Ficool

Chapter 10 - chapter 10

Debu masih beterbangan di arena, menari perlahan di antara cahaya hijau keemasan dari NYI Blorong dan aura emas Adipati. Setiap partikel seperti bercahaya sendiri, memantul dari batu dan serpihan yang jatuh akibat ledakan pertarungan sebelumnya. Tubuhnya masih terasa lelah, setiap urat bergetar, tapi setiap napas yang ia hirup dipenuhi energi baru—sementara, rapuh, namun cukup untuk menyalakan kembali tekad yang nyaris padam.

Arbiter ketiga berdiri tegak di kejauhan. Tubuhnya tak lagi bergerak secepat sebelumnya, namun aura yang memancar tetap menekan. Matanya yang merah menembus Adipati, menilai setiap langkah, setiap tarikan napas. Ia terlihat tua, keriput dan berotot menurun, tetapi kekuatan dan pengalaman menjadikannya lawan yang jauh lebih berbahaya daripada yang bisa dibayangkan Adipati. Ada ketenangan yang menakutkan dalam cara ia berdiri—tenang, tapi penuh prediksi, seperti badai yang menunggu waktu untuk meledak.

> “Kowe durung cukup mati kanggo aku…” bisik Arbiter, suaranya bergema di arena, berat namun sarat ancaman.

Adipati menghela napas panjang. Tubuhnya masih bergetar, darah emas yang tersisa berputar mengikuti ritme jantungnya. Ia tahu bantuan NYI Blorong hanyalah sementara. Setiap gerakan harus diperhitungkan, setiap serangan harus tepat. Ini bukan sekadar pertarungan kekuatan fisik, tapi ujian strategi, intuisi, dan keberanian. Ia menatap Arbiter dengan mata yang kini bersinar lebih tajam daripada sebelumnya.

Pertarungan dimulai. Arbiter menyerang dengan kecepatan dan presisi yang menakutkan. Setiap serangannya menembus ruang dan waktu, menimbulkan gelombang yang membuat tanah retak, batu beterbangan, dan udara di sekitarnya bergetar. Adipati menangkis, memutar tubuhnya, menggunakan energi dari napas NYI Blorong untuk memperkuat refleksnya. Ia merasakan setiap benturan, setiap gelombang energi, bukan hanya mengenai tubuhnya, tetapi juga mengguncang hati dan tekadnya.

Debu beterbangan, serpihan batu melayang. Setiap pukulan Arbiter menuntut konsentrasi penuh; satu kesalahan kecil bisa berarti kehancuran. Namun kali ini Adipati berbeda. Ia belajar dari kegagalan sebelumnya, memanfaatkan setiap celah, dan mengubah pertahanan menjadi serangan balik.

> “[Resonansi Jiwa – Strategi Baru]”

Dengan gerakan terkoordinasi, ia memusatkan Fragmen Jiwa yang tersisa di pergelangan tangan dan kaki. Aura hijau keemasan bercampur emas menyebar, memantul di udara, menari seperti naga cahaya yang siap menyambar. Setiap serangan yang ditangkis berubah menjadi energi pantulan, mengiris aura Arbiter, mengejutkan lawan yang telah berpengalaman itu.

Arbiter tua menggeram. Ia menatap Adipati dengan mata yang seolah bisa menembus jiwa, mengukur pertumbuhan dan potensi muda itu. “Wes… kowe luwih kuat tinimbang perkiraan,” gumamnya. Serangan berikutnya datang lebih cepat, lebih mematikan, namun Adipati kini telah menemukan irama baru. Ia menari di antara gelombang serangan, memanfaatkan gravitasi arena, dan setiap pantulan energi yang ia hasilkan membuat Arbiter tua kewalahan.

Pertarungan ini bukan sekadar fisik. Setiap pukulan, tendangan, dan gelombang energi adalah ujian mental dan emosional. Adipati merasakan rasa sakit, ketakutan, dan bahkan rasa bersalah yang tersisa karena ia harus bergantung pada NYI Blorong. Namun rasa sakit itu ia ubah menjadi fokus, dan rasa takut menjadi keberanian murni.

Dengan satu gerakan berani, ia melompat ke udara, memutar tubuhnya, menyalurkan seluruh energi Fragmen Jiwa yang tersisa dalam ledakan cahaya mematikan. Arbiter tua mencoba menahan serangan itu, namun aura yang tercipta terlalu kuat. Ia terpaksa mundur beberapa langkah, tanah retak, batu pecah, dan cahaya hijau keemasan bercampur emas menyebar di seluruh arena.

Adipati mendarat dengan stabil. Nafasnya berat, tubuhnya bergetar, tapi matanya bersinar dengan tekad yang belum pernah ada sebelumnya. Arbiter tua tersungkur, sebagian aura dan energi yang biasanya sempurna kini terpecah, tubuhnya goyah.

> “Aku menang… nanging…” bisik Adipati dalam hati, menatap lawannya yang masih berdiri meski goyah.

Arbiter menatapnya dengan mata tajam, tapi ada sesuatu yang berbeda—tidak ada kebencian, hanya pengakuan atas kekuatan muda itu. “Kowe… pancen… pantes menang. Nanging… aku ora bisa dadi pengikutmu,” suaranya berat, namun tenang. “Wis tuwa… lan energi iki… isih kuwat, nanging ora cocok kanggo kowe sing isih enom. Kowe kudu maju dhewe.”

Adipati menunduk, memahami maksudnya. Kemenangan ini mutlak, tapi Arbiter terlalu tua dan kuat untuk diikat sebagai pengikut. Ada rasa kehilangan kecil, tapi juga pemahaman yang lebih dalam. Kekuatan bukan selalu soal menundukkan orang lain; terkadang kemenangan sejati adalah mengetahui batasan dan menghormati kekuatan yang lebih tua.

NYI Blorong muncul di sampingnya, sisiknya berkilau lembut. “Kowe wis menang… nanging elinga. Kabeh kekuatan ora tansah bisa dipunyasa kanggo awake dhewe. Nanging saiki, kowe luwih kuwat… luwih ngerti.”

Adipati menatap Arbiter, lalu menoleh ke NYI Blorong. Senyum tipis muncul di wajahnya—campuran kelelahan, kemenangan, dan tekad baru. Ia tahu pertarungan ini hanyalah awal dari perjalanan panjang.

Debu mulai menurun, cahaya hijau keemasan perlahan memudar, meninggalkan Adipati berdiri di tengah arena yang rusak, namun lebih kuat daripada sebelumnya. Fragmen Jiwa yang tersisa berputar di sekeliling tubuhnya, bersinar lembut sebagai pengingat perjuangan, bantuan, dan pengalaman yang baru saja ia raih.

> “Yen mangkono… perjalanan iki durung rampung. Aku kudu luwih kuwat, luwih siap,” bisiknya, mata menyala dengan tekad.

Arbiter tua menunduk, perlahan meninggalkan arena. Kalah tapi tetap tegar, ia tetap menjadi simbol kekuatan yang tak bisa diambil oleh siapa pun. Adipati menatapnya menghilang di kejauhan, dan untuk pertama kalinya, ia merasakan penghormatan tulus terhadap lawan tangguh yang layak dihormati.

NYI Blorong berputar di udara, kemudian menghilang ke bayangan. Nafas yang diberikan lenyap, meninggalkan Adipati dengan energi sendiri—lebih sedikit, tapi kini lebih mengerti bagaimana mengendalikannya.

Adipati menegakkan tubuh, menatap langit arena yang mulai cerah di antara reruntuhan. Debu yang menurun, aroma tanah dan api yang masih hangat, suara batu yang bergesek di tanah—semua terasa nyata, hidup, dan emosional. Ia tersenyum, bukan hanya karena menang, tetapi karena ia memahami sesuatu yang lebih besar: kekuatan sejati bukan hanya milik mereka yang menang, tapi milik mereka yang belajar dari pertempuran, bantuan orang lain, dan lawan yang layak dihormati.

> “Aku durung rampung… nanging saiki, aku luwih siap.”

Dengan langkah mantap, Adipati keluar dari arena. Tubuhnya masih lelah, tapi setiap langkahnya memancarkan kemenangan, pertumbuhan, dan tekad yang tak tergoyahkan.

Pertarungan ini telah usai… namun dari sisa reruntuhan yang tertinggal, sebuah bayangan bergerak cepat, hampir tak terlihat, dan bisikan samar terdengar di telinganya:

“siro pikir iki wis rampung…?

Bersambung..

More Chapters