Ficool

Chapter 13 - BAB 13 – Pengakuan yang Ditahan

Hari itu hujan turun deras sejak siang.Di dalam apartemen, Rania duduk di meja makan dengan secangkir teh jahe, tangannya memeluk perut yang belum terlihat membesar, tapi sudah menyimpan rahasia besar.

Aku hamil.Tiga kata itu menyesakkan. Bukan karena tidak diinginkan, tapi karena belum sempat diucapkan.

Dimas sudah mulai lebih perhatian, lebih sering di rumah, bahkan mencoba mengimbangi ritme emosi Rania yang kadang naik turun. Tapi tetap saja ada jarak yang belum bisa mereka lewati.

Dan Rania... masih belum tahu bagaimana caranya bilang bahwa hidup mereka akan berubah untuk selamanya.

Sementara itu, di ruang kerja apartemen, Dimas duduk sendiri di depan layar laptop, menatap folder foto-foto lamanya bersama Rania.

Ada yang membuat hatinya sesak.

Sebuah foto lama Rania tertawa dengan baju SMA, sedang makan es krim di pinggir trotoar.

Dimas tersenyum kecil. Tapi senyum itu pelan-pelan hilang, digantikan rasa bersalah. Ia sadar, terlalu sering ia menahan kata-kata penting hanya karena takut kehilangan.

Dan malam itu, ia berdiri di depan kamar, melihat Rania sedang tidur di ranjang dengan selimut setengah menutup tubuhnya.

"Ran," bisiknya pelan. "Aku cinta kamu."

Tapi Rania tak menjawab. Ia terlalu lelap.Atau mungkin... terlalu lelah.

Dimas tidak membangunkannya. Ia hanya berdiri lama di sana. Menatap, dan menahan diri untuk tidak mengguncang dunia yang mungkin akan hancur kalau ia terlalu jujur.

Keesokan harinya, Rania bangun dengan kepala berat dan perut yang terasa mual. Ia buru-buru ke kamar mandi, dan seperti biasa, muntah lagi.

Dimas tidak di rumah katanya ada jadwal foto dadakan di luar kota.

Setelah mandi dan berdandan seadanya, Rania keluar apartemen. Ia tidak ke kantor, tidak juga pergi ke rumah Mama. Tapi ke tempat yang bahkan ia sendiri tak duga akan ia tuju pagi itu.

Ke rumah Alya.

Alya, sahabat kantor sekaligus orang paling cerewet yang Rania kenal, terdiam setelah mendengar pengakuan sahabatnya itu.

"Kamu... hamil?" tanyanya pelan.

Rania mengangguk. "Udah dua minggu. Aku tahu dari awal. Tapi aku belum bilang ke siapa-siapa. Bahkan ke Dimas."

Alya meletakkan cangkir tehnya dan menatap Rania lekat-lekat. "Kenapa kamu bilang ke aku duluan?"

Rania menunduk. "Karena aku takut. Takut kalau aku bilang ke Dimas, dia pikir aku hamil karena dia harus, bukan karena cinta."

Alya menarik napas panjang. "Ran, cowok bisa aja gak peka. Tapi Dimas itu gak bodoh. Dia tahu kamu berubah. Dia pasti nunggu kamu cerita."

Rania mengusap wajahnya. "Aku gak tahu harus mulai dari mana."

Alya menepuk tangannya. "Mulailah dari keberanian. Kamu perempuan yang kuat. Kamu nikah karena keputusan besar. Sekarang waktunya kamu juga berani jujur."

Sore harinya, Rania pulang ke apartemen. Tapi Dimas belum kembali. Di meja, ada sepucuk surat kecil.

"Ran, aku ke Bandung semalam. Ada revisi klien yang nggak bisa ditunda. Pulang besok sore. Jaga diri, ya. Aku titip kamu ke semesta."

– Dimas

Rania menghela napas panjang. Ia menatap surat itu lama, lalu menggenggamnya.

Malam itu, untuk pertama kalinya, Rania berdiri di depan cermin sambil menyentuh perutnya, dan berkata pelan:

"Kita tunggu Papa pulang, ya."

Tapi jauh di Bandung, Dimas berdiri di balkon hotel sendirian.Di tangannya, ponsel terbuka di aplikasi galeri, memperlihatkan foto Rania tertawa sambil menyender ke bahunya.

Dan entah karena rindu atau karena kesadaran yang akhirnya datang terlambat, Dimas bergumam:

"Kalau aku kehilangan kamu, mungkin aku akan kehilangan satu-satunya alasan untuk percaya sama cinta."

More Chapters