Ficool

Chapter 4 - Kelas 12-A

pintu yang bergeser itu, seketika keadaan menjadi sunyi. Ada satu jendela terbuka, aku menyelusuri tiap meja dan menutup jendela yang terbuka itu.

Sembari menutup gorden─── lalu duduk di tempatku yang biasanya. Aku tetap merasa tidak nyaman entah alasannya apa. Waktu berganti malam dengan cepat dan aku tetap melamun, tenggelam dalam pikiranku sendiri.

Jika aku kembali ke dalam kamar, apakah wanita itu akan mengusik ku? jika ku ingat-ingat, aku melupakan Frederick di dalam kamar. Mungkin sekarang dalam keadaan tidak bernyawa.

Sungguh aku adalah teman yang kejam.

Aku tetap memutar otak dan meletakkan kepalaku yang malas ini dengan miring di telapak tangan, merasa kantuk.

Akan tetapi aku sungguh takut, baru kali ini aku merasakan kejadian mistis di kota ini. Kalau saja aku bisa meminta pertolongan, akan tetapi aku tidak memiliki kerabat dekat di sekitar kota Wooden Ville.

Ah saklar listrik sialan! Jika saja listrik menyala aku bisa saja dengan mudahnya meminta bantuan. Sekarang sudah malam hitam pekat, orang gila mana yang ingin menyusuri ruang belakang.

Belum lagi satu-satunya senter yang ku punya sudah mulai padam, tamatlah aku.

Mataku sudah mulai terlelap, lama kelamaan aku sudah siap untuk menutup mata. Mungkin menunggu bantuan hingga keesokan harinya tidak buruk.

Brak

Kepalaku terjatuh di meja ....

Sepertinya tengkuk hidungku berdarah, aku melihat ke arah jam dinding. Arah jarum jam mengarah ke jam 12 malam, lewat 10 menit. Sebenarnya sudah berapa lama aku disini?

Dokumen,

Dokumen sekolah??

Aku tidak merasa dokumen ini ada sebelumnya. Dengan hati-hati aku melihat sekeliling kelasku, dari arah depan hingga belakang.

Omong kosong, itu hanyalah khayalanmu Tom. Sadarlah,

Dengan begitu aku bersikap acuh tak acuh, walau sebagian jiwaku ingin membuka dokumen itu di karenakan rasa penasaran. Bagaimana jika aku membuka dokumen itu akan terjadi hal-hal mistis?

Akan tetapi logis saja, kejadian mistis di kota ini sudah lumrah. Karena aku melihatnya dengan kedua mataku sendiri. Lalu aku tetap kekeh untuk membuka dokumen yang tidak lain adalah dokumen biasa.

Mungkin sebelumnya aku menggunakan dokumen ini sebagai alas tidur.

Aku merasa iseng lalu membuka dokumen berwarna coklat dengan sedikit bercak noda. Berdebu dan bau serangga, di dalamnya hanya terdapat informasi dan detail setiap siswa kelas 12-A.

Semuanya terlihat membosankan, hanya menunjukkan setiap identitas para siswa-siswi seperti latar belakang dan jejak pendidikan. Sebenarnya aku sedang mencari apa?

Aku membuka lembar demi lembar demi mengurangi rasa bosanku dan ingin waktu segera bejalan dengan cepat. Sampai di titik aku menemukan lembar yang berisi informasi mengenai diriku.

Di dalamnya tidak terdapat hal spesifik atau mendetail, seperti yang lain.

Lalu sebelahnya ...

Makoto Shiranai

Apa ini?? Tidak ada informasi satupun mengenai dirinya. Bahkan foto wajah tidak terlihat dengan jelas, seketika ruangan kelas menjadi pecah.

Meja dan bangku yang ku tempati menjadi hilang, lalu semua benda menjadi hitam. Perlahan-lahan, menghisapku seperti lubang hitam.

─────────

"Aaghh? ..."

Aku terbangun dalam keadaan seluruh teman kelas menatapku.

Kebingungan, aku menatap Frederick yang sedang melihat lorong kelas sebelah. Merasa dia tidak fokus. Aku menampar punggung lelaki berkulit gelap dan rambut keriting itu.

"Mengapa teman kelas kita bertingkah aneh?" Ujarku sembari berbisik.

"Kaulah yang aneh, ini sudah hari Rabu kenapa kau memakai jaket dan celana yang lusuh ke sekolah. Omong-omong jarang sekali Pak Ferna tidak menyadari keberadaan mu hari ini."

Lelaki itu tertawa.

"Biasanya pria gendut dan tua itu akan segera menghukum siswa-siswi yang tidak patuh." Gumamnya.

"Frederick! Dilarang berbicara saat guru menerangkan."

"...."

Sial, dia menatapku.

"Dan Thomas Alfrein, kerasukan apa kau menggenakan baju olahraga di pelajaran fisika?"

Teman-temanku tertawa, termasuk Frederick.

"Pergilah ke ruang guru dan bicarakan hukuman yang pantas untuk langgaran kali ini."

Aku dengan malasnya beranjak dari bangku ku dan melangkahkan kaki dengan luwes. Sembari berbalik badan aku menodongkan jari tengah kepada lelaki yang sedang menahan tawa di sebelah ku.

"Thomas! Cepat."

Aku hanya mengangguk sembari memutar bola mata dengan jengkel.

Ruang guru, seharusnya tidak jauh dari kelasku. Faktanya aku hanya perlu lurus dan bum, ruang penuh kesialan. Suasananya sunyi akan tetapi aku bisa mendengar suara dari murid kelas lain yang mengolok-olok ku.

Seharusnya aku pulang saja, setelah itu aku menutup kepalaku dengan kerah hoodie biru ini.

Aku memegang gagang pintu bulat itu dan memasuki ruangan guru.

"Permisi Bu Aunties,"

"Ada perihal apa anda kesini?"

"Aku di kenakan penalti atau semacam hukuman karena tidak memakai seragam, di suruh oleh Pak Ferna."

"Hm, Pak Ferna ya? Untuk perihal hukuman seragam akan saya cari di buku pelanggaran aturan. Sebentar ya,"

Guru berkacamata merah dan berambut ikat cepol itu beranjak untuk mencari dari ruang yang lain. Walau hanya hukuman, akan tetapi aku tidak mau di hukum.

Lama sekali guru itu.

Aku melihat ke sekeliling ruang guru, isinya benar-benar kosong dan rapih. Tidak ada serpihan debu sedikitpun. Bu Aunties memang terkenal karena kerapihannya, sangat beruntung ia bukanlah wali kelasku.

Karena bosan aku berusaha membuka korden jendela dan melihat lorong kelas, lalu aku melihat sekumpulan osis dan ketua osis sekolah ini sedang berdiskusi.

Kira-kira mereka membicarakan apa?

Sebentar, aku tidak salah lihat? Lagi-lagi wanita aneh itu selalu tampak di depan wajah di saat aku tidak ingin melihatnya. Ia menggenakan seragam osis.

Apa-apaan sialan, sepertinya selera sekolah ini rendah.

Aku ingin sekali menggali informasi mengenai dirinya dan mengapa ia sangat penting. Namun di saat aku mengintip Bu Aunties memukul pinggangku dengan tongkat kayu yang panjangnya tidak seberapa itu.

"Anak muda jaman sekarang, tidak punya sopan santun." Ujarnya sembari membenarkan kacamata merahnya.

"Maaf Bu Aunties,"

"Sudahlah, hukuman penaltimu skormu akan di kurangi dan kau harus berjemur di atas lapangan sampai jam 12."

Apa? Yang benar saja, jam 12. Untuk skor penalti di sekolah ini aku tidak terlalu mempedulikannya karena hanya berpengaruh kepada popularitas atau akreditasi sang murid.

Akan tetapi berjemur di ruangan terbuka? Ini Russia bung, setidaknya aku tidak hidup di Antartika. Cuaca di sini sangat dingin terlebih lagi aku tidak menggenakan topi.

Aku sangat merindukan topiku, tidak ingin mengeluh lebih lagi. Aku mengangguk pelan dan pergi beranjak dari ruang itu. Apakah lebih baik aku bolos? Tidak, jangan.

Pria tengik itu akan mengadu kepada guru jika ia tidak menemuiku di jam makan siang. Siapa sangka di saat aku menuju ke tangga, di sebelah kanan ruang guru. Aku berpapasan dengan para osis.

San

gat malu rasanya, namun peduli apa karena manusia-manusia ini tidak tau mereka sedang dalam bahaya apa membawa parasit semacam DIA.

More Chapters