Ficool

Chapter 2 - Anak yang Membawa Cahaya

Langkah Aldous terhenti di antara reruntuhan yang membatu. Tangisan itu nyata. Bukan ilusi, bukan bisikan kutukan. Ia mendekat perlahan, setiap gerakan membuat tanah bergetar, dan api di gauntlet-nya menyala lebih terang, seolah merespon sesuatu yang tak bisa dijelaskan.

Di balik pilar yang retak, ia melihatnya—seorang anak laki-laki, tak lebih dari sepuluh tahun, berbalut kain lusuh dan tubuh penuh debu. Mata anak itu menatap Aldous tanpa ketakutan, hanya kelelahan dan harapan yang belum mati.

"Kau... penjaga?" tanya anak itu, suaranya serak tapi jujur.

Aldous tidak menjawab. Ia hanya menatap tangan kanannya, yang kini berdenyut liar, seolah menolak kehadiran cahaya kecil itu.

"Aku... tersesat," lanjut anak itu. "Aku mencari ayahku. Dia bilang labirin ini dulu tempat orang-orang hebat."

Aldous menunduk. Orang-orang hebat? Mereka semua telah hancur. Ia adalah sisa dari kehancuran itu.

"Tempat ini bukan untukmu," akhirnya Aldous berkata, suaranya berat seperti batu yang jatuh ke dalam jurang.

"Tapi kau masih di sini," jawab anak itu. "Berarti masih ada yang bisa dijaga."

Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari kutukan mana pun. Aldous merasa sesuatu bergeser dalam dirinya—bukan kekuatan, tapi luka yang mulai terbuka. Ia melihat bayangan dirinya sebelum kutukan, sebelum kehancuran. Seorang penjaga muda, penuh idealisme, percaya bahwa kekuatan bisa digunakan untuk kebaikan.

Ia mengulurkan tangan kirinya—tangan yang masih manusia—dan anak itu menggenggamnya tanpa ragu. Di tengah reruntuhan, dua sosok berdiri: satu terkutuk, satu polos. Tapi keduanya membawa sesuatu yang dunia telah lama lupakan—kepercayaan.

Aldous melangkah maju. Gauntlet nya menyala terang, dan tanah di bawahnya mulai retak. tapi ia tidak langsung menyerang. ia tahu, jika menggunakan kekuatan itu, ia akan kehilangan lebih banyak dari yang di bayangkan.

"Aku bukan kutukan," Katanya pelan. "Aku adalah pilihan."

Makhluk itu tertawa, suara retak seperti kaca yang pecah. ia melompat ke arah Aldous, dan dalam sekejap, dunia menjadi api.

Aldous mengangkat gauntlet nya, dan pukulan itu datang nya sangat cepat, berat, dan penuh cahaya merah yang menyialukan. Makhluk itu terpental, tubuhnya hancur menjadi debu dan bayangan.

Tapi tanah di sekitar mereka ikut hancur. Dinding runtuh, lorong-lorong terbuka, dan dari dalam muncul lebih banyak bayangan—makhluk-makhluk yang lahir dari eksperimen, dari kutukan, dari ambisi yang tak pernah mati.

Rava menatap Aldous, matanya penuh ketakutan. Tapi Aldous menatap balik, dan untuk pertama kalinya, ia tidak merasa sendiri.

"Kita harus pergi," katanya. "Tapi bukan untuk lari. Kita akan mencari inti labirin. Di sana, semuanya dimulai. Dan di sana, semuanya harus berakhir."

Rava mengangguk. Ia tidak tahu apa yang akan mereka temui, tapi ia tahu satu hal: selama Aldous masih berdiri, masih memilih untuk melindungi, maka api itu belum padam.

More Chapters