Ficool

ANAK YANG TIDAK PERNAH DITUNGGU PULANG

Suryapanca
56
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 56 chs / week.
--
NOT RATINGS
1.2k
Views
Synopsis
pemuda yang mengerikan namun menyimpan lelah dan sakit hati yang dalam , kekecewaan,tak berdayaa dan dendam yang lebih dalam dan berat lebih dari yang orang lain bayangkan
VIEW MORE

Chapter 1 - ANAK YANG TIDAK PERNAH DITUNGGU PULANG

BAB 1 — ANAK YANG TIDAK PERNAH DITUNGGU PULANG

Malam turun perlahan di desa kecil itu, seolah ingin menutupi rumah papan milik Surya—rumah yang berdiri hanya karena angin belum mau merobohkannya. Dari kebun tebu belakang rumah, aroma lembap tanah merayap ke teras yang dingin.

Surya kecil duduk di depan pintu, menatap jalan tanah yang tidak pernah dilewati ayahnya dalam keadaan waras.

Di dapur, lampu sentir goyang-goyang diterpa angin, memantulkan bayangan ibunya, Sarmi, yang tampak seperti bayangan seseorang yang sudah terlalu lama menahan hidup.

"Yah… bapakmu pulang, Le?" tanya Sarmi lirih.

(Nak… apakah ayahmu pulang?)

Surya menggeleng. Ayahnya tidak pernah benar-benar pulang—yang pulang hanya amarah, bau arak, dan tangan yang selalu ingin menghantam sesuatu.

Malam itu, seperti biasa, Surya mendengar suara dari loteng.

Bukan hantu.

Bukan makhluk halus.

Semacam… warisan kelam keluarga.

Bisikan itu lembut, tapi mematikan.

"Kowe arep mati opo urip, Le?"

(Kau mau mati atau hidup, Nak?)

"Yen urip, kowe kudu kuwat. Yen ringkih, kowe mung dadi tumbal wong tuwamu."

(Kalau mau hidup, kau harus kuat. Kalau lemah, kau hanya akan menjadi tumbal orang tuamu.)

Surya menengadah. Hanya langit-langit yang mengelupas. Bisikan itu hilang, namun meninggalkan dingin yang merayap di dadanya.

Surya keluar dari sekolah saat kelas lima SD.

Bukan karena bodoh—ia justru terlalu jenius untuk guru-gurunya, yang tidak bisa menjawab pertanyaan anehnya tentang firasat, mimpi, dan "perasaan melihat niat orang".

Ia bekerja apa saja: memanggul gabah, mengangkut pasir, mencuci motor, tidur di terpal pasar.

Sementara ayahnya… makin menjadi-jadi—sering hilang, sering pulang membawa darah orang lain di bajunya.

Surya diam saja.

Ia bukan takut.

Ia hanya sudah tahu: semua orang jahat akan punya gilirannya.

Pada suatu malam hujan, ibunya duduk di sampingnya, menangis tanpa suara.

"Le, nek kowe tetep ning kene… matimu mung soal wektu."

(Nak, kalau kau tetap di sini… kematianmu hanya soal waktu.)

"Golek dalanmu. Ojo bali nek kowe isih tipis batin."

(Carilah jalanmu. Jangan pulang jika hatimu masih rapuh.)

Surya mencium punggung tangannya.

Ia pergi tanpa membawa apa-apa, menuju sebuah padepokan tua yang terkenal hanya di kalangan orang yang "punya garis".

Bangunannya kusam, dikelilingi bambu kuning yang bergetar tanpa angin.

Namun begitu ia melangkah masuk, rasa aman aneh menyambutnya—seolah tempat itu sudah menunggunya sejak lama.

Malam pertamanya, Surya bermimpi.

Seorang lelaki tua berjubah hitam berdiri di tengah sawah berkabut, membelakanginya.

"Kowe ora sinau ilmu. Kowe sinau nampa dirimu dhewe."

(Kau bukan belajar ilmu. Kau belajar menerima dirimu sendiri.)

Paginya, guru padepokan hanya tersenyum tipis.

"Kowe iki peteng pikirane… nanging dalanmu wis disiapke Gusti."

(Kau ini gelap hatinya… tapi jalanmu sudah disiapkan Tuhan.)

Selama dua tahun, Surya belajar hal yang tidak diajarkan sekolah: diam, mendengar tanah, memahami gelap, menahan murka, dan membaca manusia.

Bukan untuk jadi sakti—tapi agar ia tidak meledak oleh amarah masa kecilnya.

Namun kedamaian tidak pernah bertahan lama pada orang seperti Surya.

Dunia luar menunggunya.

Dan ia tahu… cepat atau lambat, ia akan kembali ke gelap itu.