Ficool

Chapter 5 - Bab 5 – Darah di Bawah Langit Kelam

Ki Samudra berdiri tegak di tepi sungai, tatapannya jauh menembus aliran air merah yang tenang namun mencekam. Jaka, Laras, dan beberapa warga yang masih bertahan menunggu dalam hening, hingga akhirnya suara berat Ki Samudra pecah di antara dinginnya malam.

"Apa yang akan kuceritakan malam ini… adalah kebenaran yang diwariskan hanya pada sedikit orang. Kebenaran tentang bagaimana Sungai Darah lahir."

Suasana hening. Angin seolah ikut terdiam, menunggu kisah itu mengalir.

Kilasan Masa Lalu

Ratusan tahun lalu, ketika desa ini masih berupa pemukiman kecil di tengah hutan lebat, kekuasaan ada di tangan seorang kepala suku bernama Rangga Sakti. Ia bukan sekadar pemimpin, melainkan tiran yang haus kekuatan. Kekayaannya tak pernah cukup, kekuasaannya tak pernah puas.

Ia mendengar tentang seorang gadis desa bernama Mayang Sari bunga desa yang kecantikannya membuat banyak lelaki terpikat. Namun yang membuatnya berbeda adalah hatinya yang suci, keberanian yang lembut, dan cintanya yang tulus kepada seorang pemuda bernama Bima, seorang pemburu sederhana.

Rangga Sakti ingin menjadikan Mayang Sari istrinya, bukan karena cinta, melainkan sebagai lambang kuasa. Namun, penolakan gadis itu menjadi noda bagi harga dirinya.

Dalam amarahnya, ia mengerahkan pasukan untuk menyerang desa Mayang Sari. Malam itu, darah tumpah tanpa ampun. Jeritan bercampur dengan api yang melahap rumah-rumah penduduk. Bima berjuang mati-matian, menebas prajurit satu per satu demi melindungi cintanya, tapi jumlah musuh terlalu banyak.

Bima jatuh dengan luka parah di tepi sungai, darahnya mengalir deras membasahi air jernih. Mayang Sari berlari padanya, memeluk tubuh kekasihnya yang hampir tak bernyawa."Bima! Jangan tinggalkan aku… kumohon…" isaknya.

Dengan napas terakhirnya, Bima berbisik,"Jika hidupku harus berakhir malam ini… maka biarlah cintaku hidup di dalam hatimu… selamanya."Lalu matanya terpejam, meninggalkan Mayang Sari dalam duka yang tak terbendung.

Perjanjian Gelap

Namun tragedi itu bukan hanya tentang cinta yang terputus. Rangga Sakti, yang masih berdiri di medan pembantaian, mengangkat tangannya ke langit. Langit malam mendadak diselimuti awan hitam, petir menyambar-nyambar.

Dengan suara lantang, ia memanggil sesuatu sebuah kekuatan gelap yang hanya dikenal dalam bisikan para leluhur. Ia mempersembahkan darah ratusan jiwa sebagai tumbal, berharap mendapat kekuatan abadi.

Air sungai yang sudah merah oleh darah korban, berputar membentuk pusaran. Dari dalamnya terdengar bisikan-bisikan aneh, suara yang bukan berasal dari manusia. Itulah tanda perjanjian telah diterima.

Namun, Mayang Sari yang berdiri di antara mayat dan api, tak tinggal diam. Dengan hati hancur, ia menengadah ke langit dan memohon:"Ya Sang Pencipta… hentikan penderitaan ini. Ambil ragaku, tapi hentikan kebiadaban ini. Biarkan sungai ini jadi saksi, agar kelak manusia tak lagi lupa pada akibat keserakahan."

Tiba-tiba, cahaya petir menyambar, menerpa tubuh Mayang Sari. Jeritannya memecah malam, lalu tubuhnya larut ke dalam pusaran air merah. Bersamaan dengan itu, tubuh Rangga Sakti terseret derasnya arus, namun tak pernah ditemukan jasadnya.

Sejak malam itulah, sungai tak pernah kembali jernih. Warna merahnya menjadi tanda, sekaligus pengingat atas darah dan perjanjian gelap yang masih bersemayam di kedalamannya.

Kembali ke Masa Kini

Ki Samudra mengakhiri kisahnya dengan suara serak."Dan begitulah, anak-anak muda. Kutukan Sungai Darah bukan hanya karena pengorbanan Mayang Sari, tapi juga karena perjanjian Rangga Sakti dengan kekuatan yang tak seharusnya dipanggil manusia."

Laras menggigil, wajahnya pucat. "Jadi… arwah Mayang Sari masih menangis karena jiwanya terikat pada doa terakhirnya?"

Ki Samudra mengangguk pelan."Benar. Ia bukan arwah jahat… ia hanyalah jiwa yang tak tenang, yang menanggung beban perjanjian itu. Selama perjanjian tak diputus, sungai ini akan terus merah, dan tangisnya akan terus terdengar."

Jaka mengepalkan tangannya. Meski masih gemetar karena pengalaman tadi, matanya menyala dengan tekad."Kalau begitu… kita harus memutus perjanjian itu. Kita harus membebaskan Mayang Sari."

Ki Samudra menatapnya tajam, seolah ingin menilai kesungguhan dalam kata-katanya."Berani kau bicara begitu, anak muda. Tapi ketahuilah, memutus perjanjian bukan perkara mudah. Itu berarti menantang kekuatan yang bahkan kepala suku dahulu pun tak mampu kendalikan."

Hening sejenak, lalu Jaka mengangguk mantap."Kalau tidak ada yang berani mencobanya selama ratusan tahun… biarlah aku yang melakukannya."

Suasana mendadak mencekam. Angin malam kembali berembus kencang, seakan sungai itu sendiri mendengar tantangan Jaka.

Dan jauh di dalam pusaran air merah, sesuatu bergerak seperti makhluk yang telah lama tertidur, kini perlahan terbangun….

More Chapters