Ficool

Tumbal usia 35

Raiman_Secret
49
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 49 chs / week.
--
NOT RATINGS
1.6k
Views
VIEW MORE

Chapter 1 - chapter:1

Di Jepara, panas selalu datang lebih cepat dari rezeki.

Udara siang menampar wajah Adipati Soesilo yang lusuh, membuat kulitnya perih dan pelipisnya berkilat oleh keringat.

Dengan langkah gontai, ia menyusuri pasar sore yang bising—suara pedagang, teriakan ibu-ibu, dan deru sepeda motor bercampur jadi satu seperti orkestra yang tak kenal istirahat.

Di pundaknya tergantung karung goni bekas, berisi botol plastik yang baru saja ia punguti dari tong-tong sampah. Bau amis plastik terbakar menempel di bajunya, tapi Adipati tak peduli.

Ia sudah terlalu lama hidup dalam aroma kalah.

“Lha, wong pinter kok uripe malah ngene?” gumamnya lirih.

Ia menatap langit sebentar, lalu menunduk lagi.

Di setiap langkahnya, ada tatapan iba—dan tak jarang ejekan.

“Eh, si gembel sarjana datang lagi!” seru seorang pedagang buah.

Tawa meledak dari arah lapak sebelah, diikuti siulan nakal bocah-bocah kecil yang sedang main kelereng.

Adipati cuma tersenyum kecut.

Kalimat seperti itu sudah jadi lagu wajib dalam hidupnya.

Dulu ia punya mimpi sederhana: buka bengkel kecil, nikahin gadis kampung yang ia cintai—Sari. Tapi hidup, seperti biasa, lebih pandai bercanda daripada dirinya.

Sari memilih pria kaya dari kota.

Waktu undangan pernikahannya datang, Adipati bahkan sempat bantu pasang tenda.

Lucu, kan? Orang yang paling patah hati justru ikut bantu menyiapkan pesta cintanya sendiri.

Sejak hari itu, dunia Adipati seperti berhenti berputar.

Ia berhenti cari kerja, berhenti berharap, berhenti percaya.

Yang tersisa cuma satu hal: bertahan hidup.

“Yang penting iso mangan, wes syukur,” katanya, sambil menendang batu kecil di jalanan pasar.

Hari itu matahari mulai miring, warnanya jingga bercampur debu.

Angin membawa aroma gorengan, sate kerang, dan keringat manusia.

Adipati menurunkan karungnya sebentar, duduk di dekat gerobak kosong, lalu menghela napas.

“Gusti… kapan yo urip iki ra kayak begini terus?” bisiknya.

Jawabannya adalah sunyi—sampai tiba-tiba, suara keras memecah udara.

Brak!

Seorang kakek tua terjatuh, dagangan buahnya berserakan di tengah jalan.

Orang-orang menoleh, tapi tak satu pun bergerak.

“Halah, wong tuwek tuwek, kok jualan dewe,” ujar seorang pemuda yang lewat, lalu lanjut berjalan tanpa rasa bersalah.

Adipati spontan berdiri.

Ia berlari menghampiri, membantu memunguti apel dan jeruk yang menggelinding.

“Kakek nggih, pelan-pelan, tak bantu.”

Kakek itu tersenyum, matanya tajam tapi hangat.

“Terima kasih, Nak. Sudah jarang orang muda yang masih punya hati.”

Adipati tertawa kecil, “Hehe, yo wis biasa, Kek. Wong gak punya kerjaan, bantu-bantu ya gak papa.”

Kakek itu memandangi wajahnya lama, seolah mencari sesuatu di balik pandangan letihnya.

Dari saku kain lusuhnya, ia mengeluarkan sebuah batu kecil berwarna keemasan.

Batu itu tampak biasa, tapi ketika disentuh, terasa hangat—bukan panas, tapi seperti hangat tubuh manusia.

“Ini,” ucap sang kakek pelan, “simbol warisan… dari masa yang sudah lama terlupakan.”

Adipati mengernyit.

“Lha, ini apa, Kek? Batu akik ya?”

Kakek itu tersenyum samar, “Bukan akik, Nak. Ini… ingatan. Warisan darahmu sendiri.”

“Darah saya?”

“Jaga baik-baik. Dunia akan berubah lewat tanganmu.”

Nada suaranya dalam, tapi lembut.

Adipati hendak bertanya lebih lanjut, namun saat ia menunduk sebentar untuk mengambil jeruk terakhir yang menggelinding ke bawah gerobak, lalu menoleh lagi…

kakek itu sudah hilang.

“Lho? Kek?”

Ia celingukan. Tidak ada siapa pun.

Hanya bau buah, debu, dan sorak pedagang pasar yang kembali seperti semula.

“Walah… ini jangan-jangan aku kebanyakan panas nih,” gumamnya.

Ia menatap batu itu di tangannya.

Permukaannya berkilau halus, memantulkan cahaya senja.

Tapi anehnya, batu itu berdenyut pelan—seperti jantung yang berdetak.

Adipati menatapnya lama.

Bulu kuduknya berdiri.

Ada sesuatu di dalam dirinya yang… bergeser.

Ia tidak tahu apa, tapi rasanya seperti sedang diintip oleh masa lalu.

Malamnya, hujan turun tipis-tipis.

Atap rumahnya bocor, menetes tepat di dekat bantal.

Adipati berbaring di dipan bambu, memegang batu itu.

“Warisan darahku, katanya. Halah, paling cuma jualan gombal aja tuh kakek.”

Ia tertawa kecil, lalu menutup mata.

Namun di balik gelap, sesuatu terjadi.

Ia bermimpi.

Dalam mimpinya, ia berdiri di tengah padang pasir emas.

Langit berputar, dan dari kejauhan muncul sosok lelaki berjubah hijau tua dengan tongkat di tangan.

Rambutnya putih panjang, tapi wajahnya muda.

Mata sosok itu berkilau seperti bara api.

“Adipati Soesilo,” suaranya bergema seperti dari dalam bumi.

“Darah Mertogunobrenggeh mengalir dalam dirimu.”

“Siapa… siapa sampean?”

“Aku Canggah Raiman, leluhurmu. Dulu, aku bisa mengubah debu menjadi emas. Tapi kutukan datang, dan kekuatan itu terkubur ribuan tahun. Kini… warisan itu kembali padamu.”

Adipati terbelalak.

“Debu jadi emas? Wah, itu sih bukan kutukan, Kek, itu rezeki nomplok!”

Leluhur itu tersenyum tipis.

“Emas… bukan berkat, kalau hatimu rakus.”

Seketika tanah bergetar, dan pasir di sekelilingnya berubah menjadi logam berkilau.

Cahaya menyilaukan mata, lalu semuanya gelap.

Ia terbangun dengan tubuh berpeluh.

“Wah… mimpi opo iki?”

Tangannya masih menggenggam batu itu.

Dan di ujung jari… ada debu halus yang kini berubah jadi serpihan logam mengilap.

Ia terdiam lama.

“Jangan-jangan… beneran?”

Untuk memastikan, ia mengambil segenggam pasir dari lantai tanah, menggenggamnya kuat-kuat, lalu berbisik, “Kalau bener, jadiin emas.”

Tiba-tiba genggamannya memanas.

Ketika ia buka, pasir itu berubah jadi logam kuning berkilau!

“Waduh, Gusti Allah…”

Ia melompat kaget, hampir jatuh.

“Beneran dadi! Lha iki piye??”

Matanya berbinar, antara kagum dan takut.

Ia menatap logam itu lama, lalu menelan ludah.

Di dalam hatinya muncul suara lirih yang asing tapi jelas.

“Setiap emas yang kau ciptakan, bayangan leluhurmu akan semakin nyata…”

Adipati menoleh ke kanan-kiri, tapi tak ada siapa pun.

Rumahnya sepi, hanya suara jangkrik dan tetes air dari atap bocor.

Namun di dinding bambu, samar-samar, ada bayangan sosok berjubah hijau berdiri.

Ia menjerit kecil, lalu menyalakan lampu minyak.

Bayangan itu menghilang.

Adipati duduk, memegang kepalanya.

“Oalah, iki opo maneh? Aku ra ngimpi kan?”

Ia mencoba tertawa, tapi suaranya gemetar.

Di luar, hujan makin deras.

Kilatan petir menembus jendela, memantulkan cahaya di permukaan batu emas itu.

Dan entah kenapa, batu itu bergetar pelan… seperti sedang tertawa.

Adipati menatapnya dengan mata yang mulai penuh rasa takut.

Ia tahu satu hal—hidupnya tidak akan sama lagi mulai malam ini.

Dari pengangguran yang diremehkan, kini ia memiliki kekuatan yang tak bisa dijelaskan.

Dari debu menjadi emas. Dari hina menjadi legenda.

Tapi di balik setiap kilau, ada bayangan yang menunggu.

Dan suara dari dalam batu berbisik pelan,

"Setiap kekayaan menuntut harga… darahmu sendiri."