Ficool

Chapter 7 - Ketakutan

Dia kian melangkah dekat, langkah demi langkah.

Entah mengapa membawa rasa ketakutan melebihi suara tembakan tadi. Denyut jantungku terasa lebih cepat, aku tidak bisa mengalihkan pandangan dari wanita bertopeng itu.

Sebelum ia melepaskan topengnya dan berlutut di depanku.

Apa yang wanita ini lakukan?

"Kita harus pergi dari sini, waktu kita tidak banyak."

Perihal waktu apa yang ia maksud, apakah ia mengetahui sesuatu mengenai orang berpakaian tentara tadi? Lantas, bagaimana cara ia bertahan hidup dari serangan para teroris.

"Ini ambil lah,"

Ia menyodorkan sebuah tongkat krek yang biasa di gunakan untuk orang yang kakinya cacat, akan tetapi tunggu dulu. Bahkan kakiku belum terkonfirmasi patah.

Mau tidak mau aku menuruti perkataannya dan melempar serpihan kayu itu walau ragu, ku lihat sekeliling ruangan kesehatan itu. Jejak sepatu boot yang ia kenakan membekas dan membentuk bercak darah di belakangnya.

Aku mengambil tongkat krek itu dan menempatkannya di bawah ketiak bagian kiri, namun aku belum terbiasa menggunakannya.

Aku mencoba berdiri dengan satu-satunya kakiku yang masih bisa berjalan. Terkejut, aku tetap kehilangan keseimbangan walau memakai alat bantuan.

Ia segera menangkap lenganku sebelum aku terjatuh kembali. Setelah itu ia menaruh lenganku melingkari pundaknya dengan maksud membantuku berjalan.

Ia menuntunku keluar dari ruangan itu, dan lorong sekolah yang tadinya berwarna biru cerah itu kini menjadi gelap seakan waktu berubah menjadi malam. Keadaan ini sama persis seperti apa yang terjadi kemarin itu.

Lorong sekolah yang gelap, listrik yang sepertinya mati. Akan tetapi, bercak darah yang terciprat di depan pintu itu masih terlihat dengan sangat jelas.

Aku merasa sekujur tubuhku merinding dan berusaha mengalihkan pandangan dari beberapa mayat yang sepertinya sudah membusuk,

Ini bukanlah mimpi, akan tetapi kejadian nyata.

Aroma dan bekas darah yang sudah mengering di pintu terasa sangat nyata, aku tidak sanggup melihatnya lagi. Tanpa sadar aku menggenggam pundak wanita itu lebih keras.

Akan tetapi sepertinya ia tersadar,

"Cara ini tidak akan berhasil," Ujarnya.

Lalu ia melepaskan peganganku dan memasang topeng yang ia kenakan sebelum itu, menggenggam tangan kananku.

"Ikuti arah yang ku tuntun, jika tidak kuat melihat para mayat ini. Lihatlah ke arah tanganku, tidak usah melihat hal yang lain."

Aku mengangguk pelan, tidak punya pilihan lain. Lagipula, cara ini jelas lebih baik. Aku tidak tahu ia membawaku kemana. Lorong demi lorong kulewati─── semakin banyak kelas, semakin menyengat bau mayat itu.

Aku hanya melihat ke arah tangan wanita itu dan berjalan menggunakan satu kaki. Ia berjalan sangat pelan, menyesuaikan gerakan tongkat krek ku.

Aku tidak mengingat sudah berapa kelas yang ku lewati sehingga kami tiba di ruangan gudang penyimpanan sekolah, yang biasa di gunakan untuk tempat penyimpanan alat olahraga.

Ia menuntunku masuk lalu terakhir membuka pintu silver berkarat yang mungkin sudah bertahun-tahun di biarkan. Lalu menguncinya, meninggalkanku dan dirinya terperangkap di ruangan yang luas itu.

Sebelumnya aku ingin bertanya, akan tetapi aku sudah mengetahui alasannya memasuki area yang terkenal sepi ini. Dan mungkin tidak berpenghuni,

Apakah ia membawaku kesini dengan maksud menghindari para prajurit tentara gelap itu? Tidak ingin menghiraukan lebih lama, aku melihat-lihat ke arah gudang penyimpanan ini.

Semuanya sangat berdebu,

Uhuk-uhuk

Aku alergi dengan debu.

Berkeliling, aku hanya melihat beberapa rak berisikan bola atau tongkat baseball yang mungkin sudah retak. Daripada tempat penyimpanan─── aku lebih suka menyebut tempat ini sebagai tempat pembuangan.

Dinding berwarna abu-abu itu berdecak dan penuh dengan coretan warna hitam. Sungguh bentuk coretan yang abstrak, disana aku melihat tangga yang mengarah ke jendela raksasa dan di tutupi tirai tidak kasat mata.

Sebelum aku mencoba membukanya perlahan-lahan.

Aku melihat para tentara itu membawa beberapa mayat dengan seragam sekolah yang sama sepertiku, tubuhku terasa lemas.

Lalu wanita itu berdiri di samping dan menutupi mataku dengan telapak tangannya yang terangkat, menutupi pandangan ku terkait prajurit itu.

"Jika tidak ingin melihatnya, tidak usah dilihat."

Aku tidak ingin melihatnya, sontak aku teringat dengan keadaan temanku.

Frederick!

Aku langsung menepis tangannya yang sedari tadi menutup pandangan ku,

"Frederick, kau satu kelas dengannya. Apakah ia masih hidup?"

Lalu menggenggam erat dengan harapan ia akan menjawab pertanyaan ku. Aku memegang tangannya dengan dua telapak tanganku.

Pandangan mataku mengarah ke bawah, selalu memikirkan kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi kepadanya.

"Hei... jawab."

Ia tetap terdiam menatapku, aku melihatnya dengan penuh rasa keputusasaan dan dengan secercah harapan. Masih berharap akan kemungkinannya hidup.

Akan tetapi, mustahil.

"Tidak, aku tidak merasakan keberadaan nyawa yang hidup." Jawabnya.

Aku merasa marah, kesal, putus asa dan menyesal karena telah melakukan tindakan sembrono. Seandainya aku tidak gegabah dan mematahkan tulang kakiku.

Mungkin aku bisa memberi peringatan ringan, walaupun itu hanya untuk dia.

Aku memasang raut muka yang marah dan menatap kembali wanita bertopeng itu dan memukuli pundaknya dengan tangan kananku yang sudah tidak memiliki tenaga ini.

Aku mencoba untuk berdiri akan tetapi, rasanya sakit luar biasa.

"Mengapa, mengapa─── kau tidak menyelamatkannya."

Aku memukulnya dengan setiap kata yang ku ucapkan.

"Kau memiliki kekuatan yang cukup kuat untuk menyelamatkan mereka, kau ... hanyalah vampir gadungan yang tidak memiliki kekuatan."

Aku mengatakan itu dengan nafas yang terasa berat, merasa hati dan jantung ku terbakar dengan api.

Aku tidak peduli dengan keadaan temanku yang lain, akan tetapi sudah terlambat. Bagaimana aku tidak menyadari kedatangan para teroris itu?

Aku melepaskan cengkraman kedua tanganku yang memegang erat kerah baju wanita itu.

Anehnya ia tidak melawan sedikitpun, merasa berbicara kepadanya tidak berguna. Aku segera mengambil tongkat krek ku dan beranjak untuk membuka pintu silver gudang ini.

"Berhenti,"

Tiba-tiba aku merasa tubuhku terhempaskan sedikit ke samping.

Srak

"Hei?! Apa-apaan." Teriakku.

"Mereka masih ada disini,"

Seketika bulu kudukku merinding, sekumpulan prajurit teroris itu? Sebenarnya mengapa mereka membawa para mayat itu.

Terlebih lagi, aku tidak mendengar tanda-tanda alarm bahaya atau semacamnya. Apakah wanita itu mengetahui sesuatu?

Jika ia memiliki niat buruk, seharusnya ia membunuhku kali ini. Jadi aku memutuskan untuk sedikit memberi rasa kepercayaan.

"Mako─"

"Akoto, nama panggilanku Akoto."

Nama yang aneh untuk perempuan,

"Jika kau ingin bertanya, aku sarankan setelah kita pergi dari sini."

Suasana yang sunyi dan suhu udara yang dingin. Sangat cocok untuk menggambarkan suasana yang mengerikan ini.

"Setelah ini seluruh isi kota akan berubah menjadi warga bertopeng, sebelum itu kita harus segera pergi sebelum Mereka mencurigai kita."

Mereka? Sebenarnya siapa yang ia maksud, aku tidak bisa mencerna setiap kata yang ia lontarkan kepadaku.

Rumit dan tidak menjelaskan keadaan genting yang sedang terjadi saat ini.

Mustahil ia menyuruhku pergi jika para prajurit itu masih berkeliaran.

More Chapters