Ficool

Chapter 2 - BAB 2 — PULANG SEBELUM TIBA

Dua tahun di padepokan membuat Surya berubah.

Bukan menjadi sosok sakti yang bisa memindahkan gunung, bukan pula makhluk aneh yang kebal senjata.

Ia hanya menjadi manusia yang sunyi, yang pikirannya jauh lebih dalam dari usianya.

Ketika ia pamit, guru padepokan menepuk pundaknya.

"Ojo gumunan, ojo kagetan, ojo dumeh. Dalanmu durung aman, Le."

(Jangan mudah heran, jangan mudah kaget, jangan sombong. Jalanmu belum aman, Nak.)

Surya hanya menunduk. Ia tahu itu bukan nasihat biasa—lebih mirip peringatan.

Surya pulang ke rumahnya.

Desa itu tampak sama, padahal Surya tidak lagi sama.

Ayahnya duduk di teras, mabuk sejak pagi. Setiap hembusan angin membawa bau arak dan darah kering. Lelaki itu menatap Surya dari ujung mata, seperti melihat orang asing.

"Sopo koe?"

(Siapa kamu?)

"Surya, Pak."

"Opo?! Kok koyo wong sok pinter?"

(Apa?! Kenapa gaya kayak orang sok pintar?)

Surya hanya diam.

Ia tahu lelaki itu tidak sekadar bapak gagal—ia juga pembunuh dunia bawah yang bahkan polisi malas menyentuhnya.

Ayahnya tertawa miring, suara tawa yang selalu membuat bulu kuduk berdiri.

"Le, nek kowe mikir iso metu saka takdir iki… salah. Kowe tetep anakku, keturunan wong peteng."

(Nak, kalau kau pikir bisa keluar dari takdir ini… salah. Kau tetap anakku, keturunan orang gelap.)

Surya berjingkat masuk rumah tanpa menyalakan emosi yang pernah membuatnya bertahun-tahun ketakutan.

Ia melihat ibunya, Sarmi, sedang menggiling cabai. Matanya sembab, garis wajahnya semakin tua.

"Kowe wes mangan, Le?"

(Kau sudah makan, Nak?)

"Durung, Bu."

(Belum, Bu.)

Sarmi meraih tangan putranya. Jemarinya dingin, tetapi genggamannya hangat.

"Aku mung pengin kowe slamet. Opo wae sing kok alami nak mbesuk… ojo nganti atimu dadi abang, Le."

(Ibu hanya ingin kau selamat. Apa pun yang kau hadapi nanti… jangan sampai hatimu menjadi merah, Nak.)

Surya mengangguk.

Namun ia tahu, warna hatinya tak pernah benar-benar putih sejak kecil.

Malam itu, ayahnya menghilang lagi.

Seperti biasa, tanpa pesan.

Surya berjalan ke belakang rumah, duduk memandang langit. Angin malam lembut, tapi terasa membawa firasat.

Dari bayang-bayang pepohonan, terdengar suara lirih.

Tidak menakutkan, lebih seperti bisikan orang yang mengingatkan.

"Pulangen atimu… sadurunge awakmu bali."

(Pulanglah hatimu… sebelum tubuhmu pulang.)

Surya terdiam.

Ia tidak mencari sumbernya.

Ia tahu: itu bukan makhluk astral, bukan arwah penasaran. Itu firasat yang sejak kecil mengikutinya.

Ia memasang wajah tenang, tapi dadanya bergemuruh.

Pulang ke desa bukan keputusan baik bagi orang seperti dirinya.

Ia bisa merasakan: badai yang membawanya pergi dulu… belum selesai.

Justru baru mulai berputar.

Keesokan harinya, ketika ia mengantar beras ke pasar untuk ibunya, dua tukang parkir saling berbisik saat melihatnya.

"Iki Surya sing cilik e bu Sarmi to?"

(Ini Surya anaknya Bu Sarmi itu?)

"Yo. Tapi saiki ra koyo biyen. Matane peteng, koyok wong sing ngerti rahasia wong sak kampung."

(Iya. Tapi sekarang tidak seperti dulu. Matanya gelap, seperti orang yang tahu rahasia seluruh desa.)

Surya hanya melirik sekilas.

Matanya memang berubah.

Bukan karena ilmu, bukan karena latihan.

Ia hanya terlalu sering melihat sisi jahat manusia.

Beberapa orang menjauh.

Beberapa mendekat karena penasaran.

Beberapa menatap dengan iri—karena aura tenang Surya membuat banyak orang tidak nyaman.

Bahkan ada yang menyindir,

"Wes bali, Sur? Sijine bocah sing ora tau ditunggu pulang."

(Sudah pulang, Sur? Anak satu-satunya yang tidak pernah ditunggu pulang.)

Surya tersenyum tipis.

Ia tahu dirinya tidak pernah ditunggu pulang.

Tapi ia juga tahu… suatu hari nanti, desa inilah yang akan berharap ia tidak pernah kembali.

More Chapters