Dia terdiam sembari memainkan kedua jarinya dengan postur tubuh yang gugup. Ia sering melakukan habit ini jikalau ia sulit menjelaskan keadaan atau tidak ingin menjelaskan satu kata pun.
"Fred—"
"Tidak tom, aku ingin membicarakannya."
Ia menjawab dengan cepat, seakan-akan ia membaca pikiranku mengenai dirinya. Sembari duduk, aku memulai percakapan agar kesunyian ini menghilang dan tidak terasa tegang.
"Aku mulai dari yang mudah saja, wanita itu.
Sebenarnya siapa dia?"
"Dia adalah Makoto Shiranai── murid pindahan yang berasal dari jepang, dan ia baru saja menghadiri kelas ini."
Jepang? Oh pantas saja paras dan wajahnya berbeda.
"Kau hampir tertabrak kereta Tom, seharusnya kau berterima kasih."
Aku tertawa terbahak-bahak lalu memukul meja dengan keras dan beranjak dari sofa, berdiri sembari mengayomi candaannya. Orang ini memang bodoh saat ia membahas wanita cantik,
"Berterima kasih? kau tidak tahu apa yang dia lakukan kepadaku."
Aku mengangkat tanganku dan menempatkan jari telunjuk di depan mulut untuk mengisyaratkan fred agar dia terdiam. Namun, anak itu tetap keras kepala.
"Aku tidak bercanda, kau benar-benar akan terluka jika ia terlambat sedetikpun, Berhenti bersikap dramatis."
Akan tetapi, jika ku pikir-pikir perkataan fred mulai masuk akal, sebelumnya aku melihat diriku tertabrak kereta bahkan dalam ingatanku yang belum terjadi. Akan tetapi, mengapa aku di tempatkan dalam kamarku?
"Lantas mengapa aku di tempatkan dalam kamarku?"
Aku melontarkan pertanyaan ringan. Benar saja ekspresi wajahnya tiba-tiba berubah menjadi datar, seakan-akan ia bingung apakah yang di lihat dari matanya hanyalah suatu kebohongan belaka.
Bukannya menjawab, ia melepaskan cangkir teh yang di pegang dan tertidur dalam hitungan detik. meninggalkan cangkir yang pecah itu berada di lantaiku.
Brak
"...."
Astaga .... setidaknya jangan biarkan lantai karpetku ternodai dengan bercak airnya.
Sontak, aku mencium aroma yang aneh seperti harum bunga mawar di campurkan rafflesia. Tidak mengenakkan ...
Aku mendengar suara langkah kaki yang menuju ke kamarku, sialnya aku lupa mengunci pintu. Sosok rambut hitam yang pendek, dan menggenakan seragam sekolah yang sama denganku. Itu adalah detik-detik pemandangan terakhir yang kulihat sebelum tertidur pulas.
────────
Aku sudah tidur terlalu lama, jiwaku sudah bangun. Walau mataku terbuka, pandanganku tetap kabur seperti orang yang buta.
"Kau sudah bangun ternyata."
Suara wanita?
Aku beranjak pergi dari tempat tidur, Terkejut tidak main. Tubuhku reflek mengambil pisau di samping rak buku yang ku gunakan untuk memotong kain baju sebelumnya.
".... Pisau seperti itu. Tidak akan .... menyakitiku."
Aku merasa jantungku berdetak dengan cepat dan keringat dingin membasahi tubuhku. Menakutkan, aku tidak tau harus melakukan apa karena kondisi tubuhku sedang melemah.
Aku hanya menuding pisau dengan mengarahkannya ke dia sembari memojok di pinggir kasur.
"Aku tidak datang untuk membunuhmu, Thomas Alfrein."
"Cukup── jangan sakiti aku ... aku mohon." Tanganku bergetar dengan sendirinya.
Dia melangkah maju dan maju, menyulurkan tangannya untuk mengambil pisauku. Aku sontak menebas tangannya dan berhasil meneteskan beberapa darah.
"...."
Dia tidak menjerit kesakitan atau mengernyit sedikitpun, demi tuhan makhluk macam apa dia??
Dia beralih untuk tetap kekeh mengambil pisauku dan mematahkan besinya menjadi dua. Di saat itu juga ia menutupi tangannya yang berdarah dengan sapu tangan putih miliknya.
Dia mengeluarkan topeng aneh di balik seragamnya yang menggambarkan senyuman lalu memasangnya di kepala.
"Ayo kita menjadi teman."
Dengan cepat aku mengambil salah satu serpihan besi yang pecah dan menggoreskannya ke muka wanita itu. Atau lebih tepatnya topeng.
"...."
Ia terdiam sejenak dan terlihat mengamatiku, sudah kuduga! dia adalah monster, manusia macam apa yang tidak mengernyit kesakitan saat terluka atau robek.
"Kau.. manusia tidak tahu di untung,"
Dalam sekejap aku merasa tubuhku terhempaskan ke atas dan terangkat, aku merasakan aura mistis di sekitarnya. Gelap dan sangat mengikat.
Dia mengangkat tangannya lalu mencekik kedua leherku hanya dengan satu tangan.
"Lepaskan!"
Dia hanya terdiam dan mukanya yang datar menatapku, seakan siap untuk membunuh. Aku merasa cengkramannya semakin kuat.
"Harusnya kau ku biarkan mati saja di sungai saat itu."
Alih-alih emosi, dia menatapku kebingungan. Sedangkan cengkramannya melemah sedikit, memberiku ruang untuk bernafas.
"Kau ... Bagaimana kau tahu aku ada di situ, mustahil. Aku memblokir pandangan manusia terhadap keberadaan ku."
Dia menghempaskan tubuhku ke lantai, Sedangkan aku mencoba untuk mengumpulkan tenaga. Darah terus bercucuran dari topengnya dan ia duduk tergeletak sembari termenung.
Bagaikan patung, kataku.
Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, aku kabur dan segera beranjak pergi dari rumahku. Dan benar saja siswa-siwi sma yang ku lihat sedari tadi hanyalah ilusi. Mungkin untuk menutupi keberadaannya.
Entah apa yang ada di pikiranku karena satu-satunya tempat yang ku pikirkan saat ini hanyalah sekolah. Setidaknya di tempat itu aku bisa meminta pertolongan. Akan tetapi, begitu aku tiba gerbangnya sudah di tutup.
Sial sekali diriku, dan sedikit bodoh ...
kau tertabrak di saat siang petang dan mengharapkan bantuan dari sana? Sekolah sudah berakhir tom, sadarlah!
Akan tetapi peduli apa ketika ada monster yang mengejarmu. Sontak aku menendang gerbong dengan kencang dan hampir terjatuh. Ternyata gerbongnya tidak di kunci.
Aku memasuki pintu utama sekolah dan memasuki area lorong kelas yang gelap, padahal waktu baru berganti sore. Akan tetapi suasananya mencekam bagaikan malam hari.
Lamput tidak dapat di nyalakan, kecuali saklar listrik di aktifkan. Tidak punya pilihan, aku mengambil senter yang terdapat di samping pintu utama. Biasanya senter ini di gunakan untuk penjaga sekolah.
Maafkan diriku yang meminjam tanpa ijin. Pak penjaga,
akan tetapi aneh juga?
Biasanya mereka berjaga dari sore sampai malam hari, karena dulu aku pernah mencoba untuk mengambil kisi-kisi akurat dari ruang guru seni. Alih-alih dapat malah tertangkap, memalukan.
Tuhan, semoga aku dapat melalui hari ini dengan aman.
Aku memegang senter dengan erat, kali ini aku mencoba untuk menemukan saklar. Ah! telepon umum. Aku ingat di sekitar belakang halaman sekolah terdapat telepon umum. Yah, lagi-lagi harus menemukan saklar dulu untuk menyalakannya.
Mengapa tubuhku rasanya malas sekali,
Di sepanjang lorong sekolah, aku sudah menyusuri dua ruangan kelas. keduanya juga tidak berpenghuni. Jika berjalan lurus ke depan, akan mengarah ke jalan buntu. Jadi tersisa dua opsi.
Ke lorong kelas sebelah kanan, atau sebelah kiri.
Karena aku tidak terlalu berpikir panjang, opsi kanan lah yang paling baik. Kalau ku ingat-ingat bentuk saklar listrik menyambung dengan kabel kuning dan tombol merah. Lantas mengapa kabel yang ku lihat berwarna hitam di sepanjang lorong?
Sepanjang lorong aku melihat percikan cahaya, kelas 12-A? Itu adalah kela
sku, tanpa berpikir panjang aku menyelusuri dan lari sepanjang kelas─── demi kelas.
Dan sampailah di ruangan kelasku,
"Kelas 12-A".