Jakarta pagi itu seperti biasanya, panas dan tak kenal ampun. Jalanan yang sudah sesak dengan kendaraan, klakson berteriak-teriak seperti orkes dangdut tanpa irama, dan udara yang terasa berat menyelimuti kota ini. Matahari bahkan belum cukup tinggi, namun rasanya sudah mampu membakar kulit. Jalan-jalan utama dipenuhi deretan mobil dan motor yang bergerak pelan, seperti arus sungai yang tak bisa mengalir lancar.
Di bawah pohon rindang yang sedikit mengurangi sengatan matahari, Bimo duduk santai di motor ojolnya, menunggu orderan. Sesekali, ia mengusap wajahnya yang sudah basah oleh keringat, dan melirik layar ponselnya, berharap ada notifikasi orderan masuk. Tapi, yang ada cuma aplikasi yang menawarkan promo diskon makan dan ajakan untuk update status "setia berjuang".
Bimo menarik napas dalam-dalam. Hari ini mungkin akan seperti hari-hari biasa: macet, capek, dan hanya sekadar cari cuan. Tidak ada yang menarik, tidak ada yang perlu dipikirkan. Hanya rutinitas.
Dia melirik gedung apartemen mewah di seberang jalan. Gedung-gedung bertingkat yang menjulang tinggi, dengan lantai-lantai kaca yang memantulkan cahaya matahari pagi, seakan memberi kesan bahwa dunia di atas sana jauh lebih bersih, lebih teratur, dan lebih terjamin. Tidak seperti hidupnya yang hanya sekadar melawan arus.
Sebagai seorang driver ojol, Bimo sudah terbiasa berada di bawah, berada di tempat yang tidak terlihat. Banyak orang melihatnya sebagai bagian dari rutinitas yang membosankan. Bagi mereka, Bimo hanyalah salah satu dari ribuan wajah yang berlalu-lalang, tidak lebih dari sekadar taksi motor yang ada di setiap sudut kota.
Dia tidak mengeluh, tapi kadang, ada hari-hari ketika Bimo berpikir, "Apa sih yang membuat orang-orang di atas sana berbeda? Apa yang mereka rasakan di dunia yang jauh dari hiruk-pikuk seperti ini?"
Ponsel Bimo berbunyi. Pesan masuk dari aplikasi ojol, orderan baru. Bimo segera mengecek, dan matanya langsung tertuju pada detailnya. Nama pelanggannya: Allisha. Lokasi: Apartemen Cantika, Lantai 15, Tower B-03
Bimo mengernyit. Nama Allisha tidak asing, namun tidak ada foto profil, hanya nama kosong dan rating lima bintang yang menandakan pelanggan ini jarang memberi feedback. Namun, dia tidak punya pilihan. Orderan sudah masuk, dan ini rezeki. Dia takkan menolak, meskipun rasa penasaran itu menggoda.
Bimo menghidupkan mesin motornya dan meluncur menuju Apartemen Cantika. Jalanan semakin padat, panas semakin menusuk, dan Bimo cuma bisa berdoa semoga cepat sampai.
Begitu sampai, Bimo parkir di dekat pintu masuk dan melihat gedung mewah itu. Seperti biasa, gedung tinggi dengan lift yang sepertinya hanya bisa dimiliki oleh mereka yang tidak pernah tahu arti kata "macet".
Bimo menggeser kacamatanya sedikit dan menekan tombol interkom. "Pesanannya, mbak Allisha," katanya, berusaha terdengar profesional, meskipun pikirannya sedikit melayang.
Tak lama, pintu kamar terbuka. Dan disanalah dia.
Perempuan itu.
Dia tidak mencolok, tidak seperti yang Bimo bayangkan. Hanya kaus putih biasa dan celana panjang hitam. Tapi ada sesuatu yang membuatnya terlihat berbeda. Rambutnya yang panjang diikat rapi, dan matanya, oh matanya… tajam, tapi kosong. Seperti seseorang yang telah melihat lebih banyak hal dalam hidupnya daripada yang bisa dipahami oleh orang lain. Namun meskipun demikian, dia tetap cantik dengan caranya yang sederhana.
Bimo sempat terdiam, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Entah kenapa, ada rasa aneh yang mengguncang dadanya, perasaan yang dia tidak bisa jelaskan. Dia merasa, sejenak, seolah waktu berhenti.
"Allisha?" tanya Bimo, berusaha terdengar santai meskipun ada getaran halus di tangannya.
Perempuan itu mengangguk perlahan. "Iya. Mas Bimo, kan?"
"Betul," jawab Bimo, mencoba tersenyum. "Pesanannya sudah siap, Mbak," katanya sambil menyodorkan kantong makanan.
Allisha menerima kantong itu, lalu mengeluarkan dompet dari tasnya. Bimo sekilas melihat isi dompet yang rapi, namun kosong dari uang tunai. Yang ada justru sebuah botol minuman yang disodorkan ke Bimo.
"Mas, minum dulu. Kelihatan capek," ucapnya, datar, tanpa ekspresi berlebih.
Bimo terdiam sejenak. Biasanya pelanggan hanya mengeluh soal makanan dingin atau menyalahkan keterlambatannya. Tapi kali ini… ini berbeda.
"Wah, makasih, Mbak. Tumben ada yang begini," jawab Bimo sambil tersenyum, merasa sedikit canggung.
Allisha hanya nyengir tipis, senyumnya datar, namun cukup membuat Bimo lupa sejenak dengan panas Jakarta yang membakar.
Namun sebelum pintu tertutup, Allisha berkata dengan suara yang datar, tapi penuh makna, "Terima kasih, Mas. Semoga hari ini jadi hari yang tenang."
Kalimat itu menggelitik Bimo. "Hari yang tenang..." katanya dalam hati. Lucu. Karena sejak pertemuan itu, hidupnya justru tak pernah tenang lagi.
Setelah pertemuan pertama itu, entah kenapa Bimo merasa sesuatu yang ganjil mulai mengikatnya dengan Allisha. Awalnya, dia pikir hanya kebetulan saja. Satu kali itu, mungkin dia cuma salah paham, terlalu dramatis. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Dalam seminggu berikutnya, Bimo malah semakin sering mendapat orderan dari Allisha. Dan selalu di waktu yang sama: sekitar jam 10 pagi, di tower yang sama.
Setiap kali Bimo sampai di Apartemen Cantika, dia menemukan Allisha yang sedikit berubah. Tak hanya penampilannya, tapi cara dia berbicara juga semakin aneh, terasa lebih dalam, lebih filosofis. Tidak ada lagi senyum lebar seperti pertama kali mereka bertemu. Semuanya lebih... dingin. Seolah-olah Allisha sedang berusaha menjaga jarak, namun tetap ada sesuatu yang menarik untuk dicari.
Pada pertemuan kedua, Bimo datang dan melihat Allisha duduk di lobi. Kali ini, dia mengenakan kemeja hitam rapi dan celana bahan, tampak lebih formal daripada biasanya. Rambutnya tergerai sempurna, dan matanya, walaupun tetap tajam, terlihat kosong... seperti ada sesuatu yang hilang darinya.
"Mas Bimo," sapanya dengan suara datar, tak ada kehangatan seperti yang dulu.
Bimo mencoba tersenyum, meskipun ada perasaan aneh yang mulai merayap. "Wah, hafal juga, Mbak. Padahal saya cuma orang biasa."
Allisha menatapnya lama, seolah meneliti Bimo lebih dalam dari sekadar fisik. Lalu dia menjawab dengan pelan, "Nggak ada orang yang cuma 'biasa', Mas. Semua orang punya peran. Cuma kadang mereka belum sadar aja."
Bimo hanya diam, kalimat itu terngiang-ngiang di pikirannya. Ada sesuatu dalam suara Allisha, seolah dia berbicara tentang lebih dari sekadar hidup sehari-hari. Sesuatu yang membuat Bimo berpikir lebih dalam, merenung tentang dirinya yang selama ini hanya menjalani hidup tanpa tujuan yang jelas. Sebuah perasaan yang datang begitu tiba-tiba, dan entah kenapa, membuatnya merasa terhanyut.
Pada pertemuan berikutnya, Allisha kembali dengan perubahan lainnya. Kali ini, dia mengenakan gaun simpel yang menyembunyikan aura misterius yang semakin kuat. "Mas Bimo," katanya saat menerima pesanannya, suara datarnya seolah tak menunjukkan emosi. Tapi Bimo bisa merasakan ada yang lain... sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kata-kata biasa.
"Kenapa, Mbak?" tanya Bimo, mulai merasa ada yang aneh dalam sikap Allisha. "Ada yang berbeda lagi dari kamu."
Allisha tersenyum tipis, sekali lagi, senyuman yang tidak menghangatkan, tapi lebih seperti sebuah pengingat. "Semua orang berubah, Mas. Kamu juga akan berubah," katanya, menatap Bimo dengan tatapan yang hampir tak bisa dijelaskan.
Bimo tersenyum kecut. "Kayaknya saya juga mulai merasakan perubahan, Mbak. Tapi kenapa... rasanya kok nggak enak ya?"
Allisha mengangkat alisnya, lalu menjawab dengan suara pelan, tapi penuh makna, "Karena perubahan itu nggak selalu menyenangkan, Mas. Tapi percayalah, jika kamu siap, perubahan itu akan membawa kamu ke tempat yang jauh lebih baik."
Bimo menatapnya bingung. "Perubahan yang seperti apa, Mbak?"
Dia berhenti sejenak, lalu menatap Bimo dengan tatapan yang dalam. "Kalau tiba-tiba saya hilang, Mas Bimo jangan cari saya ya."
Bimo hanya bisa tertawa, meskipun ada rasa tak nyaman yang menyelinap. "Wah, jangan bercanda gitu, Mbak."
Allisha hanya tersenyum tipis lagi, dan Bimo merasa dia tahu, kali ini, dia tidak sedang bercanda.
Saat itu, Bimo tidak menyadari, kalimat-kalimat yang terdengar seperti iseng itu akan menjadi kenyataan yang menghantui pikirannya. Semua percakapan itu membawa kesan yang begitu dalam, seolah-olah Allisha sedang mempersiapkan Bimo untuk sesuatu yang tak bisa dia pahami... sesuatu yang lebih besar dari apa pun yang pernah dia bayangkan.
Pagi itu, Jakarta terasa lebih panas dari biasanya. Langit tertutup mendung tipis, seolah menahan hujan yang enggan turun. Di bawah pohon yang sama, Bimo menatap layar ponselnya. Tak ada notifikasi baru. Tidak ada pesan masuk. Tidak ada orderan dari nama yang selama dua minggu terakhir selalu muncul setiap hari: Allisha C.
Bimo mengangkat helmnya, menaruhnya di atas jok, dan berdiri gelisah. Sudah tiga hari Allisha tidak muncul. Awalnya dia berpikir, mungkin wanita itu sedang sibuk, atau sedang tidak di Jakarta. Tapi pagi ini, firasatnya terasa lain. Ada sesuatu yang janggal. Terlalu senyap.
Ia memutuskan untuk nekat. Ia melangkah ke lobi Apartemen Cantika. Petugas resepsionis mengenal wajahnya, sudah hafal dengan jaket hijaunya yang lusuh dan ransel kecilnya yang selalu menggantung di punggung. Namun hari ini, wajah mereka menyimpan ekspresi berbeda ketika Bimo menanyakan satu nama.
"Allisha?" tanya Bimo dengan nada berharap. "Mbak yang sering saya antar makanan… dia tinggal di lantai 15 , unit… eh, saya nggak tahu pasti unitnya sih, tapi... "
Petugas itu saling pandang sebentar sebelum menjawab pelan. "Mbak Allisha sudah pindah, Mas."
Bimo mengernyit. "Pindah? Kapan?"
"Tiga hari lalu," jawab salah satu dari mereka. "Mendadak. Nggak kasih tahu banyak. Barang-barangnya dijemput sama satu mobil box. Kami pun kaget."
Bimo terdiam. Rasanya seperti ada yang mencubit perutnya dari dalam. Kosong. Suaranya tercekat. "Dia… bilang ke mana?"
"Maaf, Mas. Kami nggak tahu," jawab petugas itu pelan, sedikit menunduk.
Bimo keluar dari lobi dengan kepala penuh tanya. Di balik kaca helmnya yang kembali dikenakan, matanya menatap jalanan, tapi pikirannya tidak benar-benar melihat. Ia pulang tanpa arah. Jalanan yang biasa ia lewati kini terasa asing. Klakson, teriakan, hiruk-pikuk kota... semuanya tak mampu mengusir gemuruh dalam dadanya.
Sore harinya, saat langit mulai gelap, ponselnya bergetar. Bimo segera melihat layar. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal, tidak ada nama, dan ketika dibuka, statusnya sudah "Tidak Aktif".
Isi pesannya singkat:
"Maaf kalau semua ini membingungkan. Aku tidak pernah berniat menyeretmu ke dalam apa pun. Tapi terkadang, takdir menulis pertemuan yang bahkan kita sendiri tak bisa tolak. Jaga dirimu, Mas Bimo."
Bimo membaca pesan itu berulang kali. Setiap kata seperti meninggalkan goresan tak kasat mata di dadanya. Ia tidak tahu harus merasa apa... bingung, marah, kecewa, atau... rindu?
Sejak kapan ia merasa kehilangan terhadap seseorang yang hanya ia kenal dua minggu?
Tapi kenyataannya, setiap senyuman tipis Allisha, setiap ucapan filosofisnya yang absurd tapi dalam, telah mengisi bagian dari hidup Bimo yang sebelumnya kosong. Kini, kepergiannya membuat lubang yang lebih besar lagi.
Ia memandangi langit malam dari jembatan layang tempat biasa ia menunggu order. Lalu bertanya dalam hati... siapa sebenarnya Allisha?
Dan lebih dari itu... kenapa dia harus menghilang setelah membuat hidup Bimo terasa hidup untuk pertama kalinya?
Hari itu mendung lagi. Seperti perasaan Bimo yang tak juga menemukan titik terang. Namun, hidup tak pernah kehabisan cara untuk mengguncang keseimbangan yang rapuh.
Di warung kopi langganannya, seorang pria tua dengan tatapan seperti tahu terlalu banyak duduk di bangku sebelah. Ia tak memesan apa-apa. Hanya menyerahkan sebuah amplop coklat kusam pada Bimo, lalu berkata pelan, "Kalau kamu memang ingin tahu, teruslah jalan. Tapi bersiaplah. Jawabannya bisa membuatmu ingin tak pernah bertanya."
Bimo menatap pria itu dengan dahi berkerut. Tapi sebelum sempat bertanya, lelaki itu sudah bangkit dan berjalan pergi, menghilang di balik deru motor dan lampu merah yang mulai menyala.
Dengan tangan bergetar, Bimo membuka amplop itu di atas meja. Isinya hanyalah satu lembar surat, ditulis dengan tangan.
"Mas Bimo,
Jika kau membaca ini, maka jalanmu sudah setengah terbuka. Aku tak tahu kau akan memilih mundur atau maju, tapi satu hal pasti: hidupmu tak akan sama. Kau sudah menyentuh sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan.
– A"
Tangannya menggenggam kertas itu erat. Otaknya menolak percaya, tapi dadanya sudah memutuskan: ia tak bisa pura-pura tak peduli.
Namun, ketika malam datang dan ia kembali duduk di atas motornya yang sunyi, Bimo merasa... untuk pertama kalinya... takut akan apa yang bisa ia temukan.
Dan juga... apa yang bisa hilang.
Beberapa hari berikutnya seperti mimpi buruk yang terlalu nyata. Ada suara langkah di lorong kosong. Telepon yang berdering lalu senyap saat dijawab. Pengendara motor yang membuntuti lalu menghilang begitu saja. Dan perasaan... perasaan yang menusuk... bahwa seseorang mengawasi setiap gerakannya.
Ia ingin berhenti. Ingin melepaskan semua dan kembali jadi ojol biasa yang hanya peduli pada cuan. Tapi setiap ia mencoba, satu suara dalam benaknya... lembut, penuh ketenangan... memanggilnya kembali: "Jika kau berhenti sekarang, kau akan selalu bertanya-tanya. Dan hidup dengan pertanyaan bisa lebih berat daripada hidup dengan kebenaran."
Akhirnya, ia memutuskan. Ia kembali ke tempat semua bermula.
Apartemen Cantika Lantai 15 Tower B-03
Langkahnya berat ketika ia memasuki lobi. Tak ada petugas. Hening. Ia menatap lift dan menekan tombol menuju lantai 15... lantai yang dulunya tertutup untuk umum, tempat ia tak pernah benar-benar tahu apa yang tersembunyi di baliknya.
Setiap detik di dalam lift terasa seperti menit. Suara mesin lift bergerak ke atas beradu dengan detak jantungnya. Ia menatap angka-angka digital yang menyala: 12... 13... 14… 15
DING…
Pintu terbuka dengan bunyi denting pelan. Lantai itu kosong. Lorong panjang membentang, diterangi lampu-lampu redup. Di ujung lorong, sebuah ruangan dengan pintu terbuka setengah. Dan suara...
...suara piano.
Nada-nada samar, dimainkan dengan pelan dan sedih. Seolah seseorang sedang berpamitan pada dunia.
Bimo melangkah pelan.
Dan di sana, duduk di depan piano tua, Allisha.
Tak banyak berubah, namun ada sesuatu dalam matanya yang membuatnya terasa jauh lebih tua... atau mungkin, lebih letih.
"Allisha?" suara Bimo pecah di ujung tenggorokan.
Wanita itu menoleh, seolah sudah tahu dia akan datang. Bibirnya tersenyum kecil, namun matanya tetap diam.
"Kamu seharusnya tidak di sini," katanya pelan. "Tapi karena kamu sudah datang... kamu tidak bisa pergi lagi."
Ruangan itu terasa jauh lebih dingin dari yang seharusnya. Tapi Bimo tidak bergerak. Tidak mundur. Ia menatap Allisha lama, mencoba mencari jawaban di wajah itu.
"Apa sebenarnya yang terjadi?" tanyanya akhirnya. "Kenapa aku? Kenapa semua ini?"
Allisha bangkit dari kursi piano, berjalan pelan ke arahnya. "Karena kadang... dunia membutuhkan saksi. Dan kamu dipilih bukan karena kamu siap, tapi karena kamu satu-satunya yang bertahan cukup lama untuk mendengar."
Bimo ingin bertanya lebih, tapi nafasnya tertahan. Di balik Allisha, sebuah jendela besar menunjukkan langit malam Jakarta... tapi entah kenapa, lampu-lampu kotanya terlihat... berbeda.
Seperti ada sesuatu yang menunggu di luar sana. Sesuatu yang tidak akan bisa ia pahami dengan logika biasa.
"Allisha... aku nggak ngerti semua ini. Tapi kalau aku pergi sekarang, aku bakal nyesel seumur hidup," kata Bimo akhirnya. "Jadi... aku pilih tetap di sini."
Allisha menatapnya lama, sebelum akhirnya berkata, "Kalau begitu, bersiaplah. Karena hidup yang kamu tahu... sudah berakhir."
Dan saat Bimo melangkah lebih dalam ke ruangan itu, ia tahu. Tidak ada jalan kembali. Tidak ada lagi Jakarta yang sama. Tidak ada lagi hidup biasa. Hanya ada satu jalan: ke depan.
Apapun yang menunggunya di sana.
***