Ficool

Chapter 14 - BAB 14 – Patah Hati

Hari itu, Rania bangun dengan semangat yang berbeda.Setelah berminggu-minggu memendam, ia akhirnya memutuskan: hari ini aku akan bilang.

Tentang kehamilan. Tentang rasa yang perlahan tumbuh. Tentang keberanian yang selama ini hanya ia simpan sendiri.

Ia memasak sarapan sederhana telur dadar, nasi putih hangat, dan teh manis kesukaan Dimas. Ia bahkan menyalakan lilin aroma terapi di meja makan. Tidak ada acara, tidak ada ulang tahun. Tapi untuk Rania, ini seperti hari perayaan kecil... perayaan akan kejujuran.

Jam dinding menunjukkan pukul 09.45 ketika suara pintu terbuka.

Dimas pulang.

Rania tersenyum, menyambutnya di depan pintu.

"Mas," sapanya pelan. "Kamu capek? Mau langsung makan? Aku"

Tapi senyumnya perlahan pudar.

Di belakang Dimas... berdiri Clara.

Cantik seperti biasa. Rapi. Dan kali ini, tidak hanya dengan senyum ramah tapi dengan ekspresi tegas dan penuh urgensi.

"Ran," suara Dimas agak canggung. "Aku bisa jelasin. Clara cuma"

"Boleh aku bicara berdua dengan Rania sebentar?" potong Clara.

Dimas terlihat ragu. Rania hanya mengangguk.

Di ruang tamu, Rania duduk berhadapan dengan perempuan yang dulu sempat menjadi bagian dari hidup Dimas dan kini, kembali muncul di saat yang paling tidak tepat.

"Rania," kata Clara, pelan tapi mantap. "Aku nggak datang untuk merebut Dimas. Aku tahu kalian sudah menikah. Tapi ada satu hal yang harus kamu tahu... sebelum kamu membuat keputusan besar."

Rania menatapnya tanpa berkata-kata.

Clara melanjutkan, "Aku sedang sakit. Stadium awal, tapi cukup serius. Dan... satu-satunya orang yang pernah ada di sisiku saat aku benar-benar runtuh, ya Dimas."

Rania menggenggam tangan sendiri, mencoba tetap tenang. "Kamu datang karena itu?"

Clara mengangguk. "Aku bukan ingin kamu menyerahkan Dimas. Aku cuma ingin kamu tahu... bahwa dia mungkin akan terlibat dalam hidupku untuk sementara. Bukan karena cinta. Tapi karena... aku butuh seseorang yang bisa aku percaya. Dan aku cuma punya dia."

Air mata Rania jatuh, pelan.

Clara berdiri. "Maaf, kalau kedatangan aku menghancurkan harimu. Tapi aku lebih nggak bisa tidur kalau harus menyimpan ini."

Clara pergi. Dan Dimas masuk tak lama kemudian.

"Ran, aku baru tahu kabarnya kemarin malam. Aku nemu dia di Bandung dia tinggal di kota yang sama ternyata. Dia cerita semuanya di depan hotel, dan... aku gak tega ninggalin dia sendirian."

Rania tidak menjawab. Ia berdiri pelan, mengambil sepucuk kertas dari laci.

Kertas itu adalah hasil USG pertama janin kecil berusia lima minggu yang belum sempat ia kenalkan pada siapa pun.

Ia menyerahkannya pada Dimas. Diam.

Dimas membaca pelan, matanya membesar. "Ran… kamu...?"

Rania menatapnya, air matanya sudah mengalir deras.

"Aku pengen bilang pagi ini. Tapi dia datang duluan. Dan kamu... datang bersamanya."

Dimas melangkah mendekat. "Ran, dengerin aku. Aku nggak akan ninggalin kamu. Apapun yang terjadi. Aku cuma"

"Tapi kamu nggak di sini saat aku butuh. Kamu nggak ada saat aku gemetar lihat garis merah itu. Kamu nggak ada saat aku mual tengah malam. Kamu bahkan nggak tahu aku berhenti minum kopi."

"Karena kamu nggak bilang..." Dimas bersuara lirih.

Rania tersenyum pahit. "Dan kamu nggak peka. Selalu terlambat, Mas."

Ia melangkah ke kamar, meninggalkan Dimas yang berdiri memegang foto USG dengan tangan gemetar.

Malam itu, untuk pertama kalinya sejak menikah... mereka tidur di ruangan terpisah.

Dan di balik dinding kamar, dua hati yang saling mencintai hanya bisa saling merindukan dalam diam.

Karena kadang cinta saja... tidak cukup.

More Chapters