Angin malam berdesir pelan di antara reruntuhan Labirin Minotaur, membawa bau besi terbakar dan debu kenangan yang tak pernah selesai. Di tengah puing-puing yang membatu, berdiri sosok yang tak lagi sepenuhnya manusia berbalut jubah kelam, wajahnya tersembunyi di balik bayangan, dan tangan kanannya menyala seperti bara neraka yang tak pernah padam.
Aldous menatap langit yang retak oleh kilatan energi. ia tidak tahu apakah itu pertanda atau peringatan. Tapi ia tahu satu hal: dunia belum selesai dengannya.
Setiap langkahnya bergema seperti dentang waktu yang menolak berhenti. Di balik armor yang retak dan gaunlet yang berdenyut, ada jiwa yang terus bertanya apakah kekuatan ini berkah, atau kutukan yang ia warisi dari dosa orang lain?
Ia menyentuh dinding labirin yang hangus, dan suara-suara masa lalu berbisik dari balik batu: jeritan ilmuwan, doa penjaga, dan bisikan entitas yang dulu dikurung di dalam. Semua suara itu kini hidup di dalam dirinya.
“Kau bukan pelindung,” bisik suara itu. “Kau adalah pintu kehancuran.”
Aldous tidak menjawab. Ia hanya mengepalkan tangan kanannya, dan retakan kecil muncul di tanah di bawahnya. Ia tahu, setiap kali ia menggunakan kekuatan itu, dunia akan membayar harganya.
Tapi malam ini, ia mendengar sesuatu yang berbeda. Di kejauhan, di balik kabut dan reruntuhan, terdengar suara kecil—bukan bisikan kutukan, tapi tangisan. Seorang anak. Hidup. Tak seharusnya ada siapa pun di sini.
Aldous menoleh, dan untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, ia merasa takut. Bukan karena musuh, tapi karena harapan. Ia tahu, harapan adalah hal paling berbahaya bagi seseorang yang telah kehilangan segalanya.