Ficool

Chapter 16 - BAB 16 – Kejar ke Bandara

Satu minggu setelah Rania kembali ke apartemen, semuanya terasa lebih baik.Hangat. Terbuka. Jujur.

Dimas mulai bangun lebih pagi, membuatkan sarapan, bahkan mengantar Rania ke kantor setiap dua hari sekali.Rania pun mulai terbiasa dengan mual pagi, tidur siang, dan catatan kecil di kulkas berisi pesan manis dari Dimas seperti:

"Selamat pagi, Bu Ibu. Bayinya minta roti isi keju, katanya 😁"

Semua terasa mengarah ke arah yang benar.Sampai akhirnya… sebuah email mengacaukan semuanya.

Subject: URGENT – Project Aceh 4 Hari, Take Off Besok Pagi

Dimas menatap layar laptopnya. Klien besar dari luar negeri ingin mengadakan pemotretan dokumentasi pembangunan fasilitas air bersih di Aceh dan mereka hanya mau Dimas.

Fee-nya besar. Nama Dimas akan masuk ke jaringan internasional.

Tapi waktunya... terlalu mendadak.

Dan besok pagi adalah hari Rania kontrol kehamilan pertamanya ia bahkan meminta Dimas untuk menemaninya ke dokter kandungan.

"Mas, jadi kamu ambil tawaran itu?" tanya Rania pelan sambil melipat baju di ranjang.

Dimas menghela napas. "Aku belum tahu, Ran. Tapi ini besar. Aku kerja freelance, proyek kayak gini bisa bantu kita untuk biaya nanti…"

"Jadi kamu pilih kerja?"

"Bukan begitu."

"Tapi kamu ragu untuk bilang enggak."

Dimas terdiam.

"Mas," lanjut Rania, suaranya mulai bergetar. "Selama ini aku diem, ngalah, karena aku tahu kamu berjuang. Tapi hari ini... untuk pertama kalinya aku pengin kamu ada. Di sisiku. Waktu kita lihat bayi kita di layar. Aku pengin kamu ada di ruang itu. Di sebelahku."

Dimas menunduk. Tapi tidak memberi janji.

Pukul 4 subuh keesokan harinya, Dimas berdiri di depan koper yang sudah rapi di dekat pintu.

Rania belum bangun. Atau mungkin… sengaja tidak bangun.Dan Dimas tidak membangunkannya.

Ia hanya menulis sebuah catatan kecil:

"Aku janji, ini cuma 4 hari. Aku pulang secepat mungkin. Maaf... aku harus pergi dulu. – Dimas"

Lalu ia melangkah keluar apartemen. Tanpa suara.

Jam 7 pagi, Rania bangun. Melihat ruangan kosong, koper yang hilang, dan catatan itu… jantungnya seolah jatuh ke lantai.

Air matanya langsung mengalir.Bukan karena Dimas pergi. Tapi karena... ia merasa tidak diprioritaskan. Lagi.

Setelah semua pembuktian. Setelah semua janji. Setelah semua "aku akan belajar."

Ternyata tetap... dia nomor dua.

Rania berdiri, meraih tas, lalu menelpon Mama.

"Ma, aku pulang ke rumah bentar, ya. Aku nggak kuat sendirian hari ini."

Di bandara, Dimas duduk menunggu boarding. Tapi pikirannya penuh dengan wajah Rania yang kecewa. Ia melihat ponselnya tak ada pesan masuk. Tak ada missed call. Tak ada "jaga diri ya."

Lalu ia membuka galeri.Foto USG.Foto Rania yang sedang tertawa di dapur.Foto sticky note di kulkas: "Beli roti gandum, ya. Baby suka."

Dimas berdiri mendadak.

"Mas, penerbangan Aceh Garuda 07…" panggil petugas.

Tapi Dimas berjalan menjauh. Berbalik arah. Keluar dari ruang tunggu.

Pukul 08.45 pagi.

Rania duduk di kursi tunggu klinik kandungan.Tangannya dingin. Matanya sembab. Di sekelilingnya, para ibu hamil datang bersama suami mereka. Saling menggenggam. Saling menatap penuh harap.

Ia sendirian.Dan ia merasa kalah.

Sampai suara napas terengah-engah datang dari belakang.

"RAN!"

Rania menoleh.

Dimas berdiri di sana rambut berantakan, jaket setengah terbuka, sepatu kiri terikat setengah hati. Tapi matanya...

Penuh penyesalan.Penuh cinta.

"Aku gak jadi pergi," katanya sambil terengah. "Aku gak mau kehilangan momen ini. Aku gak mau anak kita tumbuh dengan cerita: 'Papa kamu milih pekerjaan waktu Mama lihat aku pertama kali.'"

Rania menutup wajahnya, menangis. "Kamu bodoh."

Dimas mengangguk. "Tapi bodoh yang milih pulang."

Beberapa menit kemudian, mereka masuk ruang USG.Dimas menggenggam tangan Rania. Monitor menampilkan denyut kecil di layar.

"Ini jantungnya," kata dokter. "Sudah mulai berdetak."

Rania menatap layar dengan air mata berlinang.Dimas menatap perut Rania dengan mata berkaca-kaca.

"Maaf aku hampir nggak ada," bisiknya.Rania menggeleng pelan. "Tapi kamu datang."

More Chapters