Ficool

Chapter 6 - Tidak Ada

Aku terdiam dan termenung, melihat ke sekeliling ruangan sembari menelan air liurku.

"Tidak, tidak ada."

Jawabku sembari menundukkan kepala.

"Saat pulang sekolah, tunggu lah sampai aku tiba ... tidak akan lama,"

Sebenarnya apa yang ia rencanakan? Ia membuka pintu berkoridor merah itu dan beranjak pergi dari ruang kesehatan, lalu menutupnya kembali. Meninggalkanku sendirian bersama pikiranku.

Waktu demi waktu─── berjalan dengan lambat, aku mengistirahatkan tubuhku dan tergeletak di ruang kesehatan ini.

Sebenarnya sampai kapan aku harus menunggu dia? aku bahkan tidak dapat menjangkau ponsel ku yang berada di kelas, jauh dari sini. Aku mencoba memanggil sebuah guru akan tetapi tidak ada yang melewati ruang ini.

Aneh, sangat aneh.

Biasanya aku selalu melihat murid, atau bahkan guru kesehatan. Apakah wanita itu menyihir mereka agar tidak datang?

Aku sering mendengar kisah vampir, akan tetapi di kampung halamanku mereka tidak pernah menceritakannya selengkap itu. Aku benci keadaanku ketika bergantung kepada orang lain.

Aku selalu memutar balikkan fakta bahwa semua hal bisa ku lakukan sendiri tanpa dukungan ataupun bantuan orang. Akan tetapi, keadaan sekarang berbalik.

Sangat menyedihkan bahkan aku bergantung kepada wanita yang ku sebut sebagai 'monster' itu. Walaupun ia bertingkah baik, tidak menghilangkan fakta kalau roh jahat akan tetaplah jahat

Aku masih penasaran dengan latar belakang keluarganya, apakah ia orang kaya? Dengan penuh rasa percaya diri ia ingin 'membiayai' ku seumur hidup bahkan ketika tidak ada saksi mata sekalipun.

Orang normal akan meng── kambing hitamkan korban dan pergi alih-alih tanggung jawab. Seperti drama misteri yang sering ku tonton, atau mungkin tidak.

Nyatanya fiksi selalu berbanding balik dengan realita, akan tetapi tidak dengan keadaan ku yang sekarang ini.

Merasa putus asa, aku kembali melihat pemandangan melalui jendela yang ada di sebelah kiri tempat kasur tidurnya. Tidak ada apa-apa, hanya pohon dan semak-semak yang berada di depan. Menutupinya,

Aku berusaha membuka jendela dengan bingkai putih yang dapat di geser ke atas, lalu membukanya perlahan-lahan. Suasana hari itu benar-benar sunyi. Seharusnya siswa-siswi sudah berkegiatan, apa yang sebenarnya terjadi?

Aku mencoba mengintip ke samping dan,

—Sreengg

Suara itu kembali muncul, kali ini aku tidak mendapati penglihatan akan siapa yang mati.

Hanya rasa sakit yang luar biasa pusing, sangat kuat sehingga aku tergeletak jatuh dari kasur tidur dan kening ku mencium lantai berwarna coklat tua kemudaan itu.

Aku mencoba menyadarkan diri dengan menyentuh kepalaku dengan kedua telapak tangan, berusaha memfokuskan pandanganku yang sudah kabur dan buram.

Rasanya seperti kepalaku terhantam batu─── satu-satunya hal yang bisa kulihat adalah rak berisikan obat. Aku mencoba bangun menggunakan 1 kaki kananku yang masih berfungsi,

Brak

mendapati diriku jatuh lagi tergeletak di lantai. Tidak ingin menyerah aku menyeret diriku dengan posisi setengah telungkup, aku menyeret tubuhku menggunakan kedua tangan hingga menyentuh gagang pintu yang tajam itu.

Aku berusaha membukanya akan tetapi, terkunci.

Sialan!

Wanita brengsek itu memang berusaha untuk menjebakku,

"Tolong! bantu aku,"

Aku berteriak dan mendobrak pintu itu sekeras mungkin akan tetapi, tidak ada jawaban. Dengan kondisi tubuhku aku tidak bisa berdiri dan melompati jendela, sama saja aku mencoba untuk bunuh diri.

Ruang kesehatan di sekolah ku jauh, dan terdapat pada ruang paling belakang yang ada di sekolahan. Butuh waktu berjam-jam untuk sampai dan menyeret tubuhku sendiri ke ruang kelas.

Untuk terakhir kalinya aku mencoba untuk mendobrak dan melemparkan meja coklat yang ada di sebelah kasur itu, berharap pintunya akan retak.

Krek

Benar saja, bagian pintu bawah tepat di gagang ada yang berlobang. Dengan begitu aku mendekat dan mengintip. Melihat akan sesuatu yang bisa kugunakan sebelum,

......

Duar

Suara pistol menggema, bercak darah terciprat menuju koridor pintu.

───────────────

Detik-detik itu adalah detik aku bersyukur, karena terjebak di dalam ruangan yang sempit ini. Aku memegang gagang pintu dan tidak dapat mengeluarkan nafas sedikit pun. Takut, takut jika ia mendengarku.

"Laporan, area 4 sudah bersih. Tidak ada keanehan yang dapat di temukan, balik."

Aku mengintip lewat lubang yang berada di bawah gagang itu, di sana aku melihat 3 prajurit berseragam tentara. Aku tidak dapat melihat bagian atas, melainkan hanya seragam dan tas aneh yang di kenakan.

Semuanya berwarna hitam pekat,

"Tuan, kita belum mengecek ruangan ini."

"...."

Ucap salah satu tentara itu yang membawa pistol sniper hitam, bulu kudukku berdiri, merasakan getaran tanganku yang dengan kuat menggegam gagang pintu untuk menahan diriku dari berteriak.

"Tidak usah, aku tidak merasakan keberadaan manusia di sekitar sini."

"Semua sudah beres?"

"Sudah."

Kini suara langkah kaki mereka menjauh dari ruangan ini dan perlahan keadaan kembali sunyi. Meninggalkan ku dan mungkin bersama mayat manusia yang di tembak oleh para tentara itu.

Baunya tidak enak, aku benar-benar tidak tahan mencium aroma busuk ini. Aku harap wanita itu masih hidup, karena jika tidak aku akan terkurung sendirian di ruangan ini.

Suara itu tidak pernah berbohong.

Anehnya aku tidak dapat melihat kematian mereka satu-persatu. Apakah kemampuan ku hanya bisa jika ada ketentuan tertentu? Kebingungan, aku mengusap kepala ku dan tidak ada satupun ide yang datang.

Meninggalkan diriku duduk dengan posisi di depan pintu. dengan menekuk kaki kanan dan meninggalkan kaki kiriku tergeletak begitu saja.

Tiba-tiba, aku merasa pintu tergeser ke belakang dan tubuhku ikut bersentuhan dan kehilangan keseimbangan. Terkejut tidak main, ternyata wanita itu masih hidup!

Akan tetapi ia tidak menggenakan seragam sekolah yang biasa ia pakai, melainkan seragam sekolah yang tidak ku ketahui darimana asalnya itu.

Rok panjang berwarna biru tua dan sepatu boot hitam yang berwarna polos. Serta seragam yang tidak lebih─── mirip persis seperti baju pelaut yang berwarna biru.

Dengan manset atau sarung tangan panjang berwarna hitam pekat itu.

Aku menatap ke atas dan melihat dirinya menggunakan topeng dengan raut muka mata yang terbelalak dengan mulut datar seperti garis berwarna hitam, topeng putih pucat.

Aku merasa malu karena terlalu lama terjatuh di lantai.

"Hei ... Makoto."

Terkejut, aku melihat sisi topeng lainnya yang berbekas bercak noda darah. Dan aku tidak memperhatikan tangan kirinya menggenggam sebuah pedang katana yang panjang.

"Hei, apa yang ingin kau lakukan?"

Raut wajahku berubah menjadi kebingungan, Makoto tidak menjawab pertanyaan ku, terdiam. Aku merasa ada yang tidak beres, aku menyeret diriku ke belakang dan tersudut ke meja yang ku lempar tadinya.

Seperti patung, aku tidak bisa melihat ekspresi wajah yang ada di balik topeng itu. Merasa terancam, aku mengambil apapun yang bisa kugunakan untuk mempertahankan diriku.

Ah! serpihan kayu,

Serpihan kayu yang tajam ini ku todongkan ke arahnya. Dengan genggaman tangan yang terangkat dan terus bergetar.

More Chapters