Ficool

Chapter 20 - BAB 20 – Tantangan Karier

Sudah hampir tiga bulan sejak dua garis merah itu muncul, dan sekarang, perut Rania mulai membulat manis.Dimas bahkan punya kebiasaan baru: berbicara dengan si kecil setiap pagi dan malam.

"Selamat pagi, calon fotografer kecil Papa. Hari ini Mama harus sarapan sehat, ya?"

Atau saat malam hari, sambil memijat kaki Rania yang mulai sering kram:

"Maaf ya, hari ini Papa lembur sebentar. Tapi besok kita quality time, janji."

Rania merasa… hidupnya mulai utuh.

Tapi seperti hidup pada umumnya, saat satu hal membaik, seringkali ada ujian baru datang tanpa aba-aba.

Siang itu, di kantor, Rania dipanggil ke ruang direktur.

"Rania," kata Pak Rudi, atasannya. "Kami tahu kamu sedang hamil, dan kami juga sangat menghargai kinerjamu sejauh ini. Tapi ada sesuatu yang perlu kami tawarkan."

Rania mengangguk pelan. "Silakan, Pak."

"Kami ingin kamu naik ke posisi Regional Manager untuk Jawa-Bali. Gaji naik, fasilitas naik, dan kamu bisa pegang lebih banyak tim. Tapi... kamu akan banyak dinas keluar kota. Setidaknya dua kali sebulan. Mulai bulan depan."

Dunia seperti berhenti sebentar.Ini… adalah promosi yang selama ini ia impikan. Tapi bukan sekarang. Bukan ketika dia baru mulai menata ulang rumah tangganya.

"Boleh saya pikirkan dulu, Pak?" tanya Rania, berusaha terdengar netral.

"Tentu. Tapi mohon kabari sebelum Jumat. Kami perlu mulai proses transisi."

Malamnya, Rania tak langsung bicara soal promosi. Ia hanya duduk di meja makan, menyuap nasi perlahan, tapi pikirannya tak di sana.

Dimas, yang peka terhadap perubahan sikap Rania, akhirnya bertanya,"Kamu kenapa? Mual lagi?"

Rania menggeleng. "Nggak. Cuma… capek."

Dimas tak menekan. Tapi malam itu, saat mereka bersiap tidur, Rania akhirnya membuka suara.

"Mas, aku dapat tawaran promosi."

Dimas menoleh, terlihat senang. "Wah! Selamat! Itu yang kamu tunggu-tunggu, kan?"

"Iya. Tapi... aku harus banyak ke luar kota. Meeting, kontrol cabang, mungkin lembur. Kalau aku ambil, berarti aku bakal sering ninggalin kamu dan bayi kita."

Dimas terdiam. Hanya sebentar, tapi cukup membuat Rania cemas.

"Mas?"

Dimas menatapnya. Lalu berkata pelan, "Kamu mau ambil?"

"Aku… nggak tahu. Ini mimpi aku, Mas. Tapi sekarang mimpinya bercabang. Ada kamu. Ada bayi ini. Ada rumah yang baru kita bangun."

Dimas menghela napas, lalu duduk lebih dekat. Ia memegang tangan Rania.

"Kalau kamu tanya egoku… aku pengen kamu tetap di rumah. Jaga diri. Nggak usah capek-capek. Tapi kalau kamu tanya hatiku... aku nggak mau jadi penghalang kamu. Kamu boleh kejar apa pun. Aku akan dukung."

Rania berkaca-kaca. "Kamu yakin?"

"Kita pasangan, Ran. Kita saling jagain. Kalau kamu capek, aku gantian. Kalau kamu jauh, aku tungguin. Tapi jangan pernah batasi dirimu... cuma karena kamu takut ninggalin aku. Aku nggak akan ke mana-mana."

Dua hari kemudian, Rania kembali ke kantor dan menjawab:

"Saya terima promosinya, Pak. Tapi saya butuh satu hal: jadwal kerja fleksibel. Saya tetap profesional, tapi saya juga seorang ibu."

Pak Rudi tersenyum. "Kami akan buat pengaturannya. Selamat, Bu Manager."

Malam itu, Rania menempelkan pipinya ke dada Dimas dan berkata,"Kalau dulu aku takut kehilangan mimpiku karena pernikahan… sekarang aku tahu, menikah dengan kamu justru bikin aku berani bermimpi lebih jauh."

Dimas memeluknya erat. "Dan aku bangga bisa jadi tempat kamu pulang."

More Chapters