir yang luar biasa. Anda Nona, adalah seorang perwira agung. Bagi kami semua, para prajurit Kekaisaran yang bertugas di garis Rhein, Anda adalah dewa.

"Seorang komandan baru dengan mana besar tapi tak punya apa-apa selain itu? Dia pasti punya hasrat bunuh diri." Sayangnya, siapa pun yang mengucapkan komentar itu kini sudah tidak hidup.

"Pixies…? Aku cukup yakin pernah mendengar tentang mereka dari orang-orang Angkatan Darat Besar. Mereka bilang dia adalah dewa kematian."

Rumor dari orang-orang yang merasa tahu sedikit tentang Mayor von Degurechaff itu ternyata benar. Ya, dia memang seorang dewa—dewa yang amat perkasa, penguasa atas hidup dan mati.

"Sekarang jadi menyenangkan, pasukan. Kalian juga bersenang-senang, bukan?"

Kata-katanya, yang penuh dengan amarah menggigilkan tulang, menyapu seluruh area seolah-olah dia sengaja mengundang semua kebencian musuh, bagaikan ngengat yang tertarik ke api.

Mayor von Degurechaff telah menampakkan taringnya. Itu memancing reaksi yang ganas.

Republik ingin memburu iblis. Dengan kata lain, mereka mencurahkan seluruh kebijaksanaan umat manusia demi membunuh dewa kematian. Dewa memang tak bisa mati, tetapi kami yang berada di sisinya…?

…Mereka benar menyebutnya dewa kematian.

Dia membunuh musuh, dan musuh membunuh orang-orang kami. Lalu mayor mulia itu, dengan satu pandangan ke arah semua mayat yang terbaring di lumpur, beranjak pergi.

Sialan.

---

24 FEBRUARI, TAHUN PENYATUAN 1925, PINGGIRAN KOTA BIREUN, PENGADILAN MILITER ANGKATAN DARAT KEKAISARAN

Tanya akan berkata bahwa tentara, pada akhirnya, adalah instrumen kekerasan negara. Tidak peduli hiasan retorika apa pun yang dipakai, sifat dasarnya tidak berubah. Mereka yang menjadi marah dan bertanya, "Apa maksudmu 'instrumen kekerasan'?" hanyalah orang yang tidak memahami militer—atau justru terlalu memahami para pemilih.

Bagaimanapun juga, terlepas dari definisinya, tentara harus dikendalikan. Maka, betapapun dapat dipercayainya orang-orang yang menyusun organisasi itu, mereka tetap harus dipasangi tali kekang.

Tentara Kaisar, pelindung Kekaisaran, garda depan rakyat, perisai bangsa… Bahkan Angkatan Darat Kekaisaran, yang dilimpahi segala pujian itu, bukanlah pengecualian.

Rakyat Kekaisaran bangga pada para prajurit mereka. Itulah mengapa penyimpangan dari ideal itu memicu celaan yang begitu keras.

Militer Kekaisaran, sebagai salah satu standarnya, menghendaki semua perwira dan prajurit menjadi warga teladan. Harapan ini berlaku menyeluruh, bahkan hingga prajurit rendahan.

Konsekuensi alamiah dari itu adalah bahwa perilaku yang pantas dituntut dari para perwira terhormat dengan penekanan khusus. Dalam suatu arti, pada masa damai hal itu bahkan lebih penting daripada kapasitasmu sebagai prajurit. Akibatnya, otoritas militer memiliki kecintaan fanatik terhadap aturan, yang berarti ada pengadilan militer menunggumu bila kau melanggarnya.

Sebagai suatu kelas dalam masyarakat, para perwira militer merasa malu bila dihadapkan pada pengadilan militer. Tetapi itu berlaku di masa damai. Era damai yang mengutamakan kehormatan dan memuja cita-cita sudah berakhir.

Sekarang kita sedang berperang. Persoalan yang ditangani pengadilan militer pun berubah menjadi soal apakah kau melaksanakan tugasmu tanpa takut atau tidak.

Maka, menurut logika militer, sulit untuk mengabaikan fakta bahwa ini hanyalah seorang perwira yang sedang menjalankan tugasnya, yang terjebak dalam urusan politik internasional akibat undang-undang yang tidak terpelihara dengan baik.

Di sisi lain, dari sudut pandang urusan luar negeri… beberapa perwira tinggi dan sebagian besar diplomat sedang mencabuti rambut mereka. "Tolong pertimbangkan aspek politik!" tuntut mereka. "Apa Anda berniat menjadikan seorang perwira yang menjalankan tugasnya sebagai kambing hitam?" timbal baliknya. Perpaduan sudut pandang ini membuat suasana ruang sidang begitu bergejolak.

Di sanalah kita dapati tata kelola peradilan menurut hukum.

"Mayor von Degurechaff, pengadilan ini memutuskan untuk menolak perkara Anda."

Spesialis hukum yang bertindak sebagai hakim berdiri dan membacakan keputusan, di tengah hutan duri yang terbentuk dari tatapan seragam dan jas yang menusuk.

Mereka menolak perkaraku. Dengan kata lain, kompromi ini memungkinkan mereka menghindari penolakan terang-terangan dengan mengatakan tidak ada alasan untuk mengajukannya; mereka lolos dari keputusan yudisial dengan menyatakan perkara itu secara teknis tidak memenuhi kriteria untuk dipertimbangkan.

Hakim pengganti itu tak bisa berbuat apa-apa selain membaca kertas di tangannya dengan ekspresi seperti orang François yang sudah disuguhi masakan Albion terbaik di dunia tiga malam berturut-turut. Mereka perlu menyelamatkan muka di kedua pihak, tetapi bila posisinya bertolak belakang secara tajam, maka jalan tengah adalah jawabannya. Dengan kata lain, menyimpan perkara ini adalah satu-satunya pilihan.

"Serangan terhadap dan penenggelaman kapal negara netral adalah sebuah kecelakaan yang disayangkan."

Namun dengan menambahkan sedikit kalimat di akhir itu, ia mampu mengungkapkan penyesalannya mengenai peristiwa tersebut. Jelas bagi semua yang duduk di ruang sidang bahwa pejabat hukum yang memimpin persidangan itu menyisipkan baris tersebut untuk meredam sebagian kejutan.

Bagi Tanya, ini adalah rekonsiliasi yang memang sudah ia perkirakan. Ia tahu bahwa seseorang yang setia pada logika organisasi tidak akan pernah dihukum selama ia tidak melakukan sesuatu yang merugikan keseluruhan.

Dan pihak dari Kantor Luar Negeri pun sudah siap dengan keputusan itu. Mereka masuk dengan pikiran muram bahwa militer mungkin tidak akan memberi keputusan seperti yang mereka inginkan, tetapi mereka paham. Walau pemahaman itu sama sekali tidak melunakkan tatapan yang mereka tujukan ke arah Tanya dari bangku penonton, dengan tinju terkepal.

Sementara itu, sebagai Tanya, aku merasa bahwa menerima tatapan penuh kebencian seolah-olah dia telah membunuh orang tua mereka itu agaklah tidak adil. Tentu saja aku mengerti apa yang dipikirkan orang-orang Kantor Luar Negeri. Mereka sangat ingin memiliki kambing hitam untuk meredakan opini publik di Persemakmuran.

Baik buruknya, karena orang-orang Kantor Luar Negeri menilai keseluruhan negara, mereka tampaknya tidak mempertimbangkan kepentingan individu dengan kerangka yang sama seperti urusan nasional.

Sungguh menjengkelkan. Tanya ingin menghela napas, tetapi melihat mereka sudah mendidih dalam hati, ia merasa menutup mulut adalah rencana yang lebih cerdas dan tetap diam.

"Adalah sebuah kebenaran pahit bahwa hubungan internasional telah dirusak oleh kecelakaan ini, namun mengingat preseden serta hukum dan regulasi, meski merupakan kewajiban moral kita untuk memperdebatkan kelalaian Mayor von Degurechaff, kami mendapati bahwa dari segi kewenangan hukum, perkara ini berada di luar yurisdiksi kami."

Pernyataan yang ia bacakan, dalam suatu arti, menyatakan posisi ambigu. Sambil berbicara tentang kewajiban moral dan semacamnya, mereka menandakan, dengan cara berputar-putar, bahwa mereka berniat menghindari tanggung jawab melalui jawaban birokratis bahwa perkara ini tidak termasuk dalam kewenangan hukum mereka.

Meski begitu, Tanya bukanlah satu-satunya yang bisa memahami bahwa tidak mengadilinya berarti sama saja dengan tidak menyalahkannya.

"Selain itu, dengan mempertimbangkan sifat sah dari perintah yang diberikan kepada Mayor von Degurechaff, kami mengakui bahwa pada saat itu ia memiliki sedikit sekali ruang untuk kebijaksanaan dan bahwa ia bertindak dengan setia sesuai dengan perintahnya. Bagaimanapun, perkara ini kami nyatakan ditolak."

Namun tampaknya Staf Umum atau seseorang di pucuk pimpinan telah memberi tekanan kepada mereka. Bahkan bagi Tanya sendiri, bagian terakhir dalam kesimpulan itu terasa anehnya menguntungkan.

Ia menyeringai. Tanpa disadari, bibirnya yang berkilau melengkung membentuk senyum samar. Dengan ini, ia praktis dianggap tak bersalah.

Namun di ruang sidang, hanya gadis di pusat perkara itulah yang terlihat begitu riang. Di tengah mayoritas orang yang dengan sengaja menahan ekspresi mereka, terdakwa yang tersenyum itu tak diragukan lagi menarik perhatian—terlebih karena wajah bahagia itu milik Mayor von Degurechaff, yang terkenal berwajah nyaris tanpa emosi.

"Untuk alasan-alasan yang telah disebutkan, kami mencabut perintah penahanan terhadap Mayor von Degurechaff."

Semua pihak yang terlibat sepakat bahwa sebaiknya tidak disebutkan bahwa ia sebenarnya tak pernah berada di bawah perintah penahanan apa pun.

Namun demikian, berhadapan dengan senyumnya, banyak hadirin merasa takut dan bertanya-tanya apakah keputusan ini sungguh tepat. Tetapi keputusan sudah dibuat. Dan penyihir unggul yang sangat didambakan garis depan akan segera dibebaskan dari penahanan… persis seperti yang diharapkan Staf Umum.

Garis pertahanan Rhein menuntut kecepatan. Adalah hal yang tak dapat ditoleransi bila seorang penyihir siap tempur ditahan karena urusan politik.

Mereka dapat memprioritaskan jatah amunisi dan suplai lainnya untuk Angkatan Darat Besar, tetapi tidak untuk penyihir?

Jika perang bisa dijalankan dengan cara seperti itu, tentu tak seorang pun perlu khawatir. Berikan kami lebih banyak penyihir! Satu orang tambahan pun cukup! Dengan jeritan permintaan seperti itu yang berdatangan dari garis depan, Staf Umum tidak memiliki sumber daya—di mana pun—untuk membiarkan seorang perwira bergelar Named hanya berdiam diri. Dan bagaimana mungkin? Jika mereka memiliki sumber daya seperti itu, perang pasti sudah lama berakhir.

Kami membutuhkannya di Rhein. Tak ada pilihan lain. Hanya alasan-alasan itulah yang sejak awal memastikan keputusan ini. Yah, jika memang ia terbukti lalai, mungkin hasilnya akan berbeda.

Hanya itulah sebab-sebabnya. Ia merasa bangga dan lega karena penilaiannya terdahulu terbukti benar.

Menurut hukum militer dan hukum internasional, aku mengancam sebuah kapal selam tak dikenal yang melanggar atau menyimpang dari standar yang berlaku. Namun sangat disayangkan, insiden itu terjadi akibat tembakan peringatan yang dilaksanakan sesuai prosedur—prosedur yang memang tidak dirancang untuk menghadapi kapal selam.

Seandainya terdapat satu saja kesalahan dalam pelaksanaan, para diplomat mungkin bisa memperoleh hukuman berat yang mereka idamkan. Namun jika tak ada kesalahan sedikit pun? Tepat sekali—jika tak ada dasar untuk sebuah pengorbanan, apa yang akan terjadi?

Jika mereka bersikeras menjatuhkan tindakan disipliner padaku dalam kondisi seperti ini, hal itu akan berubah menjadi skandal yang menyeret semua pihak: mulai dari Kementerian Dalam Negeri, orang-orang angkatan darat dan laut yang menyusun aturan, hingga pejabat Kementerian Luar Negeri. Pencapaian militersignifikanku justru membuat persoalan menjadi rumit.

Aku adalah penyihir yang menjanjikan sekaligus penerima Lencana Sayap Perak Serbu. Dengan kata lain, mereka tak sanggup memutuskan jalanku. Dan analisis Tanya benar.

Departemen Perkeretaapian Angkatan Darat, Korps Layanan, Operasi di Staf Umum, bahkan Divisi Teknologi telah menekan—meski secara informal—para perwira hukum. Penanggung jawab urusan praktis di tiap departemen langsung menyampaikan keprihatinan mendalam bahwa reputasi seorang perwira unggul bisa tercemar. Tekanan itu begitu berat hingga mungkin membuat perwira hukum sakit perut.

Aku begitu penting hingga banyak departemen bersatu melindungiku. Meski tak seorang pun mengucapkan ancaman langsung, harapan yang ditumpukan berbagai organisasi militer kepadaku menimbulkan tekanan amat besar agar para perwira hukum tak mengecewakan mereka.

Maka, pencapaian paling berharga para spesialis hukum adalah memperlihatkan bahwa mereka siap mengadiliku lewat mahkamah militer dan melakukan sidang. Bisa kukatakan itu pekerjaan yang baik.

Namun semua itu hanya persoalan internal. Bagi orang luar, hasil akhirnya tetap sama.

Tentu saja, dari sudut pandang hukum internasional, perkara antara Kekaisaran dan Persemakmuran dinyatakan selesai. Itu hanyalah sebuah kecelakaan. Kesepakatannya ialah Kekaisaran menyampaikan penyesalan, Persemakmuran mengumumkan harapan agar hal itu tak terulang, lalu kedua belah pihak saling tuding, masing-masing melemparkan sebagian besar kesalahan kepada yang lain.

Namun itu urusan para diplomat. Rakyat takkan serta-merta menerimanya hanya karena pemerintah berkata demikian. Publik Persemakmuran murka karena kapal perang mereka ditenggelamkan dan nyawa melayang karenanya; mereka tak punya alasan untuk mudah melupakan.

…Lebih dari itu, tanpa tedeng aling-aling, pihak berwenang Persemakmuran justru dengan senang hati menyulut opini demikian.

Tentara Kekaisaran yang keji.

Bagi mereka yang paham geopolitik, tindakan itu sesungguhnya wajar. Sudah jelas apa yang terjadi bila Kekaisaran menaklukkan semua lawannya di benua ini. Menghadapi satu negara raksasa akan menjadi mimpi buruk. Jadi bila rakyat belum sepenuhnya siap untuk perang, tak aneh bila otoritas mereka sengaja mengobarkan semangat.

Dalam situasi itu muncul peristiwa—sebuah kecelakaan sial—yang amat cocok dijadikan bahan propaganda. Seburuk apa pun caranya, mereka akan terus berteriak melawan Kekaisaran tanpa henti. Dan tak seorang pun ingin membaca rincian hukum rumit dalam koran.

Secara resmi, tentu saja, kedua negara menyatakannya sebagai kecelakaan, sebuah kesalahpahaman yang disayangkan.

Versi resmi dari kedua pihak menyebut bahwa peralatan komunikasi dan navigasi kapal selam Persemakmuran sudah rusak sejak awal sehingga kapal itu tersesat di perairan kekaisaran, gagal menangkap komunikasi radio unit penyihir kekaisaran yang berjaga di daerah itu, lalu melakukan penyelaman latihan sesuai jadwal. Kemudian, akibat tembakan peringatan sesuai hukum perang, tekanan air yang tinggi menghantam lambung kapal selam. Hampir hancur, kapal itu melakukan manuver darurat ke permukaan.

Lalu kedua pihak, sambil menyiratkan bahwa lawannya yang bersalah, mengeluarkan kesimpulan ambigu: akibat operasi penyelamatan oleh penyihir kekaisaran, banyak awak terluka yang dirawat di rumah sakit kekaisaran, tetapi bagi yang terluka parah, upaya itu sia-sia, dan mereka tewas. Dikonfirmasi pula bahwa mekanisme darurat gagal berfungsi tepat waktu, dan kapal selam akhirnya tenggelam karena kebocoran. Selain itu, kedua negara sepakat bahwa kehilangan nyawa itu disesalkan, dan perlu dibahas langkah pencegahan agar tak terulang.

Menurut kisah resmi itu, insiden lebih menyerupai karamnya kapal daripada tenggelam akibat serangan. Secara politik, artinya kedua belah pihak mengakui kesalahan, namun bersepakat mencari jalan bersama mencegah kecelakaan serupa.

Namun jika Persemakmuran menghendaki, mereka bisa melukiskan gambaran yang jauh lebih sederhana:

Kekaisaran Menenggelamkan Kapal Persemakmuran

Itu akan lebih dari cukup untuk menyulut kemarahan rakyat. Ibarat menyiram bensin ke api yang sudah berasap. Inilah sebabnya Kantor Luar Negeri Kekaisaran sangat gelisah menghindari memburuknya situasi.

Tidak, lebih tepatnya, semua orang sudah tahu. Semua menyadari bahwa dunia sedang bertanya: apakah kekuatan lain akan membiarkan Kekaisaran jadi satu-satunya pemenang dan mengundang lahirnya negara hegemon, ataukah akan turun tangan demi menjaga keseimbangan kekuatan?

Jadi ini hanyalah dalih. Tak lebih, tak kurang. Sesungguhnya semua pihak sudah bersiap diri. Dengan penilaian waras, hal itu amat jelas.

Para pembuat kebijakan di Kekaisaran maupun di Persemakmuran tahu bahwa benturan antara kedua negara hanyalah soal waktu.

Dengan demikian, penanganan terhadap Mayor von Degurechaff—hanya seorang perwira penyihir—bukanlah prioritas utama.

Intinya, ini politik. Namun akibat semua ini, keberadaannya memang menjadi agak rumit. Maka pengiriman ke Rhein dapat dimaklumi. Dalam satu sisi, memang itulah tempat yang sejak awal diinginkan Letnan Jenderal von Zettour dan von Rudersdorf untuk menempatkannya, sehingga kini dapat dilakukan tanpa menimbulkan kecanggungan.

Staf Umum mengirimkanku dengan harapan hasil. Para diplomat berharap aku tidak menimbulkan masalah lagi. Kalau bisa, mereka ingin aku mati di sana. Dengan begitu, para perwira hukum pun terbebas dari sakit kepala ini.

Bagaimanapun, ketika semua pihak sudah sepakat mengirimnya dan pasukannya ke barat, Iblis dari Rhein menyeringai.

Dan situasi di garis depan itu pun semakin menjadi neraka.

---

5 APRIL TAHUN KESATUAN 1925 GARIS DEPAN RHINE

Hidup dengan peluru artileri sejak sarapan hingga menjelang makan siang. Bangun dan mendapati rekanmu yang tidur di sebelahmu sudah menjadi mayat—sebuah "keanehan" yang begitu biasa terjadi di garis depan paling maju. Jika lengah di parit, kau pasti akan terbakar. Itulah mengapa kau harus tetap tersenyum, menjaga akal tetap waras, dan memperhatikan kesehatanmu. Katanya, perang tak bisa dijalani dengan senyum, tapi perang tanpa senyum justru lebih berbahaya.

Jika pasukan kehilangan kemampuan untuk tersenyum, itu pertanda buruk. Saat-saat seperti itu, yang penting adalah memastikan mereka tak tenggelam dalam minuman. Dan jika tak ingin jadi sasaran penembak jitu, kau harus rela melepas rokokmu.

Seiring pikiran itu melintas, Tanya tiba-tiba tersadar bahwa ia patut menepuk bahunya sendiri: ia bahkan tak tergoda minuman meski persediaan alkohol hasil sitaan menumpuk. Di batalion, hanya dia dan Letnan Serebryakov yang masih bisa menikmati minuman keras dan tembakau, meski tanpa jatah resmi. Rupanya ada yang masih peduli pada mereka; bahkan kartu remi dan permen pun masih mengalir.

Sambil memiringkan kepala, Tanya bertanya-tanya apakah kaum perempuan diam-diam lebih cocok menghadapi jenis perang macam ini. Ia kembali diingatkan betapa kerasnya kehidupan di parit. Bahkan prajurit yang paling setia pada negaranya bisa tergoda berkhianat bila satu-satunya hiburan—kartu—ikut dirampas. Puluhan ribu orang ditempatkan di garis depan dengan kondisi mental serapuh itu.

Hari paling "damai" di parit pun selalu disertai cuaca hujan dengan kemungkinan peluru artileri jatuh. Selain gangguan penembak jitu dan tembakan pengacau, mereka hanya bisa berbaring di tanah basah dan lumpur—dan itupun masih ditoleransi hanya karena unit penyihir begitu sedikit.

Penyihir masih punya kelonggaran untuk mundur sebentar ke belakang, membersihkan diri, sebelum kembali diperas habis-habisan. Dan pada hari cerah, dengan jarak pandang yang baik, pertempuran besar yang haus darah pun meledak. Dunia ini sudah mencapai tahap di mana satu divisi bisa menghabiskan seribu ton amunisi artileri dalam sehari. Bagaimana bisa ada ungkapan "artileri membajak, infanteri maju?" Setengah benar, mungkin, tapi nyatanya kami tak bisa maju.

Singkatnya, baik perlengkapan maupun manusia dipakai seolah tak berharga. Semakin dipikir, Tanya semakin ingin mengerkerut dahi. Pemborosan semacam ini mustahil ditandingi apa pun. Bahkan ia sendiri berpikir aset manusia semestinya dijaga lebih baik.

Begitu pasukan menerima panggilan wajib militer, biaya untuk melatih, melengkapi, dan memberi makan mereka sudah terlanjur dikeluarkan. Tapi perang ini memperlakukan mereka seolah produk grosir obralan. Meski rapat-rapat mereka bukanlah rapat pemegang saham, sungguh ajaib tak ada yang menggugat. Mereka menembakkan peluru sebegitu brutalnya sampai Tanya tergoda menginterogasi mereka berjam-jam hanya untuk tahu berapa banyak uang suap yang mengalir dari Grupper demi setiap peluru itu.

Tentu Tanya tak menyangkal pentingnya tirai tembakan artileri. Ia sepenuhnya memahami—meski tanpa pandangan mulia atasannya—bahwa barisan api itu vital. Tapi tetap saja, ia sudah berkali-kali menyarankan pemangkasan biaya. Belakang begitu kacau sampai-sampai Tanya sungguh bertanya, mengapa harus ada tujuh atau delapan standar berbeda hanya untuk meriam kereta api?

Lupakan saja soal kaliber 20 cm dan sebagainya. Tapi kenapa di antara meriam kereta api 80 cm pun ada variasi sebanyak itu, padahal dipakai ribuan orang? Berdasarkan pengalamannya yang buruk dengan para insinyur, Tanya menduga mereka hanya membuatnya karena ingin pamer. Ia takkan kaget bila benar begitu.

Mestinya sedikit saja ada minat untuk produksi massal.

Menghadapi pemandangan ini, wajar bila kompleks militer-industri justru mendambakan perang. Begitulah Jepang bisa booming di Perang Dunia I. Begitu pula "pengadaan khusus" saat Perang Korea. Tak mungkin penjualan tak meroket bila konsumen menggerus pasokan secepat ini. Contoh sempurna hukum permintaan-penawaran. Pasarnya begitu menggiurkan, sampai-sampai Tanya sendiri nyaris tergoda mendirikan perusahaan militer swasta.

Ah, betapa dinginnya. Jika mereka hendak menyia-nyiakan kami begini, setidaknya gaji harus dinaikkan. Mereka punya uang untuk menembakkan peluru ini ke arah Republik seolah membuang air, entah berapa biaya satu tembakan. Harusnya mereka sedikit memikirkan kesejahteraan "pegawai." Tanya juga ingin lebih dari sekadar permen dan camilan.

Tenggelam dalam pikiran wajar seorang pekerja inilah Tanya dikejutkan oleh pemberitahuan administrasi dari Letnan Serebryakov.

"Mayor, kami menerima kabar bahwa para penyihir baru sudah tiba di komando grup. Mereka meminta Anda segera datang untuk meninjau mereka…"

"Penyihir baru? …Meski aku ingin mengisi batalion, faktanya kita tak kehilangan siapa pun." Nol korban jiwa. Tanya bermaksud menjalankan manajemen paling hemat di garis depan Rhine yang gila ini, jadi ia tak paham kaitan antara batalionnya dan rekrutan baru. "Apa mungkin mereka salah menempatkan unit ini? Atau pesannya salah alamat?"

"Maaf jika lancang, saya sudah memastikan sendiri… tidak ada kesalahan, Nona."

Aku bingung. Aku bahkan tak mengajukan permintaan pengganti. Tapi Letnan Serebryakov menegaskan tak salah dengar, ia sudah mengonfirmasi. Jadi Tanya harus berpikir. Adjutannya mengerti betul bahwa batalion tanpa korban tak perlu pengganti. Pihak komando pasti lebih mengerti logika ini, jadi mustahil salah mereka.

Apalagi batalion ini sudah berstatus batalion augmentasi. Untuk unit di bawah komando seorang mayor, itu ukuran maksimal. Sulit dibayangkan tiba-tiba mendapat promosi beserta personel baru dalam kondisi seperti ini.

Satu-satunya kesimpulan logis: ada masalah yang menunggu.

Kenapa? Aku orang baik, hemat biaya, taat aturan. Kalau Takdir memang ada, bisa kupastikan dia brengsek. Dan kemungkinan besar dia sekongkol dengan Being X.

"Uh, ini belum pasti… hanya rumor… tapi kudengar Komando mungkin ingin kita bertindak sebagai unit instruktur."

"Apa? Dari mana kau dengar itu?"

"Seorang teman seangkatan di Korps Taruna kini ditugaskan di Komando sebagai pengamat di Rhine. Dia memang di sektor berbeda, tapi… dalam surat pribadi, dia menulis, 'Kudengar kau akan jadi pengajar. Selamat bekerja.'"

Mendengar rumor masuk akal dari koneksi pribadi macam ini, Tanya refleks meminta klarifikasi.

"Letnan, telinga temanmu terlalu tajam. Tapi bukan sesuatu yang perlu diambil hati."

Tugas melatih rekrutan yang belum terbiasa medan perang… Memang agak terlambat, tapi rupanya ada juga yang akhirnya sadar betapa tingginya angka gugur prajurit baru. Wajar, tapi bagaimana bisa mereka menyimpulkan bahwa kami yang harus jadi instruktur?

"Tapi unit instruktur? Jika benar… Tidak, dengan perang masih seperti ini, kurasa mereka takkan menarik kita ke belakang. Jadi maksudnya kita melatih bocah-bocah baru di garis depan?"

Salah seorang anak buah Tanya mendengus tak percaya. Tepat sekali. Rekrutan segar di medan tempur hanyalah beban mati—bahkan tak berguna sebagai tameng hidup. Sejujurnya, mereka sebaiknya dipindahkan jauh-jauh.

Aku tak mau ada yang menghalangi, tapi mereka malah memberiku rekrutan untuk dilatih? Rasanya aku ingin menjerit dan menyuruh mereka datang sendiri ke garis depan, lihat dengan mata kepala mereka apakah itu mungkin.

Namun sebelum Tanya sempat melontarkannya, Letnan Pertama Weiss sudah berteriak lebih dulu. "Tak masuk akal. Jadi kita disuruh menjadi pengasuh bayi sambil berperang?!"

Semua ikut ribut, melampiaskan kejengkelan. Ya, mereka orang jujur. Dan sebagai sesama penghuni parit, Tanya bisa bersimpati.

"Jadi kita harus menahan hujan peluru demi mereka? Pernahkah kau dengar kebodohan macam itu?"

"Yah, umm… semua orang juga pernah jadi rekrutan baru dulu…"

Tetap saja, komentar hati-hati Letnan Serebryakov itu benar. Menjaga pemula panik memang pekerjaan menyebalkan, tapi semua orang pernah di posisi itu. Lebih jauh lagi, Tanya sendiri pernah bertempur di Rhine sambil mengasuh pemula.

Mungkin karena pengalaman itu, markas besar kembali mendorong beban ini kepadanya.

"Ya, benar juga. Aku dulu yang melatihmu di Rhine, Letnan."

"Benar, Mayor. Saya bisa sejauh ini berkat Anda."

Mengingat bahwa, bertentangan dengan perkiraannya, ia berhasil menemukan seorang bawahan yang berguna, mungkin kali ini pun ia bisa menggali mutiara.

"Ini mungkin kasar, tapi latihan mayor dulu itu sangat keras. Saya tak habis pikir bagaimana Anda bisa…"

"Apa itu, Letnan Weiss? Kalau ada yang ingin dikatakan, katakan saja."

"Ah, ti… tidak—maafkan saya!"

Dari wajah anak-anak buahnya yang saling berseteru, Tanya bisa melihat mereka setidaknya akan menanggung beban rekrutan baru. Dan ini perintah, bagaimanapun. Tanya dengan berat hati bersiap. Ia harus memaksakan diri untuk menerima tugas itu.

Alasan ia tak bisa berpikir positif: ia tahu realitas. Mereka akan mencampakkan rekrutan ke dunia di mana kau bisa gila jika tak sanggup menahan hujan tembakan penekan. Tanya sudah bisa membayangkan ingin mencabik rambutnya sendiri begitu ada pemula yang berulah di parit atau barak.

Kalau di barak, masih bisa dilempar ke staf medis di belakang. Tapi jika panik di garis depan, waktu takkan cukup. Apa yang harus kulakukan?

Lebih parah lagi, panik itu menular. Jika satu wajah tampan pemula berubah jadi tangisan berair mata, lalu para prajurit yang sudah bertahan lama ikut ribut, aku takkan bisa mengendalikannya. Kalau ada yang muntah, itu bisa memicu reaksi berantai tak bisa ditoleransi. Dalam skenario terburuk, aku terpaksa mendiamkan mereka dengan sekop.

Sekop adalah alat luar biasa untuk pendidikan rekrutan—bisa untuk mengubur limbah mereka, menutup mulut mereka, bahkan jika perlu… mengubur mereka sekaligus. Dari parit, barak, hingga kuburan—selalu berguna.

"Baiklah. Kalau itu memang tugas kita, maka tak ada pilihan lain." Tapi perintah adalah perintah, dan sejauh ini belum resmi turun. Penting memastikan. "Untuk saat ini, mari kita tanyakan langsung pada Komando. Kalau benar, berat memang, tapi harus dijalani. Kita akan lakukan semaksimal mungkin!"

Jika aku meminta konfirmasi, aku akan tahu apakah mau atau tidak. Bila benar kita akan membesarkan para bocah hijau itu, maka harus dilakukan dengan cara yang tidak menghancurkan punggung kami. Tanya menegakkan diri. Tak mungkin menggendong mereka selangkah demi selangkah.

Tentu aku tahu menyia-nyiakan sumber daya manusia adalah kebodohan. Justru karena itu, aku ingin melakukannya hanya sebatas tidak memberatkan diriku.

"Di sini Mayor von Degurechaff. Mengenai para penyihir baru itu…"

Jadi Tanya membuat tebakan sederhana dan langsung mendapat konfirmasi.

Singkatnya, misi yang diberikan pada mereka adalah untuk "menghajar" para pemula ini. Dari percakapan telepon, Tanya cukup yakin bahwa unitnya akan melatih mereka.

Maka hal pertama yang harus dilakukan adalah membawa mereka mengamati garis tembak secepat mungkin. Tanya cukup lega karena batalionnya sepertinya tidak akan dilemparkan ke tempat yang benar-benar berbahaya.

Garis depan akan mengajarkan mereka realitas jauh lebih baik daripada sejuta kata penjelasan. Rupanya, pasukan Tanya juga setuju.

Baiklah, seharusnya aku memikirkan jadwal pelatihan—itulah yang semestinya kupikirkan.

Ya, memang itu yang seharusnya kupikirkan.

"Para Tuan, selamat datang di front Rhine!"

Rekrutan baru dikirim jauh lebih cepat daripada yang ia perkirakan. Tanya benar-benar bingung saat menyambut mereka.

Jika Komando melakukan sesuatu dengan cepat, itu tidak normal. Itu sebuah anomali, dan kau harus bersiap menghadapi yang terburuk.

Di ketentaraan, tidak perlu khawatir soal kekacauan prosedur administratif Komando adalah sebuah kejanggalan yang seharusnya membuatmu waspada. Perbekalan bisa tertunda, bala bantuan bisa terlambat, tapi masalah? Itu akan langsung mereka kirim. Dengan kata lain, efisiensi Komando adalah kabar buruk.

Itulah sebabnya bahkan Tanya ingin merobek rambutnya karena kelompok pemula yang dipaksakan padanya. Meskipun ia tahu itu tidak pantas, ia menjadi jengkel dan mengernyit.

Dia sudah mempersiapkan diri, tapi… kenapa personel pengganti ini begitu hijau? Letnan Weiss dan yang lainnya semua mengerang saat meneliti riwayat para rekrutan yang ditugaskan.

Mereka bukan datang untuk pelatihan ulang atau alih senjata—mereka benar-benar selembar daging mentah segar. Kami diberi rekrutan mentah, yang satu-satunya fungsi mereka adalah umpan gilingan daging, lalu disuruh, "Jangan hancurkan mereka! Ubah mereka jadi potongan steak yang bisa bertarung!"

"Aku instruktur kalian, Mayor Penyihir von Degurechaff."

Kalau memang begini jadinya, seharusnya aku tidak pernah ditugaskan di unit instruktur di Pusat. Penelitian Teknologi pun bukan tempat kerja yang layak, dan Type 95 Elinium adalah satu alasan lagi yang membuat kepalaku sakit. Sepertinya aku tidak pernah bisa memanfaatkan peluang promosi dengan baik. Aku hanya berakhir dengan semakin banyak koneksi sialan. Tanya tidak bisa menahan keluh kesah atas keadaannya.

"Seperti yang kalian tahu, Rhine adalah neraka. Itu ibarat kuburan."

Ia tersenyum lemah, sambil berpikir betapa buruknya jika semua "daging segar" ini mati berjatuhan, lalu menggambarkan medan tempur dengan jujur sebagai peringatan. Akan lebih baik jika mereka sudah menerima sedikit lebih banyak pelatihan yang benar-benar berguna untuk situasi ini; tentara yang tidak mengerti hanya akan jadi beban. Tapi di sisi lain, itulah alasan kenapa seseorang memutuskan untuk menjadikan mereka pasukan tempur yang layak dengan misi pelatihan ini.

"Untuk lebih jelasnya, inilah front Rhine yang indah, tempat Tentara Republik akan mengadakan pesta penyambutan berkala untuk setiap tubuh tak berguna yang pantas dibuang, dan kalian bisa dapat promosi dua pangkat dalam waktu singkat."

Tetap saja, tingginya angka korban di garis Rhine hanya bisa disesali. Itu masalah mendasar. Aku hanya seorang mayor, tapi semua perwira di sini ketika aku datang sibuk mendapatkan promosi anumerta ganda atau, kalau beruntung, dipindahkan atau dikirim ke belakang.

Tanpa kusadari, sebagai seorang mayor, aku sudah lebih dekat ke puncak struktur komando daripada bagian bawahnya.

Oh, persaingan di pasar tenaga kerja garis Rhine sangat sengit hingga bisa membuatmu pucat. Apa yang akan Darwin katakan jika melihat ini? Apakah ini perkembangan akhir dari teori evolusi? Atau justru tempat tandus di mana teori evolusi runtuh? Memang pertanyaan yang menarik.

"Jadi siapa pun yang ingin jadi pahlawan sebaiknya main-main saja dengan para penembak jitu."

Menghabiskan waktu berbicara dengan idiot yang tidak mau mendengar hanyalah sia-sia, dan membiarkan mereka tetap ada hanya membuang-buang perbekalan. Hal terbaik yang bisa mereka lakukan adalah memaksa penembak jitu musuh menghabiskan peluru. Jika aku bisa menyingkirkan idiot sekaligus melelahkan penembak jitu musuh, itu bukan kesepakatan yang buruk.

"Untuk sisanya. Lakukan yang terbaik agar tidak menghalangi."

Ya, kalau mereka mengikuti instruksi, setidaknya mereka bisa berperan sebagai penolak peluru.

"Baiklah, para Tuan, kita mungkin hanya akan bersama sebentar, tapi mari kita rukun."

Kira-kira begitu saja. Nah, sekarang waktunya bekerja sesuai bayaran.

Sekop itu hebat. Sekop adalah inti dari peradaban.

Dengan sekop, kau bisa menggali lubang cukup dalam untuk bersembunyi. Atau, kalau mengumpulkan banyak orang dengan sekop, kau bisa menggali parit yang bagus.

Kalau kau ubah sedikit sudut pandang, kau bahkan bisa menggali terowongan. Kau bisa menghancurkan parit musuh yang kokoh dengan taktik penggalian (meski jarang dipakai).

Sekop adalah sahabat baik setiap jenis tentara. Dan sekop adalah perlengkapan terbaik untuk pertempuran jarak dekat di parit.

Lebih panjang daripada bayonet, lebih mudah digunakan daripada senapan, lebih kokoh daripada alat lain. Bukan hanya itu, mereka juga sangat murah dibuat, jadi sempurna untuk produksi massal. Plus, aku tidak perlu terlalu khawatir merusak pikiranku.

Inilah dia, perlengkapan ideal. Inilah titik yang seharusnya dicapai umat manusia. Peradaban telah mengembangkan sekop sebagai instrumennya.

Yang terpenting, sekop tidak bergantung pada sihir, sehingga optimal untuk pembunuhan diam-diam. Dengan sekop, mungkin untuk "mendidik" para bebal yang bergantung pada pemindaian sihir—klang! Kita bisa bilang ini barang yang tak tergantikan untuk serangan malam. Tentu saja, ini juga alat serbaguna yang sangat baik kapan pun.

"Sekop sungguh alat yang lahir dari peradaban," gumam Tanya, memimpin unitnya mengucapkan "selamat malam" pada musuh dengan sekop mereka. Dalam patroli malam ini, mereka berlumuran lumpur saat merayap di tanah. Tujuannya jelas—ini bagian dari pendidikan rekrut baru yang ia emban.

Tanya tidak keberatan memaksa mereka merayap di kubangan ini jika itu bisa menanamkan pada mereka bahwa satu-satunya yang bisa berpakaian rapi di Rhine hanyalah para idiot atau mayat pahlawan yang dikirim ke belakang.

Dia tidak mau, tapi jika itu perintah, dia tidak punya pilihan. Maka, dengan enggan ia merayap di depan kelompok, menggigit bibir.

Kalau bisa, dia ingin kembali saat itu juga, tapi dia terus maju menyeberangi tanah tak bertuan. Karena para penembak jitu sudah mengorbankan hari libur mereka demi mengejar penghargaan kehadiran sempurna, ia dan pasukannya, mengenakan kamuflase abu-abu ala "dress code" parit, menyeret diri inci demi inci menuju kamp musuh.

Merayap maju, setegang tikus, dengan helm baja berat di kepala adalah puncak penghinaan. Betapa tersiksanya, bahwa yang bisa kita lakukan hanyalah merayap begini, berlumuran lumpur! Tempat ini benar-benar tidak higienis; bau busuk mayat tak terambil dari kedua belah pihak membuat hidungku mati rasa. Agh, betapa menjijikkannya! Meski kondisi begitu parah hingga aku meratap, pekerjaan tetaplah pekerjaan. Aku mengutuk kesia-siaan pekerjaan 3D (dirty, dangerous, demeaning/kotor, berbahaya, merendahkan) ini dari lubuk hatiku.

…Kenapa atasan selalu meminta yang mustahil?

Untuk mengetahui bagaimana semua ini bermula, kita harus mundur beberapa jam ke awal.

Apakah kau melihatnya sebagai komedi atau tragedi akan tergantung pada sudut pandangmu. Bagaimanapun, insiden ini menjadi momentum bagi peningkatan signifikan dalam rantai komando dan saluran komunikasi Angkatan Darat Kekaisaran.

"Aku ingin mendengar pendapatmu soal peningkatan kapabilitas pertempuran lapangan."

Staf Operasi yang ditugaskan di Komando dan datang menemui Tanya hari itu menyerahkan sebuah edaran. Tercantum di sana tingkat kerugian prajurit baru yang ditempatkan di garis Rhine sebagai pengganti, dipisahkan berdasarkan cabang layanan. Yang langsung menonjol bagi Tanya saat memindainya adalah betapa tingginya angka-angka itu. Bisa dibilang, prajurit baru Kekaisaran benar-benar berjatuhan seperti lalat.

Sebagai perwira garis depan, ia menaruh edaran itu di mejanya dan duduk dengan helaan napas. Beginilah tingkat kerugian jika kau harus menurunkan rekrutan baru dengan pelatihan dan pengalaman yang tak memadai.

"Kalau boleh jujur, ini pasti akibat pelatihan yang kurang dan pendidikan yang dipercepat. Menurutku, alih-alih belajar cara berbaris dalam formasi, mereka perlu dilatih cara berbaring di parit. Selain itu, mungkin mereka juga harus 'dibaptis' dalam bagian tersulit dari perang parit di bawah kondisi yang meminimalkan korban."

"Mereka memang masih jauh dari berguna, tapi… kita juga tidak bisa sembarangan menempatkan mereka di depan senapan mesin."

Melihat sang kolonel penting itu menghela napas, menyesap kopinya, lalu meringis, wajah Tanya menegang. Di garis terdepan, tidak ada cara untuk memberi "hospitality" yang memadai. Ia sudah memberi Letnan Serebryakov perintah ketat untuk membuat kopi terbaik yang bisa dibuat, tapi mungkin tidak cukup bahan bakar untuk benar-benar mendidihkan kapur di airnya. Kolonel itu sudah minum, jadi ia ikut minum juga, tapi rasanya benar-benar tercemar.

"…Tuan tidak suka rasanya?"

Namun begitu, ia menunjukkan seperti apa kondisi garis depan dengan mengisyaratkan bahwa memang beginilah rasanya.

"Aku tidak bermaksud mengomel soal kondisi di depan, tapi… ini mengerikan. Mengingatkanku pada ruang makan di Kantor Staf Umum pusat."

"Di sana mereka mungkin lebih beruntung dengan airnya. Ini garis tembak," gumam Tanya, menatap sedih ke dalam kopi yang sudah "disembelih," memancarkan sedikit keputusasaan. Bahkan rasa barang-barang mewah pun tidak sama di garis depan. Mereka berada di dunia lain, jauh dari kehidupan sipil sehari-hari. Tidak akan mudah melempar rekrutan baru dengan pelatihan kilat dan membuat mereka menyesuaikan diri.

"Jadi kau bilang mereka sebaiknya diberi pengalaman ini di belakang?"

"Kalau bisa, mereka harus diberi tahu realitas parit agar hancur ilusi mereka tentang perang. Para bebal yang ingin menjadi pahlawan akhirnya membunuh bukan hanya diri mereka sendiri tapi juga rekan mereka."

Pemula yang mencoba sok pahlawan di parit benar-benar tolol. Kalau salah satu dari mereka terbawa adrenalin dan melakukan sesuatu yang gegabah atau menyerbu sia-sia, paling tidak kerusakannya hanya menimpa dirinya. Tapi sering kali mereka tega menyeret orang lain juga.

Belum lagi, meskipun kau tidak bisa sepenuhnya menyalahkan mereka karena fenomena fisiologis, aku juga sudah sangat muak dengan mereka yang mengotori parit dengan segala macam "ketidakmampuan menahan" dan menciptakan sarang berbagai penyakit menular.

"Itulah sebabnya, dengan anak-anak muda ini, aku hanya…" Tanya mengeluh, menenggelamkan kepala di tangannya. "…Hmm? Apa tadi, Tuan?"

"Oh, aku hanya merasa aneh, mengingat betapa mudanya dirimu, Mayor."

"Yang punya karier militer masih seumur jagung itu tidak berguna. Tentu saja, aku yakin itu cerita lain kalau mereka bisa bertahan dua bulan di Rhine."

"Ahh, tidak… uh, lupakan saja yang kukatakan. Mari kita kembali ke topik utama."

Aku tidak terlalu mengerti kenapa sang kolonel berbicara dengan hati-hati. Kehendak atasan memang tidak selalu masuk akal. Tanya dengan sopan menuruti perintah dan beralih ke topik utama tanpa bertanya lebih jauh.

Usia Tanya mungkin terlihat aneh secara objektif, tapi secara subjektif, ia hanya bisa memikirkannya dalam hitungan tahun dinas, sama seperti seseorang mengatakan sudah berapa lama ia bekerja di sebuah perusahaan.

"Ya, Tuan. Saat ini, kita tidak bisa berharap ada pertempuran bergerak berskala besar. Yang bisa mereka lakukan hanyalah bersembunyi di parit dan mungkin menembakkan senjata mereka."

Bagaimanapun juga, gagasan Tanya soal tingkat kerugian, bahwa angka itu akan membaik sedikit setelah para prajurit terbiasa, adalah pemikiran yang sangat realistis—yaitu, begitulah jalannya perang total, di mana kompetisinya secara harfiah adalah menghancurkan sumber daya manusia. Meskipun masuk akal untuk khawatir soal banyaknya korban, menurutnya mereka terlalu berlebihan mencemaskan efek kerugian itu terhadap garis pertahanan. Bagi Tanya, kerugian yang tidak cukup besar untuk memengaruhi kemampuan organisasi dalam terus bertarung masih bisa ditoleransi.

Dengan kata lain, kalau prajurit berguguran secepat yang digambarkan dalam All Quiet on the Western Front, maka semuanya memang akan jadi "sunyi senyap" seperti judul film itu.

Bahkan jika divisi melakukan serangan malam seperti dalam Perang Rusia–Jepang, akan mudah untuk menghalaunya dengan senapan mesin dan dukungan penyihir. Yah, tentu saja harus realistis: korban pasti tetap ada dalam batas tertentu, karena para pemula masih belajar.

Lagi pula, aku sendiri bukan orang yang akan mati. Bukan berarti aku ingin mereka mati kalau bisa dicegah.

"Memang benar. Sulit membayangkan akan pecah pertempuran bergerak berskala besar. Kau mungkin benar bahwa kita harus fokus mengajarkan hal lain, tapi…"

Akhirnya, sang kolonel tidak mengatakan apa pun yang membantah perkataan Tanya.

Yang terdengar dari jawaban penuh penderitaannya hanyalah perasaan tidak enak dan kebencian terhadap cara bertarung ini—cara yang melibatkan pengiriman begitu banyak anak muda untuk mati.

"…kita juga tidak bisa mengabaikan kerusakan akibat pertempuran kecil ini. Masalahnya adalah meskipun kerugian kecil, lama-lama menumpuk. Yang paling buruk, semangat juang akan mulai melemah."

"Tapi kalau pertempurannya kecil, seharusnya tidak menyebabkan kerugian terlalu banyak."

Tunggu sebentar. Sepertinya hanya Tanya satu-satunya di ruangan itu yang menganggap kerugian itu masih dalam batas wajar. Dibandingkan angka korban di Perang Dunia I, pertempuran kecil ini bahkan terasa sepele. Tapi orang normal tidak akan menggunakan Perang Dunia I sebagai patokan meskipun mereka mengetahuinya, dan kalaupun tidak, mereka pasti akan bergidik ngeri membayangkan angka yang tak masuk akal itu.

"Paling-paling, serangan pengacau hanya akan menewaskan mereka yang memang akan mati juga, jadi rasanya bukan masalah besar."

Serangan serius terlalu berisiko, jadi musuh paling banter bisa mengerahkan satu kompi infanteri untuk serangan mendadak. Batas maksimal penyihir adalah serangan pengacau sebesar satu batalion. Kalau hanya itu, korban di pihak kekaisaran tidak akan terlalu tinggi.

Berpikir sampai situ, Tanya menenggak habis kopi hambarnya lalu meraih permen mint untuk membersihkan rasa di mulut.

Kesenjangan besar antara veteran dan pemula hanya bisa dijelaskan oleh seberapa banyak pengalaman tempur nyata yang sudah mereka jalani. Tingkat kerugian di unitku jauh paling rendah, tapi pengganti dari unit lain mulai terluka, meskipun perlahan. Prajurit yang pertama kali merasakan tempur di Perang Dacia yang mudah itu beruntung. Kalau pertama kalinya seberat ini, pasti butuh waktu lama untuk terbiasa.

"Mayor von Degurechaff, bukankah menurutmu dengan instruksi dan pengarahanmu tingkat kerugian bisa ditekan?"

"Jika Anda memerintahkan saya, saya akan berusaha semaksimal mungkin, tapi pada akhirnya satu-satunya pilihan untuk para pemula adalah mengajarkan mereka tahap demi tahap."

Di medan tempur dengan sniper, menunjukkan contoh orang bodoh yang tertembak jauh lebih meyakinkan daripada sekadar berkata, Jangan julurkan kepalamu! Meskipun parit mengurangi efektivitas meriam lapangan, tembakan terkonsentrasi artileri berat berkaliber besar bisa meruntuhkan beton bertulang, jadi jangan semua bersembunyi di tempat yang sama! Mereka akan cukup paham kalau disuruh mengangkut mayat operator radio malang yang mati tertimbun hidup-hidup di dalam bunker.

Ambil contoh menulis alfabet. Kalau tidak diajarkan langkah demi langkah, A-B-C, dan benar-benar dilatih menulisnya, itu tidak ada gunanya. Saat memikirkannya, Tanya sadar bahwa batalionnya sendiri pun belum mengalami beberapa hal di Rhine.

Hambatan parit jelas mengubah cara pertempuran malam dilakukan. Itu juga mengubah cara berjaga, dan para pengganti jelas tidak terbiasa. Baik pemula maupun veteran harus menghadapi peringatan yang muncul setiap saat. Dan mungkin hal ini diperparah karena para penyihir jarang berada di parit pada siang hari.

"Itu benar juga. Dari yang kulihat, aku setuju kita masih bisa memperbaiki sedikit lagi," kata Tanya setelah merenung.

Dengan kata lain, ia harus melatih para rekrutan baru dengan asumsi bahwa mereka tidak terbiasa dengan kondisi di parit. Perubahan lingkungan dan premis memang menuntut pelatihan ulang.

"Ya, benar sekali. Pertempuran mereka di lingkungan di mana mereka tidak bisa mengandalkan sihir sungguh menyedihkan untuk dilihat."

Tanya mengangguk mendengar pengamatan kolonel itu. Para penyihir dilatih dengan asumsi mereka akan selalu menggunakan pelindung dan perisai sihir, sehingga mereka benar-benar payah dalam pertempuran diam-diam. Pemandangan memalukan pemula yang secara refleks melindungi diri lalu justru jadi sasaran musuh membuatnya jengkel.

"Benar bahwa meski sudah diperintahkan keras untuk tidak menggunakan sihir di parit, masih banyak yang tanpa sadar membocorkan sinyal dan tertangkap musuh."

Saat mengingat hal itu, ia teringat pula pada insiden ketika satu unit hancur karena ada idiot yang membocorkan posisi mereka saat sedang bersiap… Memang ada penyelidikan, tapi apakah ada upaya meninjau ulang pelatihan pengganti setelah itu? Aha, memang masalah serius kalau kesalahan satu orang bisa melipatgandakan kerusakan. Dari logika yang tak dipahami orang lain, Tanya justru merasa terharu bahwa para atasan peduli pada perbaikan situasi.

"Anda khawatir bahkan dengan pertempuran kecil yang melibatkan rekrutan setengah matang ini?"

Benar, Hukum Heinrich. Selalu ada risiko bahwa membiarkan kesalahan kecil bisa berujung bencana besar. Dan Hukum Murphy mengajarkan kita tentang bahaya mengabaikan kemungkinan kegagalan. Manusia itu bodoh. Kalau ada cara untuk gagal, pasti suatu saat ada yang menemukannya.

Dalam hal ini… Tanya, kaget oleh kesombongannya sendiri, merasa jantungnya berdegup kencang. Atasan pasti cemas dengan para rekrut baru bukan tanpa alasan, melainkan karena mereka menemukan risiko yang ceroboh diabaikan para perwira di garis depan.

Betapa tajamnya. Aku harus mengakui, dari perspektif SDM, memang benar. Tidak ada jaminan masalah ini tidak akan semakin parah bila berkembang menjadi pertempuran besar, jadi kalau ada cara sekecil apa pun untuk memperbaiki, kita harus melakukannya.

"Itulah masalahnya. Pertempuran kecil sekalipun…"

Meskipun asumsi saat ini adalah tidak akan ada pertempuran besar, staf Operasi menekankan bahwa kerugian sekecil apa pun tidak bisa diabaikan, dan merasa (seperti orang baik pada umumnya) bahwa tingkat kerusakan ini, produksi massal mayat ini, tetaplah salah.

Sementara itu, Tanya mengangguk—sangat benar—atas semua ucapan kolonel, tapi tetap saja tidak melihat ada masalah pada kerugian itu sendiri. Menurutnya, masalah terbesar adalah banyak unit yang kualitasnya buruk karena dibentuk terutama dari pengganti.

Memang benar, meskipun peluang perang besar sangat kecil, saat ini mereka tetap membuka kemungkinan kegagalan dan menumpuk kesalahan kecil.

Setelah diperlihatkan masalah ini, kekhawatiran paling seriusnya adalah kasus nyata (meski jarang) ketika kesalahan satu orang menyebabkan kerusakan yang terlalu besar. Ia cemas pemula yang tak bisa berfungsi tanpa sihir bisa jadi sumber kegagalan dalam misi berisiko tinggi.

"Bukankah Anda pernah ikut operasi di Norden, di mana kalian tidak bisa mengandalkan sihir? Saya kira Anda tahu garis besarnya."

"Seperti kata Anda, Tuan. Saya malu mengakuinya, tapi saya akan mengingatnya saat mengajar nanti."

Permintaan langkah pencegahan kesalahan menunjukkan, dalam arti tertentu, organisasi masih berjalan sehat. Dalam kehidupan sipil, masalah biasanya bisa diselesaikan dengan memecat orang yang membuat kesalahan. Tapi di militer, kesalahan satu orang bisa berarti semua mati.

Satu untuk semua. Semua untuk satu. Pepatah yang benar-benar bijak. Kalau satu orang gagal, semua bisa mati, dan kalau semua gagal, perjuangan mati-matian satu orang pun tidak akan cukup untuk menang pada akhirnya.

"Tentang hal itu…"

Aku menghargai adanya pelatihan, tapi itu jauh dari cukup. Masalah sebenarnya adalah kurangnya pengalaman tempur nyata. Kolonel tampak bersemangat, mengira ia berhasil membuat Tanya memahami maksudnya. Akhirnya, ia dan Tanya pun masuk dalam salah paham aneh—tanpa sadar perbedaan pandangan mereka—karena sama-sama merasa sepakat bahwa memang ada yang harus dilakukan.

"Ya, apa itu, Tuan?"

"Bisakah kau memberi mereka pengalaman?"

Yang mereka butuhkan bukan perlindungan dalam operasi besar, melainkan pengulangan dan evaluasi dalam pertempuran kecil.

Itu juga yang Tanya yakini, jadi meski tidak mau, ia pun memutuskan untuk ikut serta dalam serangan tanpa sihir.

Ya, pengalaman tempur harus didapat bersama unit terlatih dengan tingkat kerugian sangat rendah. Pengalaman lebih penting daripada teori.

"Tuan! Pengalaman, benar."

Tidak ada gunanya melatih mayat. Tidak ada yang tahu kapan kesempatan untuk melakukan pertempuran bergerak besar, terobosan, atau operasi sulit seperti penyusupan akan datang. Selama itu bisa terjadi kapan saja, pasukan harus tetap terlatih agar bisa merespons perintah. Tanya pun menyesali kelalaiannya.

Aku tidak mau kehilangan anggota di unitku, dan kupikir kalau para pemula dibiarkan, medan perang sendiri yang akan menjadikan mereka prajurit tangguh. Tapi itu cara yang salah.

"Ya, kalau ada kesempatan melatih mereka di parit untuk sementara, aku ingin mereka bertarung bersama pasukanmu."

Memang benar, kalau batalionnya ikut ke parit bersama rekrutan baru sebagai unit instruktur, itu juga akan memperkuat garis depan. Kekaisaran benar-benar menguras habis orang-orangnya.

Kebenaran mengejutkan baru saja menyadarkan Tanya, bahwa dalam keanehan perang, ia pun terjebak dalam irasionalitas dan kemalasan.

Inilah kenapa perang itu buruk, pikirnya. Perang menumpulkan rasa kemanusiaan dan logika, lalu membuatmu gila dengan fantasi busuk.

Ketika pikiran itu melintas di benaknya, dia hampir saja menolak, berkata, Kau menyuruhku meninggalkan garis belakang dan melemparkan diriku ke parit? Dan bukan hanya itu, tapi juga membawa segerombolan beban mati dan melatih mereka? Dia ngeri melihat betapa tercemarnya pikirannya sendiri. Meskipun aku tahu bahwa bersikap terburu-buru dan berpikiran pendek kemungkinan besar akan menyebabkan kegagalan, begitu aku mengalaminya sendiri, aku benar-benar merasakan betapa mudahnya jatuh ke dalam jebakan itu.

"Dimengerti! Saya akan melakukan yang terbaik untuk melatih unit ini."

"Bagus. Saya akan menyiapkan perintah tertulis segera. Maaf atas tekanannya, tapi kami mengandalkan Anda."

"Ya, Tuan. Serahkan pada saya! Saya akan segera menunjukkan hasilnya."

Dan begitu, tanpa disadari keduanya bahwa terdapat kontradiksi yang jelas dalam pandangan mereka, Tanya bergerak maju untuk melaksanakan perintahnya.

Sambil menikmati makan malamnya dengan santai, dia memerintahkan para komandan kompi di bawahnya untuk bersiap menghadapi pertempuran malam dan berunding dengan pemimpin para rekrutan. Dia juga menegur pelayannya bahwa kentang yang disajikan sudah terlalu tua. Ketika pelayannya menjawab bahwa unit logistik lebih memprioritaskan pengiriman makanan kaleng, dia pun terpaksa mengalah… karena dia menyadari bahwa atasan mereka memang sedang fokus pada pemeliharaan jaringan logistik dan efisiensi.

Rel kereta ringan sudah menanggung beban sebanyak yang bisa ditangani, jadi kemungkinan mereka memprioritaskan makanan kaleng karena bisa tahan lama dan diangkut sesuai rencana yang sudah ditetapkan. Dengan kata lain, dia tak bisa berharap mendapat sayur segar atau daging maupun ikan segar dalam waktu dekat. Setidaknya, kalori yang didapat sesuai dengan aturan. Tetap saja… ketika menyadari hal itu, dia harus menerima kenyataan bahwa meja makannya yang sudah sederhana akan menjadi semakin suram.

Yah, sepertinya satu-satunya yang bisa mengharapkan makanan layak di medan perang hanyalah angkatan laut. Atau mungkin hanya pasukan kapal selam—katanya mereka diperlakukan dengan cukup baik. Tentu saja, semua hal lain dalam situasi mereka adalah yang terburuk…

Intinya, mereka mulai memprioritaskan kemudahan transportasi, dan itu masuk akal baginya. Dia jelas tak bisa membantah, jadi dengan tak ada hal lain yang bisa dilakukan, dia menutup masalah makanan dan melanjutkan rapatnya.

Begitulah betapa pentingnya kerja sama yang erat dan menjaga kepemimpinan dalam operasi yang akan datang. Bagaimanapun juga, disiplin dalam pertempuran malam biasanya diatur lewat sihir. Tetapi jika mereka melancarkan formula interferensi di tengah no-man's-land, mereka pasti akan terdeteksi; radio pribadi pun tidak akan dibagikan.

Bertarung dalam pertempuran malam dengan kondisi seperti itu bersama rekrutan baru benar-benar sangat sembrono.

Operasi Cakar Elang menuju Iran mungkin memiliki peluang keberhasilan lebih tinggi.

Haruskah kita membagi pasukan menjadi peleton-peleton otonom untuk serangan mendadak? Satu peleton penyihir Kekaisaran katanya memiliki kekuatan tembak setara dengan satu kompi infanteri biasa. Secara praktis, memang benar, kompi infanteri dan peleton penyihir kemungkinan bisa menimbulkan kerusakan dalam skala yang sama.

Selain itu, ini pertempuran malam. Jika kita menghantam mereka dengan kekuatan sebesar itu dalam kegelapan, bisa dipastikan kekacauan besar akan terjadi. Tapi kemudian untuk melanjutkan pertempuran, kita harus bergantung pada sihir. Itu berarti begitu kita melancarkan formula interferensi, ada kemungkinan musuh mundur dan seluruh area dihujani bombardir tanpa pandang bulu.

Yah, atau kita bisa saja ditembaki senapan mesin.

Haruskah kita menyusup sebagai kompi? Itu realistis, tapi dengan tingkat kesulitan yang jauh lebih tinggi. Tidak buruk juga jika setiap kelompok melakukan pengelabuan lalu menyerang dari empat lokasi berbeda. Tapi mengirim semua empat kompi berarti bahkan sebagai batalion yang diperkuat, kita tak akan punya cadangan. Aku ingin tetap berada di belakang dengan dalih memimpin pasukan cadangan, jadi aku tak bisa menerima rencana itu.

Aku akan memimpin Kompi Pertama yang paling terlatih. Akan lebih baik bagiku jika semua kompi lain yang melakukan serangan, tapi para bawahanku justru mengusulkan rencana di mana Kompi Pertama menjadi kekuatan utama penyerang. Mereka ingin bergerak tanpa cadangan dan membiarkan yang lain melakukan pengelabuan.

Tujuan pertempuran malam kami adalah penculikan tentara musuh, yang relatif lebih mudah. Intinya, kami akan "mengundang" para penjaga musuh dari parit peringatan agar bisa diajak berbicara oleh Intelijen.

"Dengan kata lain, kalian semua ingin menghindari pertempuran sebanyak mungkin."

"Ya, Komandan. Jujur saja, tidak mungkin bertarung dengan rekrutan-rekrutan itu ikut serta."

…Kurasa memang penting untuk menghindari pertempuran. Perintahku sederhana. "Beri mereka pengalaman bertempur malam." Titik.

Jika kau tahu musuh dan tahu dirimu, kau tidak perlu takut menghadapi seratus pertempuran. Atau berusaha memahami satu sama lain dengan cara yang maju dan beradab. Untuk itu, sedikit pendakian malam demi mengundang tentara musuh tak terlalu buruk.

Tidak, itu tidak buruk. Yah, juga tidak bisa disebut baik. Kurasa hal ini tidak bisa dinilai hanya sekadar baik atau buruk.

"Aku khawatir soal kecepatan. Lebih dari apa pun, hal ini menuntut penarikan cepat." Tanpa sadar, aku sudah menyuarakan kekhawatiranku.

Yah, sebagai orang yang memimpin, aku harus mempertimbangkan dan bersiap untuk semua kemungkinan.

Aku tidak bisa begitu saja berkata, Ups, aku tidak memikirkan itu.

Jika aku bilang mungkin dilakukan lalu gagal, aku akan ditertawakan. Jika aku bilang mustahil, aku akan ditegur sebagai orang bodoh.

Aku terpaksa mengangkat kekhawatiran; kita harus memikirkan ini dengan serius. Setiap tentara musuh yang melawan tidak akan dibunuh, hanya dibuat pingsan. Yah, itu mudah bagi seorang penyihir. Kami mendapat banyak pengalaman praktis tentang bagaimana membuat orang "tidak mati tapi juga tidak hidup" di akademi militer dan pelatihan dasar. Para Daigongen dan Zusho yang terhormat ternyata sangat berguna.

Kali ini lawannya memang tentara, bukan petani, tapi secara teori hasilnya sama. Yah, sebenarnya aku lebih nyaman melakukannya pada warga sipil.

Kami juga bisa mengetuk mereka dengan sisi datar sekop. Jika mengayunkan sekop ke samping, itu memotong, tapi jika mengenai dengan bagian datarnya, langsung tumbang. Alat ini benar-benar praktis—sampai-sampai aku hampir ingin semua rekrutan hanya dipersenjatai dengan sekop.

Tapi apa yang akan kita lakukan begitu berhasil menangkap "tamu" kita? Jika parit peringatan mereka mengirim sinyal alarm, satu-satunya pilihan kita adalah bertarung atau kabur. Selama tujuan kita adalah mengambil tawanan, bertarung itu sia-sia. Dengan hanya mengandalkan kekuatan satu unit pengintai, melawan unit balasan dalam pertempuran parit adalah pertarungan penguras tenaga yang sama sekali tidak berguna. Dan jika kita terlambat mundur, kita benar-benar akan mati sia-sia.

Itulah sebabnya setelah mencapai tujuan yang ditetapkan, tidak ada alasan untuk tetap tinggal.

Jika pekerjaan sudah selesai, tidak ada yang lebih baik daripada langsung pulang.

Karena itulah kita bisa memprioritaskan kecepatan tanpa peduli pada sinyal mana yang sudah kita sembunyikan, lalu benar-benar terbang keluar dari sana dengan formula penerbangan. Tak ada cara yang lebih baik untuk melepaskan sinyal mana sekaligus kabur dari garis pertempuran selain formula penerbangan. Hidup formula penerbangan.

Kita harus berlari menyelamatkan diri selama beberapa menit, tapi jika gagal lolos, kita akan dihancurkan oleh hujan tembakan SOS.

Yah, cara lain untuk melihatnya: selama apa pun yang menghantam kita kena tepat sasaran, kita tak akan menderita.

Tapi bagaimanapun juga, semua orang ingin menikmati hidup.

Bahkan orang-orang yang ingin bunuh diri pun tidak dilahirkan dengan keadaan putus asa sedemikian rupa hingga ingin mengakhiri hidupnya. Jika mereka bisa percaya pada masa depan, manusia memiliki potensi luar biasa untuk membangun hari esok yang cerah dan damai. Manusia itu tak tergantikan; kita semua unik.

Setidaknya, aku tidak tahu soal orang lain, tapi aku tidak punya pengganti. Itulah sebabnya aku ingin bertahan hidup, apa pun yang terjadi. Tidak, aku akan bertahan hidup. Untuk itu, aku bahkan rela memuji iblis sebagai Tuhan demi bisa lari kencang beberapa menit itu.

Maksudku, kami akan saling memperhatikan saat mundur, tapi aku jelas tidak akan berhenti. Tertinggal berarti ditangkap jika beruntung atau mati dalam pertempuran jika tidak.

"…Yah, sepertinya Anda cukup gugup."

Ternyata, semua bawahanku memang agak gila. Aku menyebutkan kekhawatiran, tapi kenapa mereka malah membicarakan "cukup gugup"? Apakah aku salah ketika dulu merekrut sekumpulan pecandu perang untuk membentuk unit ini?

Aku ingin mengambil sedikit jarak. Aku mencari seseorang yang punya pendapat lain—pendapat normal. Ketika meneliti pasukan, aku melihat Letnan Serebryakov mengangkat tangan.

"Mayor, beberapa menit terakhir adalah bagian paling berbahaya, meskipun kita juga harus memberi dukungan kepada para rekrutan dalam perjalanan ke sana."

Ini adalah sudut pandang yang jauh lebih masuk akal. Kita akan baik-baik saja selama pendekatan, kecuali ada yang bersuara atau ada idiot yang melepaskan sinyal mana.

"Letnan, kau dan aku sudah cukup sering melihat para pemula berantakan di Rhine sampai membuatmu muak. Kau bisa menangani mereka, kan?"

"…Kalau perlu. Tapi, Mayor, saya akan berusaha sebaik mungkin untuk menutupi mereka agar hal itu tidak terjadi."

"Hmm. Baiklah, mari kita rangkum pendapat yang sudah kita bahas."

Mari kita kumpulkan kesimpulan yang paling masuk akal.

1. Lakukan segala cara untuk menghindari pertempuran.

Damai adalah yang terbaik, tentu saja. Tak ada alasan untuk menentang itu.

2. Kirim unit terkuat.

Ini menyebalkan, tapi dalam hal nalar militer, aku tak bisa membantahnya. Diterima karena kehati-hatiannya.

3. Jika tidak ketahuan, pendekatan mungkin dilakukan.

Penarikan akan berbahaya.

Inilah poin-poin yang kami kumpulkan. Mungkin inilah rencana paling aman. Artinya, jika kita mengatur kemajuan yang stabil dan penarikan cepat, kurasa seharusnya tak ada masalah. Dan jika pasukan membuat kekacauan, akan ada perwira dan bintara dengan banyak pengalaman di Rhine yang bisa menopang mereka. Letnan Serebryakov dan lainnya yang naik pangkat dari bawah mungkin akan melaksanakan tugas itu dengan baik.

"Baik. Saya akan memberi tahu mereka tentang rencana ini."

Sekarang, penyihir baru mana yang akan kuajak untuk piknik pertama kita?

Makan malamnya kentang. Dan sedikit daging segar. Semua sisanya makanan kaleng. Biasanya penyihir diperlakukan dengan baik, dan aku bahkan seorang perwira, tapi beginilah yang kudapat. Ini masih di pangkalan belakang, jadi katanya ini sudah sisi yang "bagus"; aku penasaran bagaimana situasi di garis depan. Kudengar Tentara Besar sedang menekan garis musuh, tapi Logistik pasti masih kesulitan.

Dengan pikiran-pikiran itu, Letnan Satu Penyihir Warren Grantz, yang baru saja diangkat menjadi perwira, makan makanannya dengan cepat seperti layaknya tentara. Makanannya lebih baik dibanding jatah di medan latihan.

Setidaknya itu bisa mengenyangkan perutnya, dan lidahnya tak menolaknya. Tapi meskipun makanannya lebih baik, dia sebenarnya sudah merasa murung selama beberapa hari terakhir. Bagaimanapun juga, dia dikirim ke distrik dengan pertempuran paling sengit.

Tidak, ketika dia meninggalkan akademi, kadang dia bahkan gemetar karena bersemangat dikirim ke Rhine. Dia bahkan berpikir akan meraih prestasi gemilang dan menjadi pahlawan.

More Chapters