Ficool

Chapter 17 - BAB 17 – Deklarasi Cinta

Malam itu, langit Jakarta cerah. Bulan menggantung penuh, dan dari balkon apartemen mereka, suara kota terdengar seperti nyanyian latar yang tenang.

Rania duduk bersandar di kursi malas, mengenakan kaus kebesaran Dimas, memandangi lampu-lampu kota dengan tatapan kosong tapi damai.

Di dalam apartemen, Dimas berdiri di dapur, memanaskan susu hangat untuk Rania—sejak tahu dirinya hamil, perempuan itu jadi lebih mudah lapar di malam hari. Tapi bukan soal lapar yang membuat Dimas gelisah malam ini. Ada sesuatu di dadanya yang menumpuk... terlalu lama.

Rasa yang selama ini ia ungkap lewat perhatian, pelukan diam-diam, dan senyum menahan rindu—tapi belum pernah lewat kata-kata.

Malam ini, ia ingin mengatakannya. Semua. Apa adanya.

"Susu hangat rasa cinta," katanya sambil menyodorkan gelas.

Rania tertawa kecil, mengambilnya. "Cinta nggak ada rasanya. Tapi katanya bikin jantung deg-degan."

Dimas duduk di sampingnya. Hening sebentar. Lalu, pelan-pelan... ia mulai bicara.

"Ran," katanya. "Kamu tahu nggak, dari semua hal yang pernah aku coba pahami dalam hidup... kamu yang paling rumit."

Rania menoleh. "Kamu bilang aku rumit?"

Dimas tersenyum kecil. "Kamu bisa nangis karena iklan susu. Bisa marah kalau aku lupa tutup odol. Bisa bahagia cuma karena aku bilang nasi goreng kamu enak, padahal gosong."

Rania menunduk, malu. Tapi senyum tak bisa ia tahan.

Dimas melanjutkan, suaranya lebih pelan. Lebih dalam.

"Dulu aku pikir cinta itu tentang jatuh. Tapi sekarang aku sadar... cinta itu soal milih. Milih untuk tetap tinggal, bahkan saat semuanya terasa susah. Milih untuk buka hati, bahkan saat takut kecewa. Dan aku... milih kamu."

Rania terdiam. Matanya berkaca-kaca.

"Mas…"

"Aku cinta kamu, Ran."Dimas menatapnya langsung. "Nggak lagi setengah. Nggak lagi ragu. Aku jatuh cinta ke kamu, dan aku milih untuk jatuh setiap hari. Sama kamu."

Air mata Rania jatuh tanpa aba-aba. Ia menyentuh wajah Dimas, dan untuk pertama kalinya, bibir mereka bertemu dalam ciuman singkat yang dipenuhi rasa lega dan kasih.

Tak ada musik latar. Tak ada cahaya dramatis.Hanya dua hati... yang akhirnya bicara jujur.

Tapi kebahagiaan kadang tidak punya waktu lama untuk tinggal.

Keesokan harinya, saat Rania sedang berbelanja keperluan bayi di toko peralatan ibu & anak, ia bertemu seseorang yang tak disangka: Gilang.

Mantan tunangannya.

Laki-laki yang dulu pernah hampir dinikahi, sebelum Rania memutuskan semuanya karena merasa "takut menikah karena rasa yang tidak penuh."

Gilang datang menghampiri dengan senyum tipis.

"Rania?"Rania menoleh. Dunia seolah berhenti sebentar.

"Lama nggak ketemu. Kamu... hamil?"

Rania mengangguk pelan. "Iya. Sudah masuk bulan ke-2."

Gilang tersenyum, tapi tatapannya aneh. Seperti menahan sesuatu.

"Jadi... kabar yang kudengar benar. Kamu menikah sama Dimas?"

"Iya."

"Aku cuma... pengin bilang, dulu kamu bilang gak siap menikah. Tapi ternyata, kamu cuma gak siap menikah denganku, ya?"

Rania tercekat. "Gilang... bukan gitu."

Gilang tersenyum pahit. "Nggak apa-apa. Cuma... jangan terlalu percaya sama 'teman' yang katanya nggak bisa bikin kamu jatuh cinta. Karena kadang... yang paling dekat justru yang paling bisa menyakiti."

Malamnya, Rania gelisah. Kata-kata Gilang menancap dalam. Ia mulai mempertanyakan:Apakah dirinya terlalu cepat percaya?Apakah Dimas sungguh mencintainya, atau hanya karena rasa tanggung jawab atas kehamilan ini?

Saat Dimas memeluknya dari belakang dan membisikkan, "Aku sayang kalian berdua," Rania diam.

Senyumnya tetap muncul.

Tapi hatinya… mulai penuh tanya.

More Chapters