Bab 1: Dari Meja Kerja ke Meja Hati
Gedung ICONPLAY selalu sibuk setiap pagi. Suara mesin fingerprint, bunyi sepatu hak tinggi, dan deretan karyawan yang buru-buru masuk jadi rutinitas biasa.
Alya, seorang staf administrasi, datang dengan rambut terikat rapi dan map dokumen di pelukannya. Ia bukan tipe yang suka menonjol, tapi ketelitiannya membuatnya dikenal sebagai staf andalan.
Di sudut lain, Arga, supervisor muda yang dikenal tegas, tengah menatap layar laptop di ruangannya. Dari balik kaca transparan, tanpa sengaja pandangannya jatuh pada sosok Alya yang sedang sibuk di meja resepsionis.
Arga menarik napas pelan. Kenapa setiap kali aku melihatnya, dunia jadi lebih tenang?
Alya sendiri tidak pernah menyadari tatapan itu. Baginya, Arga hanyalah atasan yang tegas dan sedikit menakutkan. Ia lebih sering menunduk atau pura-pura sibuk jika pria itu lewat.
Namun diam-diam, setiap kali mendengar langkah Arga mendekat, ada getar halus di dadanya.
"Pagi, Alya. Tolong cekkan laporan ini," suara Arga terdengar datar.
Alya menerima map itu dengan hati-hati. "Baik, Pak."
Percakapan selalu singkat, formal. Tapi bagi mereka berdua, setiap kata yang terucap menyisakan gema yang lebih panjang di hati masing-masing.
Malam itu, saat semua karyawan sudah pulang, Arga masih duduk di ruangannya. Dari jendela, ia bisa melihat meja Alya yang kosong. Entah kenapa, bayangan gadis itu masih menempel di benaknya.
"Kenapa aku selalu memperhatikan dia?" gumamnya lirih.
Dan di tempat lain, Alya menulis di buku kecilnya:"Hari ini aku kembali bicara singkat dengannya. Hanya satu kalimat, tapi entah kenapa… aku ingin mendengarnya lebih sering."
Mereka berdua tidak tahu: rindu itu sudah mulai tumbuh, diam-diam, di balik meja kerja ICONPLAY.
Bab 2: Proyek yang Mendekatkan
Pagi itu, ruang meeting ICONPLAY penuh dengan karyawan dari berbagai divisi. Di papan presentasi terpampang tulisan besar: "Proyek Klien Internasional – Deadline 1 Bulan."
Manajer menunjuk beberapa orang, termasuk Arga. "Divisi pemasaran dan administrasi akan bekerja sama langsung. Alya, kamu ikut dalam tim administrasi. Arga, kamu yang memimpin."
Alya tertegun. Bekerja langsung dengan Pak Arga?
Arga hanya mengangguk tenang, tapi matanya sekilas melirik ke arah Alya. Ada perasaan aneh—antara senang sekaligus gugup—yang ia sembunyikan di balik ekspresi profesional.
Hari-hari berikutnya, mereka mulai sering duduk satu meja. Alya mengetik data dengan teliti, sementara Arga berdiri di sampingnya, memeriksa setiap detail.
"Bagian ini kurang rapi," katanya datar.
Alya buru-buru memperbaiki. "Maaf, Pak, saya ulangi."
Namun Arga menahan tangannya sebentar. "Tidak perlu minta maaf. Kamu sudah cukup teliti. Aku hanya ingin hasilnya sempurna."
Seketika, Alya terdiam. Bukan kata-kata Arga yang membuatnya bergetar, tapi cara pria itu menatapnya—serius, tapi ada kelembutan samar di baliknya.
Malam lembur di kantor menjadi saksi kedekatan mereka. Hanya ada suara mesin pendingin dan ketikan keyboard. Sesekali, Arga menawarkan kopi.
"Minum dulu. Kamu nggak bisa kerja terus tanpa jeda," katanya sambil meletakkan gelas di meja Alya.
Alya menerima dengan hati berdebar. "Terima kasih, Pak."
Arga tersenyum tipis. "Di luar proyek ini, kamu boleh panggil aku Arga saja."
Bagi Alya, itu pertama kalinya jarak antara mereka terasa lebih dekat. Bagi Arga, itu langkah kecil untuk menunjukkan bahwa hubungan mereka tidak hanya sebatas atasan dan bawahan.
Dan tanpa mereka sadari, proyek ini bukan hanya tentang pekerjaan. Ini adalah awal dari sesuatu yang tumbuh… diam-diam, tapi semakin nyata.
Bab 3: Tatapan yang Mulai Terlihat
Proyek besar membuat tim sering lembur di kantor ICONPLAY. Hampir setiap malam, Alya dan Arga masih duduk berdampingan di ruang kerja, menatap layar laptop yang penuh grafik dan laporan.
"Coba cek lagi bagian kontrak," ujar Arga sambil menyerahkan berkas.
Alya menunduk serius, alisnya berkerut. Arga memperhatikannya sejenak, lalu tanpa sadar tersenyum. Dia begitu fokus, bahkan saat lelah sekalipun.
Ketika Alya mengangkat wajah, mata mereka bertemu. Alya buru-buru menunduk lagi, pipinya memanas.
Kebersamaan mereka mulai jadi perhatian. Di pantry, dua rekan kerja berbisik."Kamu lihat nggak? Alya sering banget sama Pak Arga akhir-akhir ini.""Iya, tiap malam lembur bareng. Katanya Arga biasanya dingin, tapi sama Alya kok beda."
Alya yang kebetulan masuk ke pantry untuk mengambil air sempat mendengar. Jantungnya langsung berdegup cepat. Apa orang lain mulai curiga?
Malam berikutnya, setelah semua orang pulang, hanya mereka berdua yang tersisa. Arga melihat Alya menguap kecil sambil tetap mengetik.
"Udah malam, Alya. Kamu boleh pulang duluan," katanya.
Alya menggeleng. "Nggak, saya mau pastikan laporan ini selesai. Saya janji nggak akan bikin tim terlambat."
Arga terdiam, lalu perlahan berkata, "Aku kagum sama kamu. Kamu selalu serius dengan tanggung jawabmu. Itu… salah satu hal yang bikin aku menghargaimu lebih dari sekadar bawahan."
Alya menoleh kaget, tapi Arga sudah kembali menatap layar laptopnya, seolah tidak pernah mengucapkan kalimat itu.
Malam itu, Alya menulis di catatannya:"Mungkin benar kata orang, aku mulai terlalu dekat dengannya. Tapi bagaimana bisa aku menjauh, kalau setiap hari justru membuatku semakin rindu?"
Dan di ruangannya sendiri, Arga memandang meja Alya yang kosong, bergumam lirih:"Rindu ini… tidak boleh terlalu terlihat. Tapi kenapa semakin sulit untuk kusembunyikan?"
Bab 4: Jarak yang Semakin Dekat
Suasana kantor ICONPLAY mulai dipenuhi gosip yang tidak bisa lagi diabaikan."Alya sama Pak Arga pasti ada apa-apanya.""Mana mungkin atasan sedingin itu tiba-tiba jadi sering lembur bareng staf baru.""Kalau manajer tahu, bisa runyam tuh."
Bisikan-bisikan itu sampai ke telinga Alya. Setiap kali ia melangkah di koridor, rasanya ada mata yang mengikuti. Ia mulai gugup setiap berada dekat Arga, meski hatinya justru merindukan kehadiran pria itu.
Suatu siang, Arga menghampirinya di meja kerja."Alya, sore ini kita rapat evaluasi. Jangan lupa bawa laporan."
Alya menunduk, suaranya lebih dingin dari biasanya. "Baik, Pak."
Arga sempat menatapnya bingung. Kenapa dia tiba-tiba menjaga jarak?
Beberapa hari berikutnya, Alya benar-benar menghindar. Ia memilih duduk jauh saat rapat, pulang lebih cepat agar tidak lembur bersama. Namun setiap kali ia berusaha menjauh, rindu itu justru semakin mengikat.
Malam itu, ia menulis di buku kecilnya:"Semakin aku coba menjaga jarak, semakin aku merasa kehilangan. Apa rindu ini memang tidak bisa dilawan?"
Di sisi lain, Arga juga tidak tinggal diam. Malam lembur berikutnya, ia sengaja menunggu Alya di depan pintu lift.
"Kamu kenapa menghindariku?" tanyanya langsung, tanpa basa-basi.
Alya terkejut. "Saya… tidak. Saya hanya—"
Arga menatapnya lekat, nadanya lebih lembut. "Kalau gosip yang kamu takutkan, biar aku yang tanggung. Aku tidak peduli apa kata orang. Yang sulit justru… berpura-pura tidak merindukanmu setiap hari di kantor ini."
Alya terdiam, jantungnya berdegup kencang. Kata-kata itu seperti membuka pintu yang selama ini ia kunci rapat-rapat.
Malam itu, Alya pulang dengan hati kacau. Antara ingin menjauh demi menjaga nama baik, dan ingin tetap dekat demi menjaga perasaannya sendiri.
Dan tanpa sadar, rindu yang tumbuh diam-diam kini semakin sulit dibendung.
Bab 5: Antara Rindu dan Keputusan
Gosip di kantor ICONPLAY akhirnya sampai ke telinga manajemen. Alya dipanggil ke ruang HR, duduk di hadapan kepala HR yang menatapnya dengan serius.
"Alya, kami menghargai kinerjamu, tapi kedekatanmu dengan Pak Arga sudah menimbulkan banyak pembicaraan. Kami butuh klarifikasi. Hubungan kalian murni profesional, kan?"
Alya tercekat, tangannya gemetar. "I-ya, Bu… kami hanya bekerja."
Namun keluar dari ruangan itu, dadanya sesak. Rasanya berat membohongi perasaannya sendiri.
Di sisi lain, Arga juga dipanggil oleh direksi."Arga, kami butuh kamu menjaga profesionalitas. Jangan sampai hubungan pribadi merusak reputasi perusahaan. Fokus pada proyek, bukan staf."
Arga menunduk, tapi matanya tegas. "Mengerti, Pak."
Namun begitu pintu tertutup, ia sadar: rindu ini sudah terlalu jauh untuk disebut sekadar hubungan profesional.
Malam itu, Arga menunggu Alya di depan lobby. Hujan turun, suara rintiknya menutupi hiruk pikuk jalan.
"Alya," panggilnya.
Alya menoleh, matanya masih berkaca-kaca. "Pak Arga… saya sudah dipanggil HR. Mereka suruh saya jaga jarak. Saya… saya nggak mau karier saya hancur."
Arga melangkah mendekat, menatapnya dalam. "Kalau semua orang melihat kita hanya sebatas gosip, biarkan mereka. Yang aku tahu, aku tidak bisa terus berpura-pura. Alya… aku menyukaimu."
Alya terdiam, air matanya jatuh bercampur dengan hujan. "Kenapa sekarang? Saat semua mata tertuju pada kita?"
Arga tersenyum tipis, penuh tekad. "Karena aku lebih takut kehilanganmu daripada kehilangan jabatan. Jika harus memilih, aku memilih kamu."
Hening. Hanya ada suara hujan dan degup jantung yang berpacu. Alya akhirnya mengangguk, meski masih ragu.
"Kalau begitu… mari kita hadapi bersama."
Beberapa bulan kemudian, gosip itu memang belum sepenuhnya hilang. Tapi satu hal pasti: Alya dan Arga tidak lagi bersembunyi. Mereka memilih berjalan berdampingan, meski tahu risikonya besar.
Karena rindu yang tumbuh diam-diam itu akhirnya menemukan keberanian untuk disebut dengan nama aslinya: cinta.
✨ Tamat ✨