"Kenakan topeng ini, jangan bertindak mencurigakan di sekitar mereka."
Ia menyerahkan topeng dengan raut wajah yang mirip persis seperti miliknya, mata hitam terbelalak dengan mulut─── bergaris hitam horizontal.
"Kau adalah orang yang spesial, ilusi yang di buat tidak akan mempengaruhi mu. Bertindaklah seakan-akan tidak ada yang terjadi."
Aku tidak terlalu memahami perkataan wanita berkulit pucat itu. Akan tetapi, aku menyimpan pertanyaan ku di saat keadaan sudah mulai aman. Seperti yang ia katakan.
Aku menggenakan topeng yang di berikan dan benar saja! Saat kami hendak keluar, keadaan sekolah ini berjalan seperti biasanya. Akan tetapi, lorong sekolah di penuhi dengan suara lonceng bel sekolah.
Menunjukkan waktu yang sudah pulang.
Takut tidak main, mayat-mayat yang sebelumnya ku lihat di kelas sudah mulai menghilang. Bahkan bercak-bercak darah yang ada di pintu juga mulai menghilang.
Fokus, fokus.
Aku mencoba menahan diriku dari berteriak, lorong sekolah tidak lagi di penuhi dengan manusia. Akan tetapi dengan hantu bertopeng, gila sekali!
Hantu-hantu itu tembus pandang, akan tetapi wujud mereka layaknya seorang manusia. Topeng mereka dapat berubah wujud membentuk ekspresi yang sesuai dengan raut muka.
Senyum, gelisah, takut dan marah.
Aku sangat takut, terlebih lagi waktu sudah mulai menunjukkan pukul 8 malam.
Kami pergi meninggalkan sekolah itu dari gerbong, membuatku bertanya-tanya ia akan membawaku kemana?
"Kau akan membawaku kemana?"
"Ke rumahmu, setidaknya itu tempat yang paling aman. Untuk sekarang,"
Untuk sekarang? Katanya.
Aku melewati rute yang sama persis saat ingin membeli cemilan dan melewati sungai, kemungkinan ini satu-satunya rute yang ia ketahui.
Sesampainya di rumah, aku merasa takut setengah mati. Setelah melewati perumahan yang di penuhi hantu-hantu bertopeng yang menyerupai manusia itu.
Akan tetapi, ia memperingatiku agar tidak mencopotnya untuk menghindari kecurigaan.
Sesampainya di rumah aku membuka pintu hitam dengan motif kayu yang polos, mempersilahkannya untuk masuk. Tidak lupa mencopot sepatu, dan menaruh jaketku di cantolan pintu.
Banyak sekali hal yang ingin ku tanyakan kepada dia, akan tetapi aku akan menyeduhkan teh terlebih dahulu. Mungkin sudah menjadi kebiasaan bagi diriku, menyeduhkan teh untuk tamu.
Akan tetapi! Hal yang paling terpenting ialah topi berlambang bintang itu, aku menyimpan setidaknya 10 topi cadangan jika salah satunya menghilang.
Rasanya menyusahkan, menaiki tangga dengan menggunakan tongkat krek yang setiap kali aku berjalan akan membunyikan suara.
Krek
"Tunggu sebentar, aku akan mengganti bajuku. minumlah teh itu selagi masih hangat."
Tongkat krek yang ku pegang ini ku taruh di samping matras kasur putih yang polos itu, sembari mengganti baju dengan duduk di lantai.
Aku mengganti jaket biruku yang tebal dan celana jeansku yang sobek dengan baju sweeter lembut berwarna merah dengan corak garis putih bintang.
Serta celana panjang berwarna hitam, akan tetapi teksturnya kasar.
Aku kurang menyukai celana ini, akan tetapi aku lupa mencuci celana di karenakan dini hari. Dan terakhir, aku menaruh topi Russia berlambang bintang itu di atas kepalaku.
Aku menyesal sudah meninggalkannya berhari-hari.
Sudah sempurna, aku mengambil tongkat dan berjalan menuju tangga bawah yang berada di samping kamarku itu. Tidak lupa, seluruh pintu rumahku berwarna hitam.
sepertinya pemilik rumah ini yang sebelumnya terobsesi dengan warna hitam.
Wanita itu duduk di sofa, tidak melakukan kegiatan apapun selain berdiam diri. Dia tidak meminum teh yang ku buat. Apakah orang ini tidak mengerti tata krama?
"Akoto, apakah area ini sudah aman?"
"Tidak,"
"Tidak?"
"Tidak, sebelum hari berganti. Mereka akan meninggalkan tempat ini begitu tidak ada rasa curiga."
Sebenarnya aku penasaran dengan kata yang selalu ia ucapkan, 'mereka'. Tidak ingin basa-basi lebih lama lagi, aku langsung menanyakan hal yang menuju ke poin penting.
"Apakah kau tahu mengenai prajurit tentara berseragam hitam itu?"
"The wiscked man, begitulah kaumku menyebutnya."
"Baiklah the wiscked man, apa tujuan mereka datang kesini?"
Dia diam sejenak, sepertinya sedang memikirkan kata-kata yang ia pilih. Aku takut otak manusiaku tidak sampai kepada penjelasan yang ia berikan.
"Mereka adalah prajurit yang menghilangkan tanda-tanda sihir. Bahkan jika itu berarti menyangkut nyawa manusia tidak bersalah."
"...."
"Karena di zaman modern ini, sangat mudah sihir di temukan dan tidak seharusnya mencampuri urusan dunia manusia."
Sedari tadi ia menyebutkan sihir, apakah itu berarti penyebabnya adalah sihir miliknya?
"Jadi mengapa mereka datang?"
"Mereka mendeteksi keberadaan sihir,"
"Apakah itu milikmu??"
"... Mengapa kau sangat yakin pengguna sihir disini hanya milikku?"
Hanya?
"Aku sedang tidak memiliki kekuatan, topeng ini adalah kekuatan terakhir ku untuk menutupi ilusi semata. Sedari tadi aku tidak dapat melawan karena energiku habis, jadi aku menyamar menjadi salah satu 'mayat' yang terpapar itu."
Dia berdiri dan menunjukkan pedang katana yang ia pegang sedari tadi.
"Properti ini hanyalah samaran,"
Lalu dalam sekejap sekujur tubuhnya di kelilingi asap berwarna merah kehitaman, dengan arah kebawah hingga naik keatas. Sepatu dan seragam yang ia kenakan berubah menjadi seragam sekolahku yang berlumuran darah dalam hitungan detik.
Pedang yang baru saja ia pegang juga menghilang, aku menatapnya dengan penuh rasa penasaran. Apa saja kemampuan para vampir? Apakah mereka juga dapat membuat ilusi lainnya.
"Jadi mengapa kau mengganti seragammu?"
"Karena jika tidak kau akan mengiraku sebagai pembunuh."
Eh? Benar saja.
Aku mengalihkan pandangan ke samping, karena saat topengnya terciprat darah aku sempat menganggapnya sebagai─── pembunuh. Apalagi ia sempat membawa pedang katana hitamnya.
Kini ia bertranformasi dengan wujud seragam yang ia kenakan sebelumnya, seragam pelaut dan memegang pedang katana yang tajam. Asap-asap itu kembali merayap di tubuhnya dengan arah yang berbalik. Malu karena ucapan wanita itu sebelumnya, aku mengalihkan topik.
"Jadi apa fungsi katana yang kau bawa itu? Akoto," Tanyaku.
"Membunuh seseorang, aku berpikir kita akan membunuh beberapa tentara berprajurit hitam itu. Namun tidak kusangka rencana berhasil berjalan dengan lancar."
Aku meneguk air liurku, perkataannya yang blak-blakan itu terkadang bisa sangat menyeramkan jika dibilang dengan terang-terangan.
"Apa yang kau rencanakan jika keadaan sudah kembali normal?"
"Maaf, rambut oranye. Aku harus segera pergi dari sini, sebaiknya kau juga.
Pergi? Aku masih memiliki tujuan yang bahkan belum terkuak sama sekali. Tidak, tidak bisa. Aku sudah sejauh ini untuk sampai ke kota Wooden Ville.
"Tidak, aku masih memiliki tujuan. Hei, kaulah yang menyebabkan kakiku seperti ini. Setidaknya bertanggung jawablah."
"...."
Wanita berponi hitam pendek itu lagi-lagi terdiam menyerupai patung. Aku sangat kesal sehingga ingin mencopot topengnya itu, Aku memaksakan diriku untuk berdiri dan memegang kedua kerah baju miliknya.
Menarik kerahnya dengan tujuan ia harus menjawabku.
"Uang? Aku bisa membantu dengan itu."
"Aku tidak mempedulikan bayaran uang, jika ingin membayar. Bayarlah dengan menemaniku di kota menjijikan berpenghuni hantu ini."
Ucapku dengan tergesa-gesa, takut jika dia benar-benar meninggalkanku.