Ficool

THIS FEELING

Karini_Dewi
63
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 63 chs / week.
--
NOT RATINGS
546
Views
Synopsis
Knock… knock… knock. “Come in.” Hearing his voice, she carefully opened the door and stepped in. “Good morning, Mr. Leo. Here are the meeting documents for nine o’clock that you requested yesterday.” Leo glanced at her briefly, took the folder without expression, opened it, and examined each page with his sharp eyes. The room instantly fell silent, the only sound being the ticking of the clock on the wall. Angel stood firm, waiting. “The numbers on page four are wrong.” Angel was startled. “W-wrong, sir?” Leo lifted his head, staring straight at her with a cold gaze. “Check it again, carefully. The second quarter growth isn’t 12%, it’s 10.4%. The original data is in the main file.”
VIEW MORE

Chapter 1 - Chapter 1

Hari ini matahari sudah bersinar terang saat Angel memandangi dirinya di pantulan cermin. Wajahnya yang segar dengan polesan riasan natural, rambut hitam panjangnya yang diikat tak terlalu tinggi, dan beberapa helai rambut yang dibiarkan tergerai di depan, membuatnya semakin cantik setelah menghabiskan setengah jam hanya untuk memastikan dirinya siap menghadapi hari pertama bekerja di kantor. Angel baru saja diterima sebagai sekretaris pribadi di firma konsultan internasional ternama, Angkasaka & Co., di New York City. 

 Mengenakan blus putih bersih yang dipadukan dengan rok hitam selutut membuatnya tampak seperti seorang profesional. Ia gugup dan menarik napas dalam-dalam sambil meraih tasnya, "Semangat," katanya dengan penuh semangat.

 

Bus yang ia tumpangi penuh sesak. Angel berdiri berpegangan pada sebuah tiang, memandang ke luar jendela bus, memperhatikan wajah-wajah orang yang sibuk. Di dalam bus, ada yang bermain ponsel, membaca buku, ada pula yang hanya merenung.

 "Permisi," seseorang menegurnya saat ia tanpa sadar berdiri di depan pintu keluar. Ia buru-buru menyingkir.

"Oh... Maaf!" jawabnya cepat.

 Setelah setengah jam perjalanan, ia akhirnya tiba di halte bus dekat kantornya. Gedung-gedung tinggi berjajar berdampingan, lampu-lampu iklan raksasa yang besar dan luas, menyala terang meskipun matahari telah terbit. Dengan bahu terangkat, ia mulai meregangkan badan, mencoba menyatu dengan arus manusia yang cepat.

 Sesampainya di lobi gedung kaca setinggi 50 lantai itu, Aura menghampiri resepsionis untuk memperkenalkan diri, agar dia bisa diantar ke tempat kerjanya.

"Selamat pagi, saya Angel, sekretaris baru telah diterima," katanya sopan.

"Baik, Bu Angel. Silakan naik lift ke lantai 45," kata resepsionis dengan senyum ramah.

 Lift berhenti di lantai 45. Begitu pintu terbuka, ia disambut suasana kantor modern: dinding kaca, ruang terbuka dengan meja-meja rapi, aroma kopi segar bercampur aroma kertas.

 Angel berdiri canggung, menoleh ke kanan dan ke kiri. Tiba-tiba, seorang pria jangkung berjas biru tua menghampirinya. Wajahnya tegas, rahangnya tegas, tatapannya tajam, dan mampu membuat siapa pun yang menatapnya ketakutan.

 "Apakah kamu Angel?" tanyanya dengan suara berat namun tenang dan tatapan mata tajam.

"Ya, saya Angel... eh, ya Tuan, saya Angel," jawabnya gugup.

Lelaki itu menatap dari atas ke bawah, membuat Angel sedikit gemetar dan menundukkan kepalanya.

Lalu dia berkata, "Saya Leo. Direktur di sini." Dengan nada tenangnya lagi 

 Auranya melebar. APA KATA SUTRADARA? Ia mengira pria di depannya hanyalah staf biasa.

Dengan senyum canggungnya, "oh... Senang bisa bekerja sama dengan Anda, Tuan Leo." Angel berdiri kaku menunggu pernyataan atasannya selanjutnya.

 Dengan suara berat, "Ikut aku," kata Leo sambil melangkah dengan berani. "Kau segera ikut aku ke ruang rapat; kita akan segera rapat untuk duduk dan mendengarkan. Setelah bawahanku, aku akan menjelaskan pekerjaanmu."

 Pintu terbuka lebar; orang-orang di dalam serentak berdiri menyambut Pemilik Perusahaan. Ruangan yang tadinya berisik dari kejauhan kini sunyi senyap karena hawa dingin yang menusuk kulit. Leo masuk dan duduk di ujung meja.

 

Ruang rapatnya luas dengan meja panjang penuh laptop dan dokumen. Angel duduk di kursi belakang, berusaha tidak terlalu mencolok. Orang-orang mulai mengobrol, membahas strategi proyek untuk sebuah perusahaan teknologi besar. Ia mendengarkan dan mencatat sebisa mungkin, meskipun ia tidak begitu memahaminya. Sesekali, Leo melirik tajam ke arahnya, seolah membenarkan apa yang sedang dilakukan sekretaris barunya.

 

Setelah rapat selesai, Leo memanggil bawahannya untuk datang ke ruang rapat. Pintu terbuka lebar. Terlihat seorang pria dengan tinggi badan yang sama dengan Leo sedang mendekati mereka. 

"Ahmad, tolong jelaskan pekerjaannya," kata Leo datar.

"Baik, Pak." kata Ahmad. 

 Ahmad mengulurkan tangannya untuk disapa Leo. "Halo, senang bertemu denganmu. Perkenalkan, Ahmad, asisten pribadi Tuan Leo. Saya akan menjelaskan pekerjaan apa yang akan Anda lakukan nanti." Suaranya terdengar ramah, dan itu sedikit mencairkan suasana.

Angel tersenyum kecil, menggenggam tangannya sebentar. "Halo, aku Angel. Senang juga bisa berkenalan dengan Pak Dimas."

 

Leo yang masih setia berdiri dengan ekspresi datar, menatap keduanya sejenak, lalu berkata dengan suara berat, "Ahmad, jangan banyak bicara. Jelaskan saja intinya. Aku tidak suka membuang-buang waktu."

 Leo sedikit terkejut. Tatapannya beralih ke Leo yang berdiri tegak, dingin dengan kilatan mata tajam. Tak ada senyum, tak ada keramahan, hanya wibawa yang menekan suasana. Ahmad terdiam sejenak, lalu mengangguk patuh.

"Baik, Pak." Ia segera menjelaskan detail pekerjaannya, sementara Angel berusaha fokus. Namun, sesekali ia merasa tatapan Leo terus-menerus memperhatikan gerakannya, seolah mencari celah untuk menilai apakah ia layak atau tidak.

 "Mengerti?" tanya Leo tiba-tiba, suaranya datar namun menusuk. Angel menelan ludah, lalu mengangguk tegas. "Ya, Pak. Saya mengerti."

 Leo mengetukkan jarinya di meja sekali, ekspresinya tetap dingin. "Kalau kamu sudah mengerti, jangan cuma mengangguk. Aku tidak butuh karyawan yang manis di mulut tapi hampa di tempat kerja. Aku butuh hasil, dan ingat, di kantor ini tidak ada kata 'maaf'. Yang ada hanya tanggung jawab."

 Leo tercekat. Kata-katanya sangat menusuk, tetapi ia menarik napas dalam-dalam dan menjawab, "Baiklah, saya akan melakukan pekerjaan saya dengan baik dan bertanggung jawab penuh." Sesaat ruangan itu hening. Dimas melirik cemas, bosnya memang selalu begitu, banyak karyawan yang ketakutan. Ia takut Aura akan menjadi takut. Namun Angel tetap menatap lurus ke depan, berusaha untuk tidak goyah.

 Leo mengangkat sebelah alisnya, seolah sedang menghakimi. Lalu bibirnya terangkat tipis, bukan senyum hangat melainkan seringai dingin. "Kita lihat saja sejauh mana kau bisa membuktikan perkataanmu."

 

Setelah itu, ia berdiri dan meninggalkan ruangan tanpa menoleh. Dimas buru-buru merapikan berkas-berkasnya, lalu berbisik kepada Angel, "Jangan kaget, Pak Leo memang begitu. Dia tidak pernah ramah kepada siapa pun. Jangan ragu untuk meminta bantuanku."

 Di balik ketegasan Leo, Angel merasakan tantangan yang luar biasa. Jantungnya berdebar kencang, terbuka karena kekaguman, tetapi juga karena keinginan untuk membuktikan diri. Ia tahu, sejak saat itu, hari-harinya di kantor tidak akan mudah. ​​Namun ia juga tahu satu hal, ia tidak akan menyerah dan lari dari tanggung jawabnya.

 Sementara itu, dari balik kaca kamarnya, Leo menatap Angel yang melangkah keluar dengan wajah kaku. Sesaat, sorot matanya meredup. "Jangan terlalu percaya diri, Angel," gumamnya dingin. "Banyak orang hancur sebelum sempat bertahan hidup."

 Hari pertama Angel baru saja dimulai. Dan di balik semua itu, awal dari sebuah kisah panjang yang penuh luka, tanggung jawab, dan perasaan yang sulit dikendalikan. Baru saja terukir.