Ficool

Chapter 2 - Bab 2 – Sungai yang Selalu Merah

Senja kembali datang, cahaya matahari meredup perlahan di balik hutan lebat yang mengelilingi desa. Suara jangkrik dan burung malam mulai terdengar, menandai pergantian waktu. Di tepi sungai itu, air yang semula jernih berkilau keemasan oleh pantulan matahari sore, kini perlahan berubah warna menjadi merah pekat, seolah darah mengalir tanpa henti dari sumbernya.

Anak-anak desa berlari menjauh sambil menutup mata mereka, sementara para orang tua berdiri khusyuk menatap aliran sungai. Bagi mereka, fenomena itu bukanlah sesuatu yang mengejutkan, melainkan pengingat dari kisah kelam yang telah diwariskan dari leluhur. Namun bagi generasi muda, bayangan cerita itu hanya membuat hati mereka dipenuhi rasa takut bercampur penasaran.

Di sebuah gubuk kecil tak jauh dari tepi sungai, Mak Ranti, seorang nenek tua yang dianggap sebagai penjaga cerita leluhur, duduk di kursi kayunya. Wajahnya penuh keriput, namun matanya tajam seperti menyimpan segudang rahasia. Anak-anak dan remaja desa sering datang padanya untuk mendengarkan kisah lama, meski selalu disertai rasa ngeri.

Malam itu, ketika cahaya bulan purnama mulai muncul, beberapa remaja memberanikan diri menghampiri Mak Ranti. Di antara mereka ada Jaka, seorang pemuda berani yang sering menantang cerita-cerita lama, dan Laras, gadis cerdas yang hatinya lebih dipenuhi rasa ingin tahu daripada rasa takut.

"Mak," tanya Jaka sambil menatap sungai yang memantulkan cahaya bulan merah, "benarkah warna air sungai ini berasal dari darah manusia? Atau hanya cerita bohong untuk menakut-nakuti kami?"

Mak Ranti tersenyum samar, lalu menghela napas panjang."Anak muda… jika kau pikir ini sekadar kisah kosong, maka kau belum tahu apa yang pernah terjadi di sini. Sungai ini menjadi saksi penderitaan ratusan jiwa yang dirampas haknya. Darah mereka tumpah, dan doa terakhir seorang gadis suci membuat sungai ini selamanya berubah menjadi pengingat. Airnya merah bukanlah kebetulan, melainkan kutukan yang hidup hingga hari ini."

Laras merapatkan selendangnya, bulu kuduknya meremang."Mak, kalau begitu… arwah Mayang Sari benar-benar masih ada di sini?" tanyanya dengan suara bergetar.

Mak Ranti menatap Laras lama, lalu mengangguk pelan."Ya, cucu. Pada malam purnama seperti ini, tangisannya sering terdengar. Dan siapa pun yang berani mengabaikan peringatan… bisa saja ikut ditarik ke dalam arusnya, tak pernah kembali."

Jaka tersenyum sinis, mencoba menyembunyikan rasa takutnya."Kalau begitu, biarkan aku yang membuktikan. Malam ini aku akan berdiri di tepi sungai. Jika benar ada arwah, biar aku yang melihatnya."

Warga yang mendengar ucapannya langsung gempar. Mereka mencoba menahan Jaka, tetapi keberaniannya seakan sudah menjadi tekad. Laras menatapnya dengan cemas, hatinya berdebar kencang. Ia tahu Jaka keras kepala, dan firasat buruk mulai menghantuinya.

Di kejauhan, suara air sungai semakin deras. Bayangan kabut tipis mulai turun, menutupi aliran sungai merah itu. Dan di antara kabut… samar-samar terdengar suara lirih, seperti isak tangis seorang perempuan.

Laras menggenggam tangan Jaka dengan erat."Jaka… jangan lakukan ini. Ada hal-hal yang tak bisa dijelaskan oleh logika kita. Aku takut—"

Namun Jaka hanya menatap lurus ke arah sungai, bibirnya menyunggingkan senyum tipis."Justru karena itulah aku harus melihatnya sendiri, Laras. Jika benar ada legenda, aku ingin jadi orang pertama yang membuktikan kebenarannya."

Dan malam itu, langkah Jaka membawanya semakin dekat ke tepi sungai, sementara suara tangisan dari arah kabut kian jelas, membuat setiap orang yang menyaksikan menahan napas.

More Chapters