Ficool

Chapter 7 - Bab 7 – Perjalanan ke Hulu Sungai

Pagi menjelang dengan langit yang muram. Matahari seakan enggan menampakkan sinarnya, tertutup awan kelabu. Desa itu masih sunyi, rumah-rumah terkunci rapat, dan orang-orang memilih bersembunyi setelah kejadian semalam. Hanya di tepi Sungai Darah, tiga sosok berdiri bersiap: Jaka, Laras, dan Ki Samudra.

Jaka menggenggam keris peninggalan leluhur itu di pinggangnya, sementara Laras membawa sebuah kantung kecil berisi ramuan herbal dan kain putih pemberian Mak Ranti. Ki Samudra berjalan dengan tongkat tuanya, langkahnya mantap meski tubuhnya sudah renta.

"Dengarkan baik-baik," ujar Ki Samudra dengan suara tegas. "Perjalanan ini bukan sekadar fisik. Semakin dekat kita ke hulu sungai, semakin kuat pula bayangan yang menjaga perjanjian itu. Mereka bukan makhluk hidup, melainkan sisa jiwa-jiwa yang dikorbankan Rangga Sakti."

Laras menelan ludah, wajahnya pucat namun matanya teguh. "Kami siap, Ki."

Kabut Pertama

Perjalanan mereka dimulai menyusuri tepi sungai. Semakin jauh dari desa, semakin pekat kabut yang turun, seolah menutup jalan di depan mereka. Hening mencekam, hanya suara aliran air merah yang terdengar.

Tiba-tiba, Laras berhenti. "Jaka… kau dengar itu?"

Jaka menajamkan telinga. Dari dalam kabut, terdengar suara lirih suara Bima, kekasih Mayang Sari."Laras… tolong aku… jangan tinggalkan aku di sini…"

Wajah Laras memucat. Itu suara yang ia kenal baik, suara ayahnya yang sudah meninggal beberapa tahun lalu. Matanya berkaca-kaca, tubuhnya mulai melangkah ke arah kabut.

"Laras! Jangan!" Jaka cepat menarik tangannya. "Itu bukan ayahmu!"

Laras meronta. "Tapi aku mendengar suaranya, Jaka! Itu ayahku… dia memanggilku!"

Ki Samudra segera menghentakkan tongkatnya ke tanah, cahaya biru menyala di sekeliling mereka. Kabut berputar, dan sosok bayangan hitam dengan wajah samar perlahan muncul. Wajah itu berubah-ubah: kadang seperti ayah Laras, kadang seperti Bima, lalu menjadi wajah asing dengan tatapan kosong.

"Itulah yang kusebut bayangan ilusi," kata Ki Samudra serius. "Mereka menggunakan kenangan dan rasa rindu untuk memikat. Sekali kau ikut, kau tak akan kembali."

Bayangan itu menjerit melengking, lalu lenyap tertiup cahaya dari tongkat Ki Samudra. Laras jatuh terduduk, terisak dalam pelukan Jaka."Aku hampir saja… ikut terbawa."

Jaka meraih pundaknya. "Kau tidak sendirian. Jangan pernah percaya suara dari kabut."

Jejak Rangga Sakti

Perjalanan berlanjut hingga siang, namun cahaya matahari tak pernah menembus kabut. Di beberapa tempat, mereka menemukan bekas pahatan batu kuno dengan simbol aneh, sebagian tertutup lumut.

Ki Samudra mengusap pahatan itu dengan jemarinya. "Ini adalah jejak Rangga Sakti. Simbol pemanggil dari dunia gelap. Semakin banyak kita temukan, semakin dekat kita dengan gua hitam."

Jaka menatap simbol itu, hatinya berdebar. Seolah dari pahatan itu keluar hawa dingin menusuk tulang. Ia merasakan sesuatu berbisik di telinganya, menawarkan kekuatan, kekuasaan, dan kehidupan abadi persis seperti yang didengar Rangga Sakti dahulu.

Namun ia menggenggam keris Cahaya Sukma erat-erat. Kilauan biru dari keris itu menepis bisikan gelap, membuatnya kembali sadar.

Penjaga Pertama

Saat matahari condong ke barat, mereka tiba di sebuah tanah lapang di tepi sungai. Di sana, air merah tampak mengalir deras, dan kabut menebal hingga tak terlihat apa pun.

Dari dalam kabut, terdengar suara berat, seperti derap langkah ribuan prajurit. Tanah bergetar, dan perlahan muncul sosok tinggi besar dengan tubuh terbuat dari bayangan hitam. Ia membawa tombak panjang, matanya merah menyala.

"Itu… salah satu penjaga perjanjian," bisik Ki Samudra. "Roh prajurit yang dikutuk untuk melindungi jalan menuju gua."

Penjaga itu mengangkat tombaknya, lalu menghantamkan ke tanah. Getaran kuat membuat Jaka dan Laras hampir terjatuh.

Jaka menghunus kerisnya. Cahaya kebiruan menyala, menembus kabut. Penjaga itu mengaum, matanya semakin merah. Pertarungan tak bisa dihindari.

Ki Samudra berteriak lantang,"Jaka! Ingat, keris itu bukan hanya senjata gunakan hatimu! Lawan bukan dengan amarah, tapi dengan keberanianmu!"

Dan malam itu, di bawah langit kelabu dan kabut pekat, Jaka menatap penjaga pertama dengan tekad yang tak tergoyahkan.

Langkahnya maju, keris di tangan berkilau, bersiap menghadapi ujian pertama menuju gua hitam….

More Chapters