Ficool

Chapter 22 - BAB 5—Lanjutan

Namun semangat itu mulai pudar semakin dekat kereta militer menuju distrik Rhine di garis depan.

Yang terlihat hanyalah kawah-kawah peluru dan benda-benda hangus yang melepuh.

Segala sesuatu yang ada di dalam pandangannya berwarna abu-abu. Semua itu, ladang-ladang yang terbakar. Ketika bau menyengat mulai menusuk hidungnya, semangatnya runtuh. Dan dentuman meriam besar, mungkin meriam rel milik Kekaisaran, semakin memperburuk kecemasannya.

Tanpa sadar, ia dan yang lain mulai melirik gelisah ke sekeliling, menyadari banyak rekannya yang menunjukkan wajah cemas yang sama.

Di perjalanan itu, salah satu cara untuk menghabiskan waktu hanyalah berbagi rumor. Seperti yang sudah ia dengar, para veteran lama biasanya tidur, bermain kartu, atau menyebarkan gosip. Grantz kadang terlelap, selain itu mengobrol sambil kereta berguncang. Ia pun mendengar beberapa rumor yang sudah dikenalnya.

Contohnya, ada legenda di akademi yang mengatakan seorang siswa tingkat dua pernah bergumam bahwa Taruna Degurechaff lebih menakutkan daripada medan perang. Dia memang menakutkan. Begitulah pikiran yang berputar di kepalanya saat ia melapor ke Komando Rhine.

Sesampainya di sana, ia mendengar bahwa dirinya akan ditempatkan di unit instruktur, yang sedikit melegakan.

Menurut pihak komando, ia akan dilatih ulang sebagai pengganti sebelum mendapat penugasan, jadi hal pertama yang harus dilakukan adalah membiasakan diri dengan garis depan.

Mungkin aku bisa melakukan ini! Begitulah yang ia pikirkan beberapa hari lalu.

---

"Para Tuan, selamat datang di front Rhine!"

Jika iblis itu ada, pastilah dialah instruktur kami, komandan dari Batalyon Serbu Penyihir Udara ke-203, sang legenda Mayor von Degurechaff.

Cara dia tersenyum. Cara dia menatap kami seperti cacing. Cara dia terlihat haus darah.

Aku percaya kalau dia pernah mencoba membunuh seorang junior yang membangkang atau memecahkan tengkoraknya. Jika aku melakukan kesalahan di medan perang, dia pasti akan membunuhku. Begitulah ancaman yang kurasakan dari instruktur yang kebetulan juga menjadi penasihatku.

…Aku ingin menangis.

Dari semua pengganti, akulah satu-satunya yang pernah melalui akademi. Dengan kata lain, semua orang entah tidak tahu rumor bahwa dia adalah iblis dalam wujud gadis kecil atau menertawakannya. Mereka yang berpikir bisa menghadapi perang jika anak kecil itu bisa, justru lebih aman.

Sekadar memikirkan apa yang mungkin dilakukan oleh orang-orang yang meremehkannya sudah membuat perutku sakit. Aku belum pernah sebenci ini dengan kata tanggung jawab kolektif.

Malam ini, aku libur. Aku sebaiknya tidur lebih awal. Namun tepat saat aku berpikir begitu, kami dipanggil.

Batalyon Penyihir Udara ke-203 diperintahkan untuk berkumpul di ruang pengarahan, dibagi per peleton, dalam waktu tiga menit.

"Ayo cepat! Lari!"

Aku mendesak peletonku yang baru selesai makan malam; kami berlari menuju ruang pengarahan, dan nyaris saja sampai pada detik ke dua menit lima puluh satu. Tidak ada peleton lain yang sudah tiba. Eh, tidak, Peleton Ketujuh masuk bersamaan; mereka bersaing dengan Peleton Keempat tempatku. Detik itu juga, tiga menit habis.

Dan pada detik berikutnya, para perwira senior menyeringai lebar lalu pergi untuk menjemput peleton yang terlambat. Entah mereka merasa bersalah atau tidak.

Bagaimanapun, kami semua segera berkumpul. Dan komandan batalyon kami yang tersenyum itu mengumumkan rencana piknik malam. Meski tentu saja tidak ada hubungannya dengan piknik.

"Sayangnya, para tuan, selain Peleton Keempat dan Ketujuh, kalian pantas mendapat hukuman."

Inilah mayor yang pernah berkata dalam pidato di akademi bahwa beban mati sebaiknya dibunuh. Aku iba pada kelompok yang tak berhasil sampai dalam tiga menit, karena kupikir mereka akan dilemparkan ke neraka—dan ternyata benar.

"Untuk mengajarkan kalian pentingnya ketepatan waktu, aku akan mengirim kalian ke parit depan. Karena kalian tampaknya tidak mengerti saat aku memberitahu, kalian akan langsung mengalami apa yang terjadi pada orang lamban."

Mereka benar-benar akan dilempar ke kedalaman neraka. Para penyihir yang terkejut itu langsung ditugaskan ke parit peringatan. Parit peringatan di garis depan distrik dengan pertempuran terburuk… Mereka akan menjadi apa yang biasa disebut "kanari," pihak pertama yang diserang di garis terdepan. Tingkat kematiannya tentu saja tertinggi; itu adalah posisi di mana seseorang tak bisa beristirahat sedetik pun.

Ngomong-ngomong, mereka disebut kanari karena diibaratkan seperti burung dalam sangkar yang dibawa ke tambang. Perbandingan itu dibuat karena kritik bahwa keberadaan siapa pun di pos ini hanyalah untuk berhenti bernapas.

Tapi aku seharusnya tidak merasa lega.

"Sekarang, kalian yang tepat waktu, aku punya hadiah."

Dia menatap kami satu per satu seolah akan memberi tahu sesuatu yang indah. Rekan-rekan peleton di sebelahku tampak menantikan hadiah itu, tapi aku tidak.

Aku punya firasat buruk.

"Kalian mendapat sedikit rekreasi membangun keakraban. Kita akan pergi piknik, bersulang, dan mengundang teman baru untuk pulang bersama kita. Bisa dibilang pesta."

Begitu dia berkata begitu, seseorang memberikan kami selebaran berjudul Panduan Perjalanan Lapangan. Prosedur piknik?

"Pertama, lengkapi granat tangan dan sekop; lalu siapkan senapan dan bola komputasi kalian. Kenakan kamuflase malam untuk pertempuran jarak dekat. Omong-omong, jika kalian menggunakan bola komputasi atau senapan tanpa izin, kalian akan ditembak atau dipukul sampai mati. Prajurit Republik juga manusia. Itu berarti kalian bisa berteman dengan mereka."

Lalu kenapa kami harus melumpuhkan mereka dengan sekop?

"…Di zaman kuno, orang berteman dengan saling adu tinju"?

"Orang beradab masa kini menggunakan alat yang lahir dari peradaban, sekop…"?

Ini gila. Tidak ada yang mengatakannya keras-keras, tapi begitulah ekspresi semua orang. Ini adalah misi malam untuk menculik prajurit musuh—misi pengumpulan intelijen, tapi sangat berbahaya. Jika kami akan menyeret musuh kembali, jelas kami harus mendekati parit musuh.

Singkatnya, kami harus menyelinap ke posisi musuh—tempat senapan mesin, berbagai artileri berat, senjata infanteri, penembak jitu, dan puluhan prajurit menunggu—dan menculik musuh dari parit peringatan, bagian yang paling waspada.

"…Kita akan mati."

Dari situlah semuanya benar-benar menegangkan. "Setelah menggunakan sekop kalian untuk bergaul dengan banyak teman, mari kita ajak beberapa ke rumah kita. Tapi kurasa semua teman kita akan mencoba mencegah kita pergi dengan berbagai cara. Perjalanan lapangan ini berlangsung sampai kalian bisa melepaskan diri dan pulang."

"Kebetulan, aku tidak terlalu khawatir dengan kalian yang tepat waktu, tapi satu hal…" Dia tersenyum cerah. Ya Tuhan, tolong selamatkan kami. "Kalau kalian terlalu lambat, kami akan meninggalkanmu. Ya, siapa pun yang ingin cepat mendapat promosi ganda bisa tetap tinggal di luar sana. Kami tidak ingin menghalangi kesuksesan hidupmu."

Dia mengatakan hal yang sama saat pertama kali aku bertemu dengannya. Aku tak sadar kalau itu benar-benar kata per kata!

Letnan Sihir Kedua Warren Grantz sadar tubuhnya gemetar.

Naluri bertahan hidupku berteriak. Aku ingin menghindari perang, pertempuran, pembunuhan. Aku ragu.

Tapi satu tatapan dari Mayor von Degurechaff cukup untuk menundukkan naluri itu. Dia jauh lebih menakutkan. Kami berangkat seperti domba yang digiring anjing gembala. Tidak ada satu pun yang berani mengeluh. Kami maju dalam diam di bawah lindungan malam.

Komandanlah yang pertama menyerang. Kami mendengar dentuman sekopnya diikuti erangan beberapa orang. Kami juga menghantam prajurit musuh yang lengah, seolah hidup kami bergantung padanya.

Berapa lama waktu yang berlalu setelah itu?

Rasanya pengalaman itu berlangsung seumur hidup, padahal kenyataannya hanya beberapa puluh detik.

Itu hanya sesaat. Dalam waktu singkat itu, semua prajurit musuh di area parit peringatan yang ditentukan sudah dilumpuhkan atau tidur nyenyak yang takkan pernah bangun lagi.

Aku masih bisa merasakan kejutan hantaman sekop di tanganku; berbeda dengan hentakan menembak yang diajarkan di akademi. Perasaan khusus itu, sensasi menghancurkan sesuatu, masih tertanam di tubuhku.

Jika aku dibiarkan begitu saja, aku bertanya-tanya apa yang akan terjadi padaku.

---

"Waktunya. Kompi, bawa para tawanan. Para pemula, jadi pendukung. Dalam tiga puluh detik, larangan sihir dicabut. Kita terbang dari sini. Samakan jam kalian—tiga, dua, satu, mulai."

Tapi perintah yang disampaikan dengan bisikan tenang itu membawaku kembali ke kenyataan. Digabung dengan latihanku, perlahan tubuhku bergerak. Itulah tujuan aku ditempa. Latihanlah yang menyelamatkanku.

Seperti diperintahkan, tiga puluh detik kemudian aku menyalakan bola komputasiku dengan tenaga penuh dan lepas landas.

Kami benar-benar kabur kembali ke garis pertahanan sendiri. Hanya butuh beberapa menit. Yang harus kami lakukan hanyalah terbang—mudah. Tapi itu mengerikan.

Jantungku berdebar setiap kali artileri ditembakkan. Rasanya sesak bernapas.

Aku begitu ketakutan sampai nyaris tidak merasa seperti diriku sendiri lagi.

Saat kami naik lebih tinggi untuk menghindari salah tembak dan mengatur jalur aman menuju pangkalan belakang, semua stres lenyap sekaligus, dan rasa lelah menyapu tubuhku.

…Bagaimana mungkin mayor bisa tenang-tenang saja menyanyikan himne?

---

Hari ini, setelah menyelesaikan latihan pagi dan sarapan, Mayor von Degurechaff meraih penanya seolah tekadnya sudah bulat.

Di pangkalan belakang, surat bisa terkirim. Tentu saja, memungkinkan untuk mengirim surat bila perlu.

Memang ada kalanya surat militer tertunda, tapi umumnya, surat bisa dikirim dan diterima layaknya surat biasa.

Tentu saja, seseorang seperti dirinya yang tak punya kerabat tidak punya surat pribadi untuk ditulis.

Dia hanya menulis urusan resmi atau setengah resmi. Yang dia tulis kali ini resmi. Meski begitu, dalam kasus yang jarang, dia mengeluarkan alat tulisnya dengan ragu, dan penanya bergerak di atas kertas dengan kikuk.

Dia sudah menulis tumpukan dokumen seperti ini. Biasanya dia menerima itu sebagai pekerjaan dan menyelesaikannya. Tapi hari ini, ujung penanya terasa berat.

Ya, justru aneh jika seseorang bisa menulis ini tanpa kesulitan.

---

Kepada keluarga tercinta dari Bintara Anluk E. Kahteijanen,

Saya adalah Mayor Sihir Tanya von Degurechaff, atasannya.

Dengan menyesal saya beritahukan bahwa putra tunggal Anda, Anluk E. Kahteijanen, diberhentikan dengan kondisi cacat.

Ia tiba-tiba jatuh sakit saat operasi, dan dokter bedah menilai bahwa sulit baginya untuk menjalani dinas militer dalam jangka panjang.

Kesembuhannya kemungkinan besar memerlukan masa pemulihan panjang di rumah atau di rumah sakit militer.

Divisi Personel telah menyetujui rencana perawatan ini.

Mohon bicaralah dengannya dan pastikan ia menjalani masa pemulihan dengan tenang.

Dan mohon maafkan kami karena mengembalikan anak Anda dalam kondisi seperti ini.

Ia adalah penyihir yang luar biasa, saudara seperjuangan kami yang tak tergantikan, berani dan dipercaya oleh semua.

Kami sangat berduka karena tak lagi memiliki Anluk E. Kahteijanen di dalam barisan kami.

Meski hanya sedikit penghiburan, saya telah merekomendasikannya untuk mendapatkan Lencana Dinas Lapangan Kelas Satu dan Medali Cacat, yang keduanya telah disetujui.

Saya berharap ia pulih sepenuhnya.

Hormat saya, Komandan Unit [xxx]

Mayor Sihir Angkatan Darat Kekaisaran

Tanya von Degurechaff

…Siapa sangka hari itu akan tiba ketika aku kehilangan seorang pria gara-gara kentang busuk. Rupanya, pernyataan legendaris dari pilot Thunderbolt Amerika bahwa bahkan seorang veteran tak bisa melawan keracunan makanan bukanlah bercanda.

Jadi kentang-kentang itu memang benar-benar busuk. Tanya menyimpan pulpennya, kesal oleh memburuknya situasi logistik.

Mengirimi keluarga saat sesuatu terjadi pada bawahannya adalah tanggung jawab atasan, dan aku tak menentang menulis surat… tapi keracunan makanan gara-gara kentang? Tanya sudah menyelesaikan surat itu, tapi perasaannya campur aduk dan ia tak bisa berhenti memikirkannya.

Dia makan, ikut dalam serangan malam, lalu saat kami kembali tiba-tiba dia muntah dan mengeluh sakit perut yang mengerikan. Aku tercengang. Seorang veteran berguling-guling seperti itu—aku yakin dia terkena senjata NBC. Itu bisa saja menyerang bahkan para penyihir. Aku buru-buru melafalkan formula medis, tapi itu hanya mengurangi rasa sakit. Film pelindung menyediakan perlindungan NBC yang menyeluruh, aku ingat kami sampai hampir panik memikirkan ada senjata baru yang tak masuk daftar.

Waktu sang ahli bedah datang dan memeriksanya, kami akhirnya bisa menghela napas lega. Dengan kata lain, itu hanyalah keracunan makanan akut yang tiba-tiba. Dan hanya menimpa nahas Anluk E. Kahteijanen.

Dia penyihir yang baik, sialan. Aku tak pernah membayangkan harus mengirim seseorang pergi dari depan seperti ini.

Tapi bagus sekali Personel menganggap kondisinya sebagai cacat. Dengan begitu ia dapat pensiun, dan kehormatannya sebagai prajurit tetap utuh. Dan aku, sebagai perwira, tak akan memiliki noda dalam catatanku karena seorang bawahan yang tak terhormat.

Maksudku, lucu juga menertawakan perwira yang kehilangan orang karena kentang busuk. Siapa sangka ada orang di unitku yang takluk karena perutnya sendiri…? Ah, bukan lelucon sebenarnya.

Pemboman Republik datang seperti biasa, mengguncang posisi kami sesuai jadwal, tapi entah mengapa pada hari yang malang ini aku merasa agak merenung. Aku mengirim seorang pria ke belakang karena alasan yang susah diungkapkan.

Namun, pelajaran ini langsung diterapkan. Jadi sarapan pagi ini adalah bacon, biskuit keras, dan kopi tiruan. Sup sayur yang memasukkan kentang bersalah itu dibuang tergesa. Secara pribadi, aku khawatir dietku menjadi tak seimbang tanpa sayur, tapi tak ada yang bisa kulakukan.

Kuserahkan seseorang pergi mengambil pasokan sejak pagi, jadi kutebak semoga kita bisa dapat sayuran kaleng saat makan siang. Dan yah, meski kita berada di medan perang, kita tak bisa lepas dari rutinitas, dan aku mulai muak. Akan menyenangkan mendapat makanan di luar rotasi.

Selain itu, pertempuran harian di parit berlangsung seperti All Quiet on the Western Front. Kita pada dasarnya mengulang pola yang sama hari demi hari. Satu-satunya hal baru yang menarik perhatianku ialah bagaimana para pengganti yang dilatih di garis depan beradaptasi.

Kudefinisikan; kusuruh mereka kemarin. Tanya berharap setelah seminggu "pembaptisan" perang di parit ia akan tahu apakah mereka berguna atau tidak.

Kalau tidak, yang harus ia lakukan adalah mengembalikan mereka dan mengajukan pelatihan ulang.

Jadi meskipun ia menyesalkan pandangan sempit perang, ia mendedikasikan diri melatih pasukannya. Pertama, seperti yang disuruh bosnya, ia memberi mereka ujian tersulit terlebih dahulu; meski berisiko, ia terpaksa membawa mereka pada pertempuran malam, namun mengejutkan dan menyenangkan baginya, mereka hanya kehilangan dua orang.

Meskipun ia bilang semua harus pergi dalam tiga puluh detik, dua orang itu tak bisa mengejar dan tersapu dalam badai artileri—dikonfirmasi oleh salah satu bawahannya. Itu saja. Selain itu, para pemula mengikuti perintah dan tak ada yang gila. Saat Tanya merenungkan nasib para pengganti yang tersapu dalam sel dua orang mereka, ia jadi agak filosofis dan bertanya-tanya tentang peran keberuntungan dalam keracunan makanan.

Bagaimanapun juga, ia melakukan apa yang perlu dilakukan.

Tapi sebenarnya, meski ia melakukan tugasnya, kadang ia mendapat pandangan penuh keraguan.

Contohnya, ia melaporkan, "AKU SEDANG MELATIH MEREKA SESUAI PERINTAH ANDA."

Dan jawaban yang ia terima: " ROGER. SEMOGA BERUNTUNG."

Namun saat mereka pergi pada serbuan malam dan hanya kehilangan dua orang, atasan menyuruhnya lebih berhati-hati lain kali. Ia mulai bertanya-tanya apakah mungkin mereka ingin dia melakukannya tanpa satu pun korban.

Tapi ini medan perang, pikirnya, dan kita melakukan operasi berisiko tinggi. Kehilangan dua pemula dalam kondisi itu bukanlah buruk. Namun soal keberuntungan, tampaknya Tanya harus mengakui ada hal-hal tertentu yang harus dipertimbangkan.

Masih, ia merasa sedih bahwa hanya karena mereka tak mau ada korban dan unitnya sial, salah ditimpakan padanya sebagai komandan yang hadir.

Aku tahu sejarah mengulang hal-hal kecil, dari perusahaan swasta sampai militer Yankee. Contohnya, saat MacArthur memerintahkan bawahannya Eisenhower merencanakan sebuah parade lalu ngotot tak ingat—ada banyak insiden busuk seperti itu sepanjang sejarah.

Meski begitu, Tanya sangat sedih. Ah, aku bisa saja menangis. Maksudku, aku ini perempuan, tahu!

…??

Saat pikirannya melantur, ia tiba-tiba sadar ada yang aneh. Kepalanya dipenuhi horor kontaminasi psikologis. Ia lari mencari semacam pertolongan seolah nyawanya bergantung padanya.

Seorang dokter! Aku harus ke dokter!

---

28 APRIL, TAHUN TERPADU 1925, KANTOR STAF UMUM ANGKATAN DARAT KERAJAAN, RAPAT BERSAMA KORPS DINAS DAN OPERASI

"Baik, waktunya telah tiba, jadi saya ingin memulai rapat bersama antara Korps Dinas dan Operasi seputar pro dan kontra dari rencana ofensif Rhine."

Pejabat yang memimpin rapat berbicara, tapi tak ada yang mengikutinya; keheningan menyelimuti.

Berlawanan dengan eksterior bangunan yang megah, ekspresi para perwira tinggi di ruang rapat muram. Beberapa perwira hampir menarik rambut mereka karena kekhawatiran tak henti-henti, tak tahu berbuat apa, dan di antaranya ada Mayor Jenderal von Zettour. Situasi berubah dari menit ke menit, dan hanya memahami apa yang terjadi saja sudah sangat sulit. Selain itu, Kekaisaran belajar dari tumpukan mayat yang bertambah—"terima kasih" kepada Republik—betapa mustahilnya melakukan terobosan frontal dalam perang parit.

Artinya, harga serangan frontal pada parit terlalu mahal. Di sisi lain, ofensif besar-besaran dengan kekuatan tembakan akan memberi beban berlebih pada jalur pasokan.

Mereka baru saja meningkatkan rel ringan jalur pasokan ke depan, tapi sudah ada permintaan personel pengganti dari setiap pos yang masuk tiap hari. Beban pada logistik telah melampaui estimasi pra-perang sejak lama.

Entente Alliance pada dasarnya runtuh, dan perlu mengalokasikan beberapa kekuatan militer untuk area itu untuk sementara demi menjaminnya, yang juga membebani logistik.

Bahkan kelompok tentara lokal saja sudah cukup untuk memberikan keunggulan luar biasa bagi Angkatan Darat Kekaisaran di utara, tapi musim dingin yang keras menahan mereka. Mereka tak dalam posisi untuk melepas pasukan demi memperkuat garis utama di Rhine. Garis-garis itu mungkin beku sampai musim semi berikutnya.

Dengan kata lain, butuh waktu sebelum ada keringanan beban jalur pasokan dari utara.

Sementara itu, angkatan laut sedang meraih keunggulan di kanal melawan Republik, tetapi angkatan laut dan darat berbeda pendapat apakah itu hal baik atau tidak. Kekuatan udara dan sihir siap mendukung jika diminta, tetapi kekhawatiran angkatan laut dan darat sangat berbeda.

Angkatan laut tampaknya tidak sabar memecah pertahanan kanal. Ambisi mereka adalah memusnahkan armada Republik dalam pertempuran perang kapal. Mereka bahkan mengusulkan operasi amfibi setelahnya, seperti terhadap Entente Alliance, untuk menghancurkan negara itu sepenuhnya.

Sejauh yang Zettour lihat, menguasai laut untuk operasi pendaratan tampak mungkin menurunkan korban jauh lebih efektif daripada maju menerobos parit. Isu utamanya adalah keamanan rute jika mereka lewat laut. Jika mereka masuk kanal antara Republik dan Britania Raya, harus khawatir bagaimana (secara terlihat) netral Britania Raya bereaksi. Apakah mereka akan tinggal diam?

Ia sudah membahas pertanyaan-pertanyaan ini dengan Mayor Jenderal von Rudersdorf. Mereka berdua terpaksa menyimpulkan bahwa jika mereka memasuki kanal, kemungkinan Britania Raya akan ikut campur untuk menjaga keseimbangan kekuatan. Jika itu terjadi, ketakutan yang beredar di kantor soal "Prediksi Bentuk dan Arah Perang Saat Ini" dan "Teori Perang Total" akan menjadi kenyataan.

Ya, perang dunia. Perluasan perang akan seperti reaksi berantai tanpa akhir, dan mereka tak bisa menghindarinya. Jika itu terjadi, mereka bisa menghadapi skenario Rhine di setiap front.

Tentara Republik di garis Rhine memang cukup tangguh. Jika hanya Republik, mereka masih punya peluang menang. Tapi bagaimana jika unit-unit dari Britania Raya muncul? Mereka bisa berubah dari posisi superior menjadi sebaliknya.

Selama meragukan apakah Angkatan Laut Kekaisaran bisa menghentikan Angkatan Laut Britania Raya, jika sisa-sisa angkatan laut Republik ikut campur, armada kekaisaran mungkin hanya sanggup bertahan.

Tentu, mereka tak bisa berdiam terlalu lama. Jika menunggu bertindak, bahkan Kekaisaran bisa kehabisan tenaga. Lalu efek strategis menaklukkan Dacia dan Entente Alliance akan hilang.

Mereka tak tahan dibantai dari sisi oleh Britania Raya atau kekuatan pengganggu lain. Apa yang bisa dilakukan atas dilema ini?

Namun, jelas bahwa jika mereka mentolerir situasi sekarang, apa pun yang mempengaruhi jalur pasokan bisa berarti bencana. Itu dilema yang menggelisahkan.

Sejak berdirinya bangsa, Reich Besar telah memperoleh tanah-tanah historisnya tapi juga dihantui konflik wilayah, jadi tak pernah kurang bahan bakar untuk perang berikutnya.

Oleh karena itu kegelisahan mereka. Tak ada orang yang punya solusi sederhana atas masalah ini. Untung atau malang, ada orang di ruangan yang mengetahui rencana.

Zettour tahu. Dia tahu semuanya—mereka tak harus menyerang. Zettour percaya, agak mengejutkan untuk seorang militer, bahwa tidak perlu mereka melancarkan serangan. Singkatnya, status quo baik-baik saja.

Dan Rudersdorf juga menyadari itu. Namun berbeda dari Zettour, ia tak bisa menerima gagasan bahwa perang keausan ini baik-baik saja. Ia punya tekad jernih seorang prajurit: jika mereka bisa mengendalikan kerugian dan menang, mengapa tidak melakukannya?

Mereka akhirnya sama-sama sudah membulatkan tekad dan mendapat izin untuk bicara.

"Aku merasa kita harus mengubah cara pandang kita terhadap masalah ini."

Zettour tidak menganggap dirinya penakut, tapi mengingat betapa pentingnya hal yang akan ia ucapkan, bahkan dirinya pun merasa gugup. Ada sedikit ketegangan dalam suaranya, terlalu samar untuk ditangkap kebanyakan orang, tapi ia tetap berbicara setenang mungkin.

Rencana rahasianya untuk mengurai benang kusut ini dengan sekali tebasan akan berdarah-darah. Kisah simpul Gordian hanyalah cerita. Sebuah pedang tajam akan tetap tajam, tak peduli siapa yang ditebasnya.

"Dengan doktrin dan nilai-nilai kita yang ada sekarang, kita mungkin tidak akan berhasil. Kita perlu sebuah pergeseran paradigma."

Mencapai kemenangan dengan menyerbu benteng musuh dan memaksa mereka menandatangani kapitulasi kini sudah mustahil. Akan sulit menuntut penyerahan penuh, kecuali dalam kasus seperti Kekaisaran dan Dacia atau Aliansi Entente, di mana ada kesenjangan kekuatan nasional yang sangat besar. Melihat perang mengerikan yang sedang berlangsung, tampaknya pertumpahan darah harus berlanjut sampai salah satu pihak tidak sanggup lagi bertahan.

"Jangan mengejar kemenangan, hindari kekalahan. Jika tidak, akan terlalu sulit untuk menjadi pihak terakhir yang berdiri."

"…Jenderal von Zettour, maksud Anda menentang ofensif?" salah satu anggota staf Operasi bertanya heran. Pikiran mereka hanya sampai sebatas itu.

Tidak, mungkin itu memang akal sehat. Bagi mereka, ofensif berarti mengalahkan musuh, menginjak mereka, lalu mengakhiri perang. Tapi mereka salah.

"Tidak, aku mendukung ofensif itu sendiri, tapi aku rasa kita harus mengubah tujuan operasionalnya."

"Mengubah tujuannya?"

Lanjutkan—tidak, hentikan. Pertanyaan itu bisa bermakna keduanya, dan Zettour menjawabnya dengan menjatuhkan bom secara gamblang.

"Tujuan operasi bukanlah untuk menembus. Tujuannya adalah menguras darah musuh. Dengan kata lain, rencana ofensif kita haruslah untuk melelahkan sebanyak mungkin tentara musuh."

Kesimpulan: Kuras musuh sampai habis.

"Kita akan melakukan pertumpahan darah yang menyeluruh dan menghancurkan kemampuan musuh untuk melanjutkan pertempuran."

Ucapan Degurechaff.

Ia masih bisa mengingat setiap kata yang diucapkan prajurit muda itu padanya di perpustakaan akademi militer. Guncangan mendengar gadis itu bicara begitu tenang tentang dunia yang mengerikan itu sulit dilupakan. Dan sekarang, ketika segalanya berjalan persis seperti yang dia katakan, Zettour makin terkejut. Sejauh apa sebenarnya gadis itu mampu memprediksi?

Meramalkan masa depan sebuah perang sangatlah sulit.

Satu-satunya aturan yang pasti adalah bahwa akal sehat bisa berubah seketika, dan prinsip baru peperangan bisa menguasai medan perang. Tidak banyak prajurit yang bisa beradaptasi dengan perubahan itu, jadi membayangkan ada seseorang yang bisa meramalkannya…!

"Dengan kata lain, kita menguras musuh sampai mereka runtuh. Hanya ini satu-satunya cara menyelesaikan ini."

Seseorang bergeser tanpa sadar, dan derit kursi terdengar sangat keras di ruangan yang sunyi. Benar-benar hening.

Zettour sebenarnya merasa tenang dalam menghadapi hal itu. Tidak, lebih tepatnya, ia bersimpati dengan Degurechaff. Ia kini menyadari bahwa gadis itu bisa bicara begitu tenang di perpustakaan karena dia mengerti.

Dia mengerti bahwa harga menembus garis musuh akan terlalu mahal. Bahkan jika bisa dilakukan, kerugian mereka akan sangat besar. Dan jika Persemakmuran, yang cemas melihat situasi perang yang memburuk, memutuskan untuk ikut campur, mereka akan dipukul mundur. Itu akan jadi hasil terburuk bagi Kekaisaran.

Jika semua darah itu tercurah bukan untuk apa-apa, melainkan hanya untuk mendorong ke arah yang salah, semangat juang prajurit akan runtuh.

Aku tidak bisa mengirim prajurit dalam kondisi seperti itu untuk kembali menembus. Memberi perintah hanya akan menghasilkan pemborosan lebih besar. Jadi kenapa tidak membiarkan musuh yang melakukan kesalahan itu?

Kita hanya perlu menunggu Republik tenggelam dalam darahnya sendiri.

Zettour percaya hanya inilah satu-satunya pilihan yang masuk akal bagi Angkatan Darat Kekaisaran. Dengan kata lain, perang pada akhirnya bukanlah tentang pahlawan atau ekspresi ksatria, melainkan tentang seberapa efisien kau bisa membunuh musuhmu.

Dengan kata lain, perang ini tidak terelakkan akan menjadi perang total.

"Jadi kita akan menghajar habis-habisan tentara dan suplai musuh. Aku meminta agar kita menyusun rencana ofensif dengan tujuan itu, dan itu saja yang ingin kusampaikan saat ini."

Sudah pasti, hampir pasti, masa depan kita telah diputuskan. Ekspresi beku di wajah rekan-rekan dan bawahannya menunjukkan hal itu.

"Kau gila," itulah yang mereka katakan.

Operasi yang ia usulkan benar-benar berlawanan dengan akal sehat siapa pun. Membiarkan sebagian wilayah tanpa pertahanan dan memprioritaskan penghancuran pasukan lapangan musuh. Lalu menghabisinya dengan "pintu putar"? Kau akan membuat sebuah tentara yang seharusnya membela tanah air justru melaksanakan operasi seperti ini? Tak seorang pun bisa tidak memikirkan hal itu.

Tapi cepat atau lambat, para staf di ruangan itu akan mengerti—tidak ada jalan lain. Ia tidak tahu kapan, tapi ia tahu mereka akan menerima rencana itu demi nilainya secara militer, meski tidak secara emosional.

"Aku setuju. Jelas, kita harus fokus menghancurkan pasukan lapangan musuh." Meski yang lain ragu, Rudersdorf dengan jelas menyatakan dukungan kuatnya atas ide Zettour. Ia sadar bahwa generasi mendatang akan menilai mereka dengan keras, tapi ia sudah mantap mengambil sikap dan menyatakannya dengan percaya diri.

Dunia gila di mana para pemuda penuh janji diadu satu sama lain dalam pertempuran hidup dan mati untuk melihat siapa yang bisa menumpahkan darah terbanyak… Dan kita kemungkinan akan mengukir nama sebagai dalang utamanya.

Kalau begitu, setidaknya mari kita sedikit memperbaiki keadaan dengan mengakhiri perang ini dengan tangan kita sendiri.

"Aku ada usulan… Kita maju. Dengan kata lain, menurutku rencana terbaik adalah melarikan diri ke depan!"

Dan karenanya, ia mengajukan usulan yang sama sekali tidak rasional: berperang bukan untuk wilayah, tapi untuk menghancurkan tentara.

…Ya Tuhan, mengapa Kau biarkan hal-hal ini terjadi?

Setelah memuntahkan isi perutnya, termasuk semua yang ia makan malam sebelumnya, Letnan Satu Sihir Warren Grantz meratap pada langit di pojok penginapannya. Bahkan kenangan dari apa yang baru saja ia alami membuatnya ngeri.

Aku memukul seorang prajurit Republik yang bahkan tak kuketahui namanya dengan sekop di kepalanya, lalu terus mengayunkannya seperti orang gila. Kemudian perintah datang dan menyadarkanku, tak lama setelah itu, kami diperintahkan mundur.

Aku menuangkan mana ke dalam bola komputasiku seolah nyawaku bergantung padanya agar bisa terbang sekencang mungkin menembus langit.

Begitu aku lepas landas, beberapa senapan mesin langsung menembakiku.

Dengan panik aku membentuk perisai pertahanan dan lapisan pelindung. Apa pun yang terjadi, aku harus kabur. Dengan itu di pikiranku, aku lupa soal dukungan sepenuhnya dan hanya berusaha lari.

Saat itulah terjadi. Entah karena trik takdir atau ulah iblis, aku melihat komandan batalion menanjak dengan kecepatan gila. Meski malam pekat menyelubungi, dia menyanyikan sebuah himne dengan suara penuh semangat—komandan batalion itu. Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat, tapi aku takut dia akan kabur sendirian dan meninggalkanku, jadi aku mencoba mengikutinya.

Yang kupikirkan hanyalah jangan sampai tertinggal, saat aku mulai menanjak. Tapi tepat saat itu, Letnan Satu Weiss entah dari mana muncul, meraih lenganku, dan menarikku turun.

Saat kami kembali ke markas, dia memarahiku—"Kenapa kau mendekati komandan saat dia sedang menjadi umpan kita? Kau gila?"—tapi kalau dia tidak menyelamatkanku, aku pasti sudah jadi daging cincang seperti dua orang lain yang maju bersamaku.

Saat itu, pikiranku hanya ingin pulang, jadi ingatanku sebelum berhasil mencapai jalur aman benar-benar kabur.

Melihat rekaman di bola komputasiku, aku ingin bersyukur pada Tuhan bahwa entah bagaimana aku bisa selamat dari hujan tembakan sepadat itu.

Itu hanya beberapa detik. Reaksi pasangan dari Peleton Ketujuh terlambat hanya beberapa saat, tapi mereka membayarnya dengan nyawa.

Satu momen ceroboh. Tapi artinya sangat besar.

Begitu aku tiba di pangkalan belakang, sensasi memukul kepala seseorang kembali ke tanganku, dan aku merasa mual. Tidak, bukan hanya aku. Semua rekrutan merasakan hal yang sama.

Rasa bersalah—seperti aku tiba-tiba berubah menjadi penjahat tak termaafkan.

Dan tepat di samping kami, sementara kami tersiksa oleh kekhawatiran itu, para perwira senior dengan tenang mulai menginterogasi para tahanan.

"Katakan dengan jujur. Kalau tidak, tanganku bisa saja terpeleset."

"Tenanglah. Kami mengikuti hukum perang. Jika kalian mengucapkan sumpah tahanan, kalian akan mendapat hak kalian."

"Jangan khawatir. Kami bukan penyiksa. Kami manusia yang benar dan masuk akal."

…Aku tidak bisa mempercayainya.

Aku tidak bisa percaya manusia sanggup melakukan ini.

Medan perang ini.

Kupikir aku mengerti bahwa segala macam kekejaman, hal-hal tidak manusiawi, pasti terjadi. Aku seorang prajurit. Kupikir selama aku berada di militer, aku tidak akan ragu menjalankan tugasku.

…Kata kuncinya: kupikir.

Tapi apa ini?

Apakah ini tugas seorang prajurit, apa yang harus dilakukan untuk melindungi tanah air?

Tugasku?

Aku tidak tahan dengan perasaan itu. Rasanya aneh, seperti aku kehilangan diriku untuk selamanya.

Aku tidak ingin mengingat pengalaman pertamaku… pengalaman pertamaku membunuh seseorang dengan tanganku sendiri.

Orang mati terlalu mudah di medan perang. Orang yang menemanimu makan malam bersama semalam, bisa hilang saat sarapan.

Dalam waktu singkat, aku membunuh orang, dan temanku pun terbunuh.

Front Rhine benar-benar neraka.

Keinginan untuk lari melintas di pikiranku.

Tapi kemudian—

Para pembantu perwira datang memberitahu kami bahwa sarapan sudah siap. Karena kami berada di pangkalan belakang, sebagai perwira, aku berhak makan di ruang makan perwira sementara.

Dengan kata lain, aku harus makan di ruang makan perwira.

Saat aku membilas mulut dan merapikan seragamku, cermin memantulkan wajahku yang layu. Dalam satu hari saja, aku berubah menjadi monster. Aku tidak percaya itu aku.

"…Sekarang aku telah melihat perang."

Pelan.

Pikiran dalamku meluncur keluar dari mulutku begitu saja.

Bersandar pada wastafel, aku hanya bisa menahan mual yang naik, lalu aku menatap langit.

Sungguh, bagaimana semua orang bisa bertingkah normal di dunia perang yang gila ini?

Begitu aku masuk ruang makan perwira, perasaan itu makin kuat.

Penuh dengan para perwira dari batalionku. Kudengar komandan sudah makan lebih dulu dan sudah bekerja. Para perwira itu makan santai sambil berbincang.

Meski baru saja peristiwa itu terjadi, aku bahkan mendengar tawa. Semua orang tersenyum, berbincang, santai. Ada sesuatu dari jurang antara kegilaan yang memenuhi medan perang dengan pemandangan ini yang membuatku muak.

Pelayanku menyajikan makanan, tapi bagaimana mungkin aku bisa berselera? Meski begitu, aku tetap punya kebiasaan yang kupelajari selama karier militers—memaksa makanan masuk ke tenggorokanku jika harus.

Aku menggunakan kopi untuk melunakkan biskuit keras itu dan memaksa diri memakannya bersama dengan beberapa potong bacon. Rasanya sama sekali tak terasa, tapi aku pikir tubuhku membutuhkannya untuk bertahan hidup, jadi kutelan juga.

Manusia harus makan, bahkan di saat-saat seperti ini. Sama seperti memaksa menelan makanan saat aku kelelahan di akademi. Itu yang kuberitahukan pada diriku sendiri, tapi butuh waktu yang sangat lama untuk menyelesaikan sarapanku.

Lalu aku mendapati diriku berjalan menuju auditorium kecil untuk sesi kelas pagi seperti biasa.

Mentalitasku hanyalah mengikuti perintah karena kebiasaan dari latihan berulang-ulang. Bahkan di saat seperti ini ketika aku hampir tak punya kehendak, aku tetap seorang tentara.

Lalu aku menyadari, aku ingin tertawa.

"…Tunggu sebentar, apa yang terjadi?"

Aku bisa tertawa. Itu penemuan yang mengejutkan sekaligus menyegarkan.

Kurasa aku tidak menyangka karena situasiku. Rupanya, semangat manusia itu benar-benar luar biasa tahan banting.

"Oh, aku tidak boleh terlambat."

Aku makan sarapan begitu lama padahal seorang tentara, yang dipuji karena kewaspadaannya tanpa henti, seharusnya menyelesaikannya dengan cepat. Akibatnya, pagi itu aku tak boleh membuang waktu. Jika aku berdiri termenung, aku tidak akan sempat sampai ke kuliah tepat waktu. Ketika aku melihat jam di dinding, ternyata aku baru lima menit lebih awal. Semua orang seharusnya sudah hadir saat itu.

Biasanya, aku tak akan pernah menjadi satu-satunya yang terburu-buru ke sini.

"Ada apa? Kalian seharusnya libur hari ini."

Letnan Weiss pasti mengerti kebingunganku, dan aku akhirnya menyadari setelah dia berbicara.

"Tuan, memalukan memang, tapi aku pikir kita ada kelas hari ini."

Kurasa kejutan semalam terlalu besar sehingga apa pun yang mereka katakan padaku tidak terserap. Letnan Weiss menjelaskan dengan canggung bahwa setelah kami kembali, kami telah diberi izin cuti. Dengan kepala penuh pikiran lain, aku bangun pagi ini dengan goyah, tapi rupanya mereka mengira aku santai menikmati sarapan di hari libur. Dengan kata lain, para perwira atasan mengira aku sedang bersantai, jadi mereka tidak mengecek.

Seharusnya aku menyadarinya lebih cepat.

"Maaf."

"Apa? Tidak apa-apa. Tapi selagi kau di sini, ceritakan padaku bagaimana pandanganmu tentang serangan malam kemarin," kata Letnan Weiss sambil menunjuk kursi. Perwira lain sepertinya tak keberatan, jadi aku memutuskan untuk bergabung… Yah, ini kesempatan yang bagus. Namanya juga menanam, ya harus dituai.

"Sejujurnya, aku seperti tersihir. Sebelum sadar, aku sudah kembali di markas."

Aku tak ingin mati, jadi aku benar-benar tenggelam dalam tindakan. Jika ditanya apa yang sebenarnya kulakukan, memoriku kabur.

Memalukan, tapi aku jujur kepada mereka.

"Ya, begitu rupanya."

"Baguslah kau bisa melewatinya. Dengan pengalaman tempur pertamamu itu, yang berikutnya pasti jauh lebih mudah."

Tapi para perwira sepertinya tidak benar-benar menyalahkanku. Di akademi, aku pasti akan dimarahi—Pertahankan kepalamu tetap fokus di luar sana! Di garis depan, mereka lebih realistis; mereka mengakui bahwa aku selamat.

Mereka sebenarnya baik padaku, seolah-olah bersikap pengertian adalah hal biasa.

"Semua orang harus melewati cobaan itu. Yah, jika kau selamat dari pelatihan komandan, anggap dirimu lebih atau kurang baik-baik saja."

"Letnan Serebryakov jadi lebih tangguh hanya dengan terbang setelah dia."

"Ya, itu benar… Ada yang mau tukar denganku?"

"Ha-ha-ha-ha. Aku wakil komandan, jadi tak bisa terbang bersamanya."

"Tidak baik kalau para komandan kompi berkumpul, jadi sayangnya tugasku mencegahku bertukar denganmu, Letnan."

"Sungguh disayangkan." Letnan Serebryakov mengembungkan pipinya dan merengek seolah-olah benar-benar kesal.

Kumpulan orang di sini yang menciptakan suasana damai ini adalah veteran yang sebelumnya bekerja sangat keras.

Aku tiba-tiba merasa ingin menghela napas lega. Hingga beberapa saat lalu, aku begitu terguncang, tapi aku mulai sedikit tenang.

Tak ada yang mengatakannya, tapi aku yakin mereka semua pernah gelisah saat pertama kali menembak dan membunuh seseorang.

Tapi kini mereka memiliki kenangan itu, dan mereka tidak terganggu olehnya.

"Jangan berpikir terlalu keras, Letnan. Fokus saja untuk bertahan hidup."

Seseorang menepuk bahuku, dan mereka membiarkanku pergi. Itu bukti bahwa para perwira berpengalaman menerima diriku sedikit lebih tangguh daripada anak baru yang baru menetas.

Keesokan harinya…

Bagi Tanya, segalanya berjalan terlalu lancar. Untuk permulaan, saat ia bangun, sarapan dan kopi sudah disiapkan rapi. Tidak ada bombardemen mengganggu dan tidak ada musuh yang masuk ke wilayah udara mereka, jadi setelah makan dengan tenang, tugas administratif pertamanya hari itu berjalan mulus. Begitu mulus. Permintaan yang biasanya memakan waktu berminggu-minggu langsung diterima, dan pasokan dikirim seketika.

Seberapa mengerikannya bisa terjadi? Parsimoni adalah pekerjaan petugas logistik, tapi dia menyerahkan peluru khusus untuk diisi dengan rumus gangguan dan pemicu mantra dengan senyum. Bertemu penagih utang atau auditor yang tersenyum mungkin terasa lebih nyata—Tidak, sebenarnya semua itu tak terbayangkan.

Ini pertama kalinya semuanya berjalan sesuai prosedur; Tanya tak pernah membayangkan bahwa pengiriman logistik dan pemeriksaan dokumen bisa dilakukan dengan begitu ramah. Tercengang, Tanya tak punya pilihan selain waspada terhadap efisiensi yang tak terduga ini.

Bagaimanapun, pengiriman dan pemeriksaan dokumen berjalan dengan aturan besi dari preseden dan tak boleh mengganggu keseimbangan. Dengan kata lain, bisa dibilang ini fenomena alami.

Kalau mereka bertindak tidak biasa, pasti itu pertanda kondisi abnormal. Kurasa aku sebaiknya tidak pergi dulu, kalau tak perlu, pikir Tanya; ia tak keberatan bersiap untuk kemungkinan apa pun.

Hari ini pasti akan merepotkan. Dengan keyakinan itu, Tanya meneguhkan diri. Ia akan memberi perintah ketat kepada pasukan di parit agar waspada. Ia akan menempatkan unitnya pada kesiapan tempur level dua. Ia akan mengawasi musuh dan menyiapkan segala sesuatu agar respon cepat bisa dilakukan.

Lalu, entah kenapa, tak ada apa-apa dan sudah waktunya makan siang.

Makanan dihidangkan. Ini benar-benar steak dengan sauerkraut. Bahkan ada jus rhubarb untuk pencuci mulut.

Semuanya tiba lewat jalur logistik yang berjalan luar biasa lancar.

Anggota unitnya semua menyantap dengan antusias, tapi Tanya tetap tak percaya dan memeriksa makanannya sedikit sebelum memakannya.

Aku iri pada orang yang beruntung dengan kondisi kentang itu dan bisa mundur ke area aman.

Aku bertanya-tanya apakah mereka ingin mengirimku ke belakang karena dorongan yang mungkin kuberikan pada kebijakan luar negeri terkait Britania Raya. Kalau aku keracunan makanan, mereka dengan senang hati akan mengorbankanku, jadi aku tak boleh sembarangan sakit.

Tentu saja, melihat bawahanku melahap daging itu adalah siksaan.

Menjadi satu-satunya yang harus menunggu sangat menyedihkan, apalagi jika ternyata tak ada yang salah. Aku tak tahan lagi. Dengan enggan menyeimbangkan logika dan keinginan, aku bersiap memakan dagingku, dan saat itulah semuanya terjadi.

Letnan Weiss berlari membawa telegram, dan Tanya akhirnya kehilangan kesempatan makan.

"Mayor, ini dari Komando."

Dengan tak punya pilihan selain meletakkan pisau dan garpu untuk memberi hormat, Tanya benar-benar tampak kesal.

Kalau saja dia tidak masuk akal, aku akan mengusirnya sekarang juga.

Setidaknya pahami situasinya. Pasti sangat penting jika menghalangi kesempatan makan yang layak di garis depan dengan hampir tak ada yang bisa dinikmati. Sangat kesal, ia tak bisa menahan diri untuk menjawab dengan nada kesal, meski sadar itu reaksi emosional.

"…Aku sedang makan, Letnan Weiss."

Nadanya tak bernada kritik, tapi ketidaksenangan itu terdengar samar. Sebagian besar bawahan akan ragu jika atasannya berbicara dengan suara seperti itu. Tak ada yang ingin dimarahi bosnya. Tapi dalam keadaan tak biasa, mereka tidak menyerah. Dan ini salah satu situasi langka itu.

"Maaf, tapi ini cukup mendesak."

Dan dari fakta bahwa dia tidak membawa tabung pesan tapi hanya sandi pendek, ia mencium masalah.

"Hmm? Bukan perintah?"

Biasanya perintah datang lewat telegraf.

Selama itu ditujukan pada komandan, tak seorang pun boleh membacanya sebelum yang bersangkutan kecuali operator radio.

Jadi sandi pendek digunakan kalau tak perlu dikirim lewat telegram atau kalau tak bisa.

Intinya, ini akan menjadi sesuatu yang bodoh atau sangat menyebalkan sekaligus bodoh.

"Tidak, Anda dipanggil untuk hadir segera."

"Dipanggil untuk hadir segera? Mengerti."

Aduh, hari yang menyebalkan.

Ini akan mengerikan.

More Chapters